- FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN DAN RAWAT INAP DI PUSKESMAS -
- FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN DAN RAWAT INAP DI PUSKESMAS -
Sudibyo Supardi, Rini Sasanti Handayani, Mulyono Notosiswoyo
Badan Litbangkes Depkes RI
PENDAHULUAN
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Secara nasional standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan. Apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah desa/ kelurahan atau dusun (1).
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat pada tahun 2010. Kecamatan sehat mencakup 4 indikator utama, yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu dan derajat kesehatan penduduk. Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat 2010. Untuk mencapai visi tersebut, puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat (1).
Salah satu indikator keberhasilan pelayanan kesehatan perorangan di puskesmas adalah kepuasan pasien. Kepuasan didefinisikan sebagai penilaian pasca konsumsi, bahwa suatu produk yang dipilih dapat memenuhi atau melebihi harapan konsumen, sehingga mempengaruhi proses pengambilan keputusan untuk pembelian ulang produk yang sama. Pengertian produk mencakup barang, jasa, atau campuran antara barang dan jasa. Produk puskesmas adalah jasa pelayanan kesehatan (2).
Model kepuasan yang komprehensif dengan fokus utama pada pelayanan barang dan jasa meliputi lima dimensi penilaian, sebagai berikut (3, 4).
1. Responsiveness (ketanggapan), yaitu kemampuan petugas memberikan pelayanan kepada konsumen dengan cepat. Dalam pelayanan puskesmas adalah lama waktu menunggu pasien mulai dari mendaftar sampai mendapat pelayanan tenaga kesehatan.
2. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan petugas memberikan pelayanan kepada konsumen dengan tepat. Dalam pelayanan puskesmas adalah penilaian pasien terhadap kemampuan tenaga kesehatan.
3. Assurance (jaminan), yaitu kemampuan petugas memberikan pelayanan kepada konsumen sehingga dipercaya. Dalam pelayanan puskesmas adalah kejelasan tenaga kesehatan memberikan informasi tentang penyakit dan obatnya kepada pasien.
4. Emphaty (empati), yaitu kemampuan petugas membina hubungan, perhatian, dan memahami kebutuhan konsumen. Dalam pelayanan puskesmas adalah keramahan petugas kesehatan dalam menyapa dan berbicara, keikutsertaan pasien dalam mengambil keputusan pengobatan, dan kebebasan pasien memilih tempat berobat dan tenaga kesehatan, serta kemudahan pasien rawat inap mendapat kunjungan keluarga / temannya.
5. Tangible (bukti langsung), yaitu ketersediaan sarana dan fasilitas fisik yang dapat langsung dirasakan oleh konsumen. Dalam pelayanan puskesmas adalah kebersihan ruangan pengobatan dan toilet.
Kepuasan merupakan korelasi antara skor harapan terhadap produk yang dipilih dibagi dengan skor penilaian terhadap kenyataan produk yang diterima. Kategori tingkat kepuasan berdasarkan nilai korelasi tersebut sebagai berikut (2):
NILAI KORELASI INTERPRETASI TINGKAT KEPUASAN
0,81 – 1,00 tinggi sangat memuaskan
0,61 – 0,80 cukup cukup memuaskan
0, 41 – 0,60 agak rendah memuaskan
0,21 – 0,40 rendah kurang memuaskan
0,00 – 0,20 sangat rendah sangat kurang memuaskan
Masalah penelitian adalah belum diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan pasien rawat jalan dan rawat inap di puskesmas. Tujuan penelitian adalah mendapatkan informasi tingkat kepuasan pasien puskesmas rawat jalan dan rawat inap, serta mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan pasien rawat jalan dan rawat inap di puskesmas. Manfaat penelitian yang diharapkan adalah informasi bagi penyusunan program di Departemen Kesehatan berkaitan dengan upaya meningkatkan pelayanan pasien puskesmas.
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini ingin membuktikan apakah secara bersama-sama usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, lokasi, dan penanggung biaya berobat berhubungan dengan kepuasan pasien puskesmas
Adapun definisi operasional variabel disusun sebagai berikut.
