Selasa, 29 September 2009

Pemeriksaan N. Kranialis

Options
Disable

Get Free Shots









• Home
Welcome & Joining Otolaryngology in Indonesian language
contact : hennykartika@gmail.com
February 23, 2008
Pemeriksaan N. Kranialis
Posted by hennykartika under Neurologi
[13] Comments
Pemeriksaan saraf merupakan salah satu dari rangkaian pemeriksaan neurologis yang terdiri dari; 1). Status mental, 2). Tingkat kesadaran, 3).Fungsi saraf kranial, 4). Fungsi motorik, 5). Refleks, 6). Koordinasi dan gaya berjalan dan 7). Fungsi sensorik
Agar pemeriksaan saraf kranial dapat memberikan informasi yang diperlukan, diusahakan kerjasama yang baik antara pemeriksa dan penderita selama pemeriksaan. Penderita seringkali diminta kesediaannya untuk melakukan suatu tindakan yang mungkin oleh penderita dianggap tidak masuk akal atau menggelikan. Sebelum mulai diperiksa, kegelisahan penderita harus dihilangkan dan penderita harus diberi penjelasan mengenai pentingnya pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis.
Memberikan penjelasan mengenai lamanya pemeriksaan, cara yang dilakukan dan nyeri yang mungkin timbul dapat membantu memupuk kepercayaan penderita pada pemeriksa. Penderita diminta untuk menjawab semua pertanyaan sejelas mungkin dan mengikuti semua petunjuk sebaik mungkin.
Suatu anamnesis lengkap dan teliti ditambah dengan pemeriksaan fisik akan dapat mendiagnosis sekitar 80% kasus. Walaupun terdapat beragam prosedur diagnostik modern tetapi tidak ada yang dapat menggantikan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak melalui lubang-lubang pada tulang yang dinamakan foramina, terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius (I), optikus (II), Okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis (VII), vestibula koklearis (VIII), glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus (XII). Saraf kranial I, II, VII merupakan saraf sensorik murni, saraf kranial III, IV, XI dan XII merupakan saraf motorik, tetapi juga mengandung serabut proprioseptif dari otot-otot yang dipersarafinya. Saraf kranial V, VII, X merupakan saraf campuran, saraf kranial III, VII dan X juga mengandung beberapa serabut saraf dari cabang parasimpatis sistem saraf otonom.
II. 1. DEFINISI
Saraf-saraf kranial dalam bahasa latin adalah Nervi Craniales yang berarti kedua belas pasangan saraf yang berhubungan dengan otak mencakup nervi olfaktorii (I), optikus (II), okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis (VII), vestibulokoklearis (VIII), glosofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus (XII).
Gangguan saraf kranialis adalah gangguan yang terjadi pada serabut saraf yang berawal dari otak atau batang otak, dan mengakibatkan timbulnya keluhan ataupun gejala pada berbagai organ atau bagian tubuh yang dipersarafinya.
II. 2. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1)SARAF OLFAKTORIUS (N.I)
Sistem olfaktorius dimulai dengan sisi yang menerima rangsangan olfaktorius. Sistem ini terdiri dari bagian berikut: mukosa olfaktorius pada bagian atas kavum nasal, fila olfaktoria, bulbus subkalosal pada sisi medial lobus orbitalis.
Saraf ini merupakan saraf sensorik murni yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan menembus area kribriformis dari tulang etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius, dari sini, traktus olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal bagian medial sisi yang sama.
Sistem olfaktorius merupakan satu-satunya sistem sensorik yang impulsnya mencapai korteks tanpa dirilei di talamus. Bau-bauan yang dapat memprovokasi timbulnya nafsu makan dan induksi salivasi serta bau busuk yang dapat menimbulkan rasa mual dan muntah menunjukkan bahwa sistem ini ada kaitannya dengan emosi. Serabut utama yang menghubungkan sistem penciuman dengan area otonom adalah medial forebrain bundle dan stria medularis talamus. Emosi yang menyertai rangsangan olfaktorius mungkin berkaitan ke serat yang berhubungan dengan talamus, hipotalamus dan sistem limbik.
2)SARAF OPTIKUS (N. II)
Saraf Optikus merupakan saraf sensorik murni yang dimulai di retina. Serabut-serabut saraf ini, ini melewati foramen optikum di dekat arteri optalmika dan bergabung dengan saraf dari sisi lainnya pada dasar otak untuk membentuk kiasma optikum. Orientasi spasial serabut-serabut dari berbagai bagian fundus masih utuh sehingga serabut-serabut dari bagian bawah retina ditemukan pada bagian inferior kiasma optikum dan sebaliknya.
Serabut-serabut dari lapangan visual temporal (separuh bagian nasal retina) menyilang kiasma, sedangkan yang berasal dari lapangan visual nasal tidak menyilang. Serabut-serabut untuk indeks cahaya yang berasal dari kiasma optikum berakhir di kolikulus superior, dimana terjadi hubungan dengan kedua nuklei saraf okulomotorius. Sisa serabut yang meninggalkan kiasma berhubungan dengan penglihatan dan berjalan di dalam traktus optikus menuju korpus genikulatum lateralis. Dari sini serabut-serabut yang berasal dari radiasio optika melewati bagian posterior kapsula interna dan berakhir di korteks visual lobus oksipital.
Dalam perjalanannya serabut-serabut tersebut memisahkan diri sehingga serabut-serabut untuk kuadran bawah melalui lobus parietal sedangkan untuk kuadaran atas melalui lobus temporal. Akibat dari dekusasio serabut-serabut tersebut pada kiasma optikum serabut-serabut yang berasal dari lapangan penglihatan kiri berakhir di lobus oksipital kanan dan sebaliknya.
3)SARAF OKULOMOTORIUS (N. III)
Nukleus saraf okulomotorius terletak sebagian di depan substansia grisea periakuaduktal (Nukleus motorik) dan sebagian lagi di dalam substansia grisea (Nukleus otonom).
Nukleus motorik bertanggung jawab untuk persarafan otot-otot rektus medialis, superior, dan inferior, otot oblikus inferior dan otot levator palpebra superior. Nukleus otonom atau nukleus Edinger-westhpal yang bermielin sangat sedikit mempersarafi otot-otot mata inferior yaitu spingter pupil dan otot siliaris.
4)SARAF TROKLEARIS (N. IV)
Nukleus saraf troklearis terletak setinggi kolikuli inferior di depan substansia grisea periakuaduktal dan berada di bawah Nukleus okulomotorius. Saraf ini merupakan satu-satunya saraf kranialis yang keluar dari sisi dorsal batang otak. Saraf troklearis mempersarafi otot oblikus superior untuk menggerakkan mata bawah, kedalam dan abduksi dalam derajat kecil.
5)SARAF TRIGEMINUS (N. V)
Saraf trigeminus bersifat campuran terdiri dari serabut-serabut motorik dan serabut-serabut sensorik. Serabut motorik mempersarafi otot masseter dan otot temporalis. Serabut-serabut sensorik saraf trigeminus dibagi menjadi tiga cabang utama yatu saraf oftalmikus, maksilaris, dan mandibularis. Daerah sensoriknya mencakup daerah kulit, dahi, wajah, mukosa mulut, hidung, sinus. Gigi maksilar dan mandibula, dura dalam fosa kranii anterior dan tengah bagian anterior telinga luar dan kanalis auditorius serta bagian membran timpani.
6)SARAF ABDUSENS (N. VI)
Nukleus saraf abdusens terletak pada masing-masing sisi pons bagian bawah dekat medula oblongata dan terletak dibawah ventrikel ke empat saraf abdusens mempersarafi otot rektus lateralis.
7)SARAF FASIALIS (N. VII)
Saraf fasialis mempunyai fungsi motorik dan fungsi sensorik fungsi motorik berasal dari Nukleus motorik yang terletak pada bagian ventrolateral dari tegmentum pontin bawah dekat medula oblongata. Fungsi sensorik berasal dari Nukleus sensorik yang muncul bersama nukleus motorik dan saraf vestibulokoklearis yang berjalan ke lateral ke dalam kanalis akustikus interna.
Serabut motorik saraf fasialis mempersarafi otot-otot ekspresi wajah terdiri dari otot orbikularis okuli, otot buksinator, otot oksipital, otot frontal, otot stapedius, otot stilohioideus, otot digastriktus posterior serta otot platisma. Serabut sensorik menghantar persepsi pengecapan bagian anterior lidah.
8)SARAF VESTIBULOKOKLEARIS (N. VIII)
Saraf vestibulokoklearis terdiri dari dua komponen yaitu serabut-serabut aferen yang mengurusi pendengaran dan vestibuler yang mengandung serabut-serabut aferen yang mengurusi keseimbangan. Serabut-serabut untuk pendengaran berasal dari organ corti dan berjalan menuju inti koklea di pons, dari sini terdapat transmisi bilateral ke korpus genikulatum medial dan kemudian menuju girus superior lobus temporalis. Serabut-serabut untuk keseimbangan mulai dari utrikulus dan kanalis semisirkularis dan bergabung dengan serabut-serabut auditorik di dalam kanalis fasialis. Serabut-serabut ini kemudian memasuki pons, serabut vestibutor berjalan menyebar melewati batang dan serebelum.