Usia pasien dihitung sejak tahun lahir sampai dengan ulang tahun terakhir, dibuat skala nominal : bukan pra usia lanjut (15 – 55 tahun) dan pra usia lanjut.(56 tahun atau lebih),
Jenis kelamin pasien dibuat skala nominal : laki-laki dan perempuan.
Pendidikan dinilai berdasarkan ijazah terakhir yang dimiliki pasien, dibuat skala nominal : pendidikan dasar (sampai dengan tamat SLTP) dan pendidikan lanjut (tamat SMU ke atas).
Pekerjaan pasien adalah kegiatan rutin setiap hari untuk mendapatkan uang, dibuat skala nominal : ada dan tidak ada.
Status ekonomi pasien diukur berdasarkan pengeluaran rumah tangga untuk makan dan bukan makan selama sebulan per anggota rumah tangga, dibuat skala nominal (BPS): tidak mampu (< Rp 122.775) dan mampu (> Rp 122.775).
Lokasi tempat tinggal pasien, dibuat skala nominal : perkotaan dan pedesaan
Penanggung biaya berobat pasien di puskesmas dibuat skala nominal : ada (dibayar melalui kartu miskin/ Askes/ kantor dan sebagainya) dan tidak ada (bayar sendiri).
Kepuasan pasien di puskesmas adalah jumlah rerata skor penilaian pasien terhadap 7 pernyataan tentang pelayanan rawat jalan dan 8 pernyataan pelayanan rawat inap di puskesmas, masing-masing penilaian diberi skor 5 = sangat baik, 4 = baik, 3 = sedang, 2 = buruk, dan 1 = sangat buruk, dibuat skala nominal : puas (rerata skor 3-5) dan tidak puas (rerata skor 1-2).
Rancangan penelitian merupakan analisis data sekunder Survei Kesehatan rumah Tangga (SKRT) 2004 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004, di mana pengumpulan datanya dilakukan secara cross sectional dengan pendekatan secara retrospektif kurun waktu setahun sebelum survei untuk pasien rawat jalan dan 5 tahun sebelum survai untuk pasien rawat inap. Populasi sampel adalah penduduk Indonesia di 30 propinsi yang mencakup 16.021 rumah tangga yang diwakili oleh seorang pasien berumur 15 tahun atau lebih per rumah tangga. Tercatat 5387 rumah tangga dengan salah satu anggotanya pernah rawat jalan dalam 1 tahun terakhir dan tercatat 774 rumah tangga dengan salah satu anggotanya pernah rawat inap dalam 5 tahun terakhir . Dari pasien yang mengeluh sakit dan berobat ke puskesmas ada 1664 (30,89%) pasien rawat jalan dan 87 (11,24%) pasien rawat inap. Analisis data dilakukan secara bertahap mencakup analisis univariat untuk menghitung distribusi frekuensi, proporsi, nilai rerata, median dan modus, analisis bivariat untuk menilai hubungan antara variabel independen dan variabel dependen menggunakan uji Chi-square, dan analisis multivariat untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan pasien puskesmas menggunakan uji regresi logistik berganda (5).
Keterbatasan penelitian mencakup (a) keterbatasan rancangan penelitian dalam bentuk survei cross-sectional terhadap variabel independen dan dependen, sehingga kurang tepat untuk membuktikan hubungan sebab-akibat, (b) keterbatasan data SKRT 2004 yang dikumpulkan, (c) keterbatasan terhadap kebenaran jawaban pasien (recall bias) setahun terakhir untuk pasien rawat jalan atau lima tahun terakhir untuk pasien rawat inap, dan (d) kepuasan pasien dinilai berdasarkan ketanggapan terhadap kenyataan pelayanan puskesmas, dengan asumsi harapan terhadap pelayanan puskesmas adalah 100%.
HASIL
Tabel 1. menunjukkan distribusi pasien rawat jalan di puskesmas berdasarkan rerata skor kepuasan. Kepuasan pasien rawat jalan di puskesmas dalam hal lama waktu menunggu, keramahan petugas, kejelasan informasi, keikutsertaan mengambil keputusan pengobatan, penilaian terhadap petugas, kebebasan memilih tempat berobat dan kebersihan ruangan mencapai rerata skor 0,74 dengan interval antara 0,72 – 0,77, termasuk kategori cukup memuaskan.