9)SARAF GLOSOFARINGEUS (N. IX)
Saraf Glosofaringeus menerima gabungan dari saraf vagus dan asesorius pada waktu meninggalkan kranium melalui foramen tersebut, saraf glosofaringeus mempunyai dua ganglion, yaitu ganglion intrakranialis superior dan ekstrakranialis inferior. Setelah melewati foramen, saraf berlanjut antara arteri karotis interna dan vena jugularis interna ke otot stilofaringeus. Di antara otot ini dan otot stiloglosal, saraf berlanjut ke basis lidah dan mempersarafi mukosa faring, tonsil dan sepertiga posterior lidah.
10)SARAF VAGUS (N. X)
Saraf vagus juga mempunyai dua ganglion yaitu ganglion superior atau jugulare dan ganglion inferior atau nodosum, keduanya terletak pada daerah foramen jugularis, saraf vagus mempersarafi semua visera toraks dan abdomen dan menghantarkan impuls dari dinding usus, jantung dan paru-paru.
11)SARAF ASESORIUS (N. XI)
Saraf asesorius mempunyai radiks spinalis dan kranialis. Radiks kranial adalah akson dari neuron dalam nukleus ambigus yang terletak dekat neuron dari saraf vagus. Saraf aksesoris adalah saraf motorik yang mempersarafi otot sternokleidomastoideus dan bagian atas otot trapezius, otot sternokleidomastoideus berfungsi memutar kepala ke samping dan otot trapezius memutar skapula bila lengan diangkat ke atas.
12)SARAF HIPOGLOSUS (N. XII)
Nukleus saraf hipoglosus terletak pada medula oblongata pada setiap sisi garis tengah dan depan ventrikel ke empat dimana semua menghasilkan trigonum hipoglosus. Saraf hipoglosus merupakan saraf motorik untuk lidah dan mempersarafi otot lidah yaitu otot stiloglosus, hipoglosus dan genioglosus.
II. 3. PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS.
a.Saraf Olfaktorius (N. I)
Saraf ini tidak diperiksa secara rutin, tetapi harus dikerjakan jika terdapat riwayat tentang hilangnya rasa pengecapan dan penciuman, kalau penderita mengalami cedera kepala sedang atau berat, dan atau dicurigai adanya penyakit-penyakit yang mengenai bagian basal lobus frontalis.
Untuk menguji saraf olfaktorius digunakan bahan yang tidak merangsang seperti kopi, tembakau, parfum atau rempah-rempah. Letakkan salah satu bahan-bahan tersebut di depan salah satu lubang hidung orang tersebut sementara lubang hidung yang lain kita tutup dan pasien menutup matanya. Kemudian pasien diminta untuk memberitahu saat mulai terhidunya bahan tersebut dan kalau mungkin mengidentifikasikan bahan yang di hidu.
b.Saraf Optikus (N. II)
Pemeriksaan meliputi penglihatan sentral (Visual acuity), penglihatan perifer (visual field), refleks pupil, pemeriksaan fundus okuli serta tes warna.
i. Pemeriksaan penglihatan sentral (visual acuity)
Penglihatan sentral diperiksa dengan kartu snellen, jari tangan, dan gerakan tangan.
Kartu snellen
Pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter antara pasien dengan tabel, jika tidak terdapat ruangan yang cukup luas, pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan cermin. Ketajaman penglihatan normal bila baris yang bertanda 6 dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata (visus 6/6)
Jari tangan
Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 3 meter tetapi bisa melihat pada jarak 2 meter, maka perkiraan visusnya adalah kurang lebih 2/60.
Gerakan tangan
Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 2 meter tetapi bisa melihat pada jarak 1 meter berarti visusnya kurang lebih 1/310.
ii. Pemeriksaan Penglihatan Perifer
Pemeriksaan penglihatan perifer dapat menghasilkan informasi tentang saraf optikus dan lintasan penglihatan mulai dair mata hingga korteks oksipitalis.
Penglihatan perifer diperiksa dengan tes konfrontasi atau dengan perimetri / kompimetri.
Tes Konfrontasi
Jarak antara pemeriksa – pasien : 60 – 100 cm
Objek yang digerakkan harus berada tepat di tengah-tengah jarak tersebut.
Objek yang digunakan (2 jari pemeriksa / ballpoint) di gerakan mulai dari lapang pandang kahardan kiri (lateral dan medial), atas dan bawah dimana mata lain dalam keadaan tertutup dan mata yang diperiksa harus menatap lururs kedepan dan tidak boleh melirik kearah objek tersebut.
Syarat pemeriksaan lapang pandang pemeriksa harus normal.
Perimetri / kompimetri
Lebih teliti dari tes konfrontasi
Hasil pemeriksaan di proyeksikan dalam bentuk gambar di sebuah kartu.
iii. Refleks