Tabel 2. menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan pasien rawat jalan di puskesmas sebagai berikut :
- Persentase pasien dengan usia belum pra lansia yang puas rawat jalan di puskesmas hampir sama dengan yang pra lansia. Hubungan antara usia pasien dan kepuasan rawat jalan di puskesmas secara statistik tidak bermakna (p > 0,05)
- Persentase pasien perempuan yang puas rawat jalan di puskesmas hampir sama dengan yang laki-laki. Hubungan jenis kelamin pasien dan kepuasan rawat jalan di puskesmas secara statistik tidak bermakna (p > 0,05)
- Persentase pasien dengan pendidikan dasar yang puas rawat jalan di puskesmas hampir sama dengan yang pendidikan lanjutan. Hubungan antara pendidikan pasien dan kepuasan rawat jalan di puskesmas secara statistik tidak bermakna (p > 0,05)
- Persentase pasien yang tidak bekerja yang puas rawat jalan di puskesmas hampir sama dengan yang tidak bekerja. Hubungan antara pekerjaan pasien dan kepuasan rawat jalan di puskesmas secara statistik tidak bermakna (p > 0,05)
- Persentase pasien dengan status ekonomi tidak mampu yang puas rawat jalan di puskesmas hampir sama dengan ekonomi mampu. Hubungan antara status ekonomi dan kepuasan rawat jalan di puskesmas secara statistik tidak bermakna (p > 0,05)
- Persentase pasien di pedesaan yang puas rawat jalan di puskesmas lebih kecil daripada yang di perkotaan. Hubungan antara lokasi pasien dan kepuasan rawat jalan di puskesmas secara statistik bermakna (p < 0,05)
- Persentase pasien yang ada penanggung biaya yang puas rawat jalan di puskesmas hampir sama dengan yang tidak ada penanggung biaya. Hubungan antara penanggung biaya berobat dengan kepuasan rawat jalan di puskesmas secara statistik tidak bermakna (p > 0,05)
Tabel 3. menunjukkan hasil analisis regresi logistik ganda faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan pasien rawat jalan di puskesmas. Secara bersama-sama lokasi pasien di pedesaan dan adanya penanggung biaya berobat berhubungan dengan kepuasan rawat jalan di puskesmas. Hubungan antara adanya penanggung biaya berobat (Wald = 1,688) relatif lebih erat daripada lokasi di pedesaan (OR = 1,671) terhadap kepuasan pasien rawat jalan.
Tabel 4. menunjukkan distribusi pasien rawat inap di puskesmas berdasarkan kepuasan. Kepuasan pasien rawat inap di puskesmas dalam hal lama waktu menunggu, keramahan petugas, kejelasan informasi, keikutsertaan mengambil keputusan pengobatan, kepercayaan terhadap petugas, kebebasan memilih tempat berobat, kebersihan ruangan pengobatan dan kemudahan dikunjungi oleh keluarga/ teman mencapai rerata skor 0,74 (0,69 – 0,78) yang termasuk kategori cukup memuaskan.
Tabel 5. menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan pasien rawat inap di puskesmas. Pasien rawat inap di puskesmas yang kurang puas persentasenya lebih besar pada umur bukan pra lansia, jenis kelamin laki-laki, pendidikan dasar, tidak ada pekerjaan, status ekonomi mampu, dan tidak ada penanggung biaya berobat. Analisis data menggunakan uji Chi-square tidak memenuhi syarat karena salah satu kolom pada tabel mempunyai nilai kurang dari 5. Dengan demikian analisis regresi logistik ganda tidak dapat dilakukan untuk pasien rawat inap.
PEMBAHASAN
Kepuasan pasien rawat jalan dan rawat inap di puskesmas dalam hal waktu menunggu, keramahan petugas, kejelasan informasi, keikutsertaan mengambil keputusan berobat, kepercayaan terhadap petugas, kebebasan memilih tempat berobat dan kebersihan.ruangan pengobatan dan toilet mencapai skor dengan kategori cukup memuaskan (tabel 1 dan 4). Namun demikian apabila dilihat skor masing-masing, akan terlihat bahwa kebersihan ruangan pengobatan dan toliet mendapat skor paling rendah pada pasien rawat inap. Hal ini menunjukkan bahwa kebersihan ruangan pengobatan dan toilet di puskesmas perawatan masih perlu ditingkatkan.
Faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan kepuasan pasien rawat jalan di puskesmas adalah kelompok usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi dan penanggung biaya, sedangkan lokasi di pedesaan dan adanya penanggung biaya berobat berhubungan dengan kepuasan pasien rawat jalan di puskesmas (tabel 3). Hasil penelitian di Jakarta menunjukkan umur, jenis kelamin, pendidikan dan status ekonomi tidak berhubungan bermakna dengan kepuasan pasien rawat jalan di puskesmas. Namun demikian pendidikan rendah berhubungan bermakna dengan kepuasan pasien rawat jalan di RSU dan status ekonomi tidak mampu berhubungan bermakna dengan kepuasan pasien rawat inap di RSU (6). Hal ini menunjukkan bahwa pasien rawat jalan yang bertempat tinggal di pedesaan, yang umumnya berpendidikan rendah dan status ekonomi tidak mampu, lebih merasa puas terhadap pelayanan puskesmas
Kepuasan pasien rawat jalan dan rawat inap di puskesmas dalam hal waktu menunggu, keramahan petugas, kejelasan informasi, keikutsertaan mengambil keputusan berobat, kepercayaan terhadap petugas, kebebasan memilih tempat berobat dan kebersihan.ruangan pengobatan kategori cukup memuaskan (tabel 1 dan 4)
Faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan kepuasan pasien rawat jalan di puskesmas adalah kelompok usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi dan jaminan kesehatan (p > 0,05). Sedangkan lokasi dan adanya penanggung biaya berobat berhubungan dengan kepuasan penduduk berobat rawat jalan di puskesmas (p < 0,05) (tabel 3). Dari hasil analisis regresi logistik ganda faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan penduduk rawat jalan di puskesmas, secara bersama-sama lokasi dan adanya penanggung biaya berobat berhubungan dengan kepuasan penduduk berobat rawat jalan di puskesmas (p < 0,05) (tabel 4)
Faktor-faktor yang tidak berhubungan dengan kepuasan penduduk yang berobat rawat inap di puskesmas adalah kelompok usia, pendidikan, pekerjaan, status ekonomi, lokasi, jaminan kesehatan dan biaya pengobatan (p > 0,05). Sedangkan jenis kelamin berhubungan dengan kepuasan penduduk berobat rawat inap di puskesmas (p < 0,05).(tabel 5). Analisis regresi ganda faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan penduduk rawat inap di puskesmas tidak dilakukan karena ada sel yang nilainya kurang dari lima.
Salah satu ciri khusus pelayanan kesehatan adalah bahwa pelayanan kesehatan mempunyai mix out put, di mana banyak ragam “komoditi” yang dihasilkan dari berbagai program pelayanan kesehatan. Dalam hal ini yang dikonsumsi oleh pasien adalah pelayanan puskesmas yang bervariasi antar individu dan sangat tergantung pada biaya yang dibayar. Keadaan ini juga didorong oleh kebutuhan penduduk terhadap pelayanan puskesmas yang senantiasa berbeda satu sama lain dan berkembang dari waktu ke waktu. Kemungkinan yang lain adalah bahwa pada akhirnya yang membentuk kepuasan secara keseluruhan pada akhir pelayanan puskesmas adalah hasil akhir dari proses pengobatan itu sendiri, yaitu kesembuhan dari sakitnya. Seorang pasien yang telah berobat sampai sembuh ada kemungkinan tidak terlalu memperhitungkan keadaan lingkungan dan cara pelayanan itu sendiri, terutama pada keadaan sosial ekonomi menengah ke bawah (7).
Mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Kecamatan DKI Jakarta menemukan adanya hubungan antara kepuasan pengunjung Puskesmas dengan pelayanan pendaftaran/kartu di loket, waktu menunggu dan pemeriksaan dokter/petugas lain, waktu menunggu dan pemeriksaan laboratorium – suntik – obat, keadaan kebersihan dan udara ruang tunggu serta lingkungan dan fasilitas umum di Puskesmas, sesuai dengan hasil kepuasan pasien secara keseluruhan terhadap pelayanan puskesmas karena kemungkinan pengunjung puskesmas mempunyai karakteristik yang mencakup domisili, pendidikan dan pendapatan keluarga yang hampir sama (8). Sementara dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Endang (9), menemukan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara mutu proses pelayanan puskesmas dan kepuasan pasien di Puskesmas Pamulang dan Puskesmas Paku Haji Kabupaten Tangerang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan analisis data SKRT 2004 tentang kepuasan pasien sebagai berikut :
1. Penilaian pasien puskesmas rawat jalan dalam hal waktu menunggu, keramahan petugas, kejelasan informasi, keikutsertaan mengambil keputusan pengobatan, kepercayaan terhadap petugas, kebebasan memilih tempat berobat, dan kebersihan ruangan pengobatan dan toilet termasuk kategori cukup memuaskan.
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan pasien rawat jalan di puskesmas adalah lokasi tempat tinggal di pedesaan dan adanya penanggung biaya berobat.
3. Penilaian pasien puskesmas rawat inap dalam hal waktu menunggu, keramahan petugas, kejelasan informasi, keikutsertaan mengambil keputusan pengobatan, kepercayaan terhadap petugas, kebebasan memilih tempat berobat, kebersihan ruangan pengobatan dan toilet, serta kemudahan dikunjungi keluarga atau teman termasuk kategori cukup memuaskan.
4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan penduduk rawat inap di puskesmas tidak dapat dihitung karena sampelnya terlalu kecil.
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat disarankan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada penduduk berpendidikan rendah, status ekonomi tidak mampu di pedesaan dapat dilakukan melalui puskesmas dengan biaya yang ditanggung pemenerintah melalui Askeskin karena terbukti kelompok merekalah yang paling memanfaatkan pelayanan puskesmas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes, Kebijakan dasar Puskesmas (Menuju Indonesia Sehat 2010). Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta, 2003.
2. Arikunto,. Prosedur Penelitian, suatu pendekatan praktek. Edisi 9 Rieneka Cipta, Jakarta, 1993
3. Supranto J, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa Pasar, Rineka Cipta. 2001.
4. Parasuraman, A Zeithaml, Valerie A.dan L Berry, Delivering Quality Service, The Free Press A Divission of Mac Millan inc, New York, 1991.
5. Iswardono, Analisa Regresi dan Korelasi, BPFE, Yogyakarta, 2001.
6. Ingerani, dkk,. Tingkat Kepuasan Pelanggan Terhadap Pelayanan Kesehatan di Propinsi DKI Jakarta. Laporan Penelitian Kerjasama Dinkes Prop. DKI Jakarta dan Badan Litbangkes Depkes RI, Jakarta, 2002.
7. Harun, Analisis Kepuasan Pasien Rawat Inap terhadap Mutu Pelayanan Rumah Sakit Nirmala Suri Sukohardjo dengan Methode Servqual, Tesis Kajian Administrasi Rumah Sakit, FKMUI, Depok, 1994.
8. Aflah R, Kepuasan Pengunjung Usia Lanjut pada pelayanan pengobatan Puskesmas Kelurahan di Kotamadya Jakarta Timur, Tesis, FKMUI, Depok, 1995.
9. Endang H, Hubungan antara Mutu Proses Pelayanan Obat dengan Pengetahuan Penggunaan Obat Pasien dan Kepuasan Pasien di Puskesmas Pamulang dan Puskesmas Paku Haji Kabupaten Tanggerang, Tesis Ilmu Kesehatan Masyarakat, FKMUI, Depok1998.
Tabel 1. Distribusi pasien rawat jalan di puskesmas menurut skor penilaian, SKRT 2004.
PELAYANAN
RAWAT JALAN SKOR PENILAIAN (n = 1664) Nilai korelasi
Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
Lama waktu menunggu sebelum dapat pelayanan 45 1110 415 51 43 0,73
Keramahan petugas dalam menyapa dan berbicara 75 1302 243 41 3 0,77
Kejelasan nakes dalam memberikan informasi 44 1132 379 70 39 0,73
Keikutsertaan dalam mengambil keputusan 22 1046 506 53 37 0,72
Penilaian terhadap pelayanan kesehatan 27 1099 466 71 1 0,73
Penilaian kebebasan memilih tempat & petugas 27 1118 447 37 36 0,73
Kebersihan ruangan peng-obatan dan toilet 40 1252 318 51 3 0,75
Rerata skor total
40
1151,3
396,3
53,4
23,1
0,74
"Ini kencing manis, ya bu. Komplikasi sudah ke penyempitan pembuluh darah jantung dan gangguan ginjal...Rajin-rajin kontrol ke poliklinik..." Nasehat saya kepada ibu yang akan pulang ke rumah setelah seminggu di rumah sakit.
" Terima kasih, dok...Saya sudah merasa sehat..." Dia dan keluarganya pulang.
Dua bulan kemudian, si ibu datang lagi dengan sesak dan fungsi ginjal yang makin menurun. Dirawat lagi seminggu, dan memang selama 2 bulan merasa tubuhnya enak, si ibu dan si anak memutuskan tidak usah kontrol lagi. Akhirnya saya memutuskan untuk pasien dari pedesaan seperti ini nasehat pulang harus lebih pragmatis dan ekonomis.
" Berapa biaya berobat 2 bulan lalu, pak?" tanyaku pada anaknya.
"Hampir 4 juta, dok." Jawabnya geleng-geleng kepala.
"Biaya yang sekarang?" Tanya saya.
" Hampir 6 juta." Dia menunduk dan menghela nafas panjang.
" Kalau bapak kontrol ibu secara teratur kemarin, obat ibu tiap 2 minggu paling 200 ribuan, ditambah ongkos 100 ribuan, jadi sebulan kurang lebih 600 ribu. Jadi hanya karena malas kontrol, bapak harus keluar uang yang sebenarnya untuk berobat 1 tahun." Penjelasan saya kepada si bapak.
"Bener, dok. Padahal ini penyakit kontrak seumur hidup. Saya pikir dengan didoakan saja, gak usah kontrol, siapa tahu ada muzizat ibu sembuh total, taunya lebih besar biayanya....Saya tobat, deh putus obat. Lain kali saya rajin kontrolkan ibu saya." Jawabnya dengan penuh penyesalan.
Terkadang bagi si pasien kronis kita menyuruh rajin kontrol dinilainya bertujuan komersil semata, namun sebenarnya dari segi ekonomi si pasien juga terhindari dari pengeluaran yang jauh lebih besar lagi kalau penyakit itu memerlukan rawat inap.
Membuat hitung-hitungan antara rawat inap dan rawat jalan sebelum pasien pulang seperti ini cukup efektif mendisiplinkan pasien kronis (DM, hipertensi, jantung, ginjal, gastritis kronis) untuk memeriksakan kesehatannya supaya jangan jatah berobat setahun terhapus rawat inap beberapa hari.
Prev: Daftar Peserta WABI BADUY 2008
Next: Partai Seks di Australia
reply share
Rawat inap (opname) adalah istilah yang berarti proses perawatan pasien, di mana pasien diinapkan di rumah sakit. Ruang rawat inap adalah ruang tempat pasien dirawat. Ruangan ini dulunya sering hanya berupa bangsal yang dihuni oleh banyak orang sekaligus. Saat ini, ruang rawat inap di banyak rumah sakit sudah sangat mirip dengan kamar-kamar hotel. Pasien yang berobat jalan di Unit Rawat Jalan, akan mendapatkan surat rawat dari dokter yang merawatnya, bila pasien tersebut memerlukan perawatan di dalam rumah sakit, atau menginap di rumah sakit. Saat ini, di Rumah Sakit Dr. Moehammad Hoesin Palembang terdapat beberapa zaal atau bangsal yang digunakan untuk merawat pasien.
Page 1
GAMBARAN KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN
RUMAH SAKIT BHAKTI ASIH TANGERANG
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-2
Minat Utama Megister Manajemen Rumah Sakit
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurusan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Diajukan oleh :
Asep Aminudin Aziz
16590/PS/IKM/05
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2007
________________________________________
Page 2
xi
xi
GAMBARAN KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN
RUMAH SAKIT BHAKTI ASIH TANGERANG
DESCRIPTION OF SATISFACTION FOR PATIENT ON GOING
TREATED IN BHAKTI ASIH HOSPITAL TANGGERANG
Oleh : Asep Aminudin
Program studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat/Manajemen Rumah Sakit
Pembimbing I : DR.dr. Sutoto, M.Kes.
Pembimbing II : DR.dr.Felix Kasim, M.Kes.
Tqnggal Wisuda : 25 januari 2008
INTISARI
Industri perumahsakitan di Indonesia telah mengalami perubahan
yang cukup pesat yang disebabkan karena perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, tingkat ekonomi, dan arus informasi. Hal
tersebut telah mendorong setiap industri perumahsakitan untuk
meningkatkan pelayanan yang bermutu sehingga mampu bersaing
dengan pelayanan yang sejenis serta dapat memenuhi kebutuhan yang
sesuai dengan standar yang telah ditentukan dan pada akhirnya
pengguna jasa pelayanan kesehatan / pasien merasa puas terhadap
pelayanan kesehatan yang diberikan. Untuk mendapat gambaran
kepuasan pelayanan kesehatan suatu instansi kesehatan dapat
menggunakan beberapa metode atau cara, dimulai dari pemahaman arti
kepuasan yaitu tingkat keadaan perasaan seseorang dari perbandingan
produk yang diterima dengan harapannya.
Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional dengan
analisa deskripsi dan analisa diagram cartesius terhadap 300 responden
yang merupakan pasien rawat jalan, mereka diminta kesediannya untuk
mengisi kuesioner yang meliputi data pribadi, pertanyaan mengenai
persepsi & harapan terhadap pelayanan rawat jalan. Ada 18 item
pertanyaan persepsi & harapan.
Hasil penelitian ini menunjukan separuh responden (182 responden
(60,7%)) merasa tidak puas terhadap pelayanan yang diterima.
Berdasarkan analisa diagram kartesius menunjukan yang menjadi
prioritas utama ialah dimensi reliability artinya penting untuk pasien dan
periorotas utama untuk segera diperbaiki bagi manajemen. Dimensi
responsipness dan assurance ternyata kepuasannya cukup tinggi bagi
pasien dan merupakan produk layanan yang berhasil dijalankan rumah
sakit sehingga perlu dipertahankan. Sedangkan dimensi emphaty dan
tangible kurang mendapat perhatian dari pasien pada saat penelitian ini
dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai
bahan pertimbangan untuk perbaikan mutu pelayanan rawat jalan RS.
Bhakti Asi
PENGERTIAN
Pembayaran rawat jalan adalah pembayaran pasien setelah mendapat pelayanan untuk observasi, perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medik dan atau kesehatan lainnya dengan menempati tempat tidur.
TUJUAN
Protap ini bertujuan memberikan pedoman dalam pembayaran pasien rawat jalan. Sebagai acuan dalam pelaksanaan digunakan Perda No. 10 Tahun 2003 tentang imbalan terhadap pengguna jasa sarana dan jasa pelayanan dan lain-lain.
Depresi : Diagnosis Pasien Rawat Jalan Ketujuh Tertinggi
oleh reborn pada Juli 07, 2008, 08:07:00
Depresi adalah gangguan perasaan (afek) yang ditandai dengan afek disforik (kehilangan kegembiraan/gairah) disertai dengan gejala-gejala lain seperti gangguan tidur dan menurunnya selera makan. Depresi sulit dibedakan dari gangguan cemas (akan dibahas dalam artikel lain). Penderita mungkin tampil dengan kecemasan yang mencolok sehingga gejala-gejala depresi yang lebih ringan seperti kehilangan selera makan, gangguan tidur, dan capek sering kali terlewatkan. Diagnosis banding lainnya adalah disthmia, gangguan afek organik dan gangguan penyesuain dengan afek depresif.
Epidemiologi
Depresi adalah diagnosis pasien rawat jalan ketujuh tertinggi. Rata-rata usia awitan adalah akhir 20-an tahun walau dapat ditemui pada semua kelompok usia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa depresi mayor lebih sering pada wanita dibanding pria dengan rasio 2:1. Namun perbedaan kelamin ini tidak tampak berhubungan dengan perbedaan endokrinologi. Faktor-faktor resiko depresi termasuk penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, penderita hipokondria, pernah mengalami stroke, pernah menjalani bedah mayor, wanita pasca melahirkan, dan riwayat keluarga depresi.
Patofisiologi
Banyak rangkaian riset menunjukkan suatu predisposisi genetik atau turunan untuk depresi klinis yang diaktifkan atau turunan untuk depresi klinis yang diaktifkan atau dicetuskan oleh faktor-faktor lingkungan. Faktor-faktor pengantara yang potensial antara lain adalah penyakit yang mengancam jiwa, kehilangan yang tak terpecahkan, baik saat masa anak-anak atau kehilangan baru-baru ini, kehidupan yang penuh stres, arti simbolik kejadian yang dialami, kurangnya dukungan sosial, dan ciri-ciri kepribadian. Interaksi antara faktor lingkungan dan turunan ini diduga berpuncak pada jalur umum final disfungsi limbik-hipotalamik yang secara klinis muncul sebagai penyakit depresi. Namun pemahaman umum tentang bagaimana faktor-faktor ini berinteraksi sehingga menyebabkan depresi sampai saat ini belum jelas.
Awalnya diyakini bahwa perubahan pada neurotransmiter (norepinefrin, serotonin, dan asam gamma-amino-butirat) di pusat hipotalamus otak ikut menentukan kompleks gejala depresi. Penelitian yang lebih baru mengusulkan suatu hipotesis disregulasi ketimbang kekurangan hanya satu neurotransmiter. Ketidakseimbangan ini adalah penjelasan fisiologis untuk simtomatologinya. Namun tetap saja hal ini belum menjelaskan perkembangan gejalanya.
Diagnosis
Diagnosis klinis depresi bergantung pada pengenalan tanda dan gejala Kriteria DSM-III-R.
Kriteria DSM-III-R Untuk Diagnosis Gangguan Afeksi
1. Afek depresi atau disforik
2. Berkurangnya minat atau kesenangan dalam segala hal secara jelas, atau hampir semua aktivitas.
3. Perubahan rasa atau berat badan
4. Insomnia atau hipersomnia
5. Kelelahan atau hilangnya energi
6. Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi
7. Merasa salah atau menyalahkan diri sendiri
8. Hilangnya kemampuan untuk menikmati kesenangan
9. Retardasi psikomotor atau agitasi (mungkin menyerupai serangan kecemasan)
10. Ide bunuh diri atau pikiran mati berulang
Meskipun DSM-III-R bermanfaat untuk mengevaluasi kemungkinan depresi, criteria ini mungkin tidak tepat sepenuhnya untuk perawatan primer.
Terapi
Terapi depresi yang biasa dilakukan adalah kombinasi obat dan konseling. Obat pilihan penyakit depresi adalah antidepresan trisiklik dengan alternatif lainnya yaitu antidepresan generasi kedua yang lebih baru.
Depresi sering sulit diobati karena diagnosis sendiri sering tidak dapat diterima secara social dan invalid bagi pasien. Hambatan utama untuk mengobati penderita depresi adalah penolakan pasien terhadap diagnosis. Untuk itu, sangatlah penting bagi dokter untuk menjelaskan penyakit ini dengan istilah-istilah yang dapat dimengerti pasien. Hal yang perlu dijelaskan termasuk bagaimana respon tubuh terhadap stress dan mendefiniskan penyakit depresi sebagai ketidakseimbangan messengers kimiawi pada system saraf.
Prognosis
Suatu episode depresi khas berlangsung enam bulan atau lebih kemudian terjadi remisi lengkap gejala-gejalanya dan fungsi kembali ke tingkat premorbid. Korban akan kehilangan hidup tinggi; separuh dari semua korban bunuh diri pernah mengalami depresi mayor.
Terapi dengan antidepresan trisiklik biasanya menghasilkan resolusi pada sebagian besar gejala dalam 4-6 minggu. Terapi dengan perjalanan trisiklik yang cukup (minimal 6-8 bulan) terbukti menurunkan frekuensi dan intensitas episode depresi kambuh.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar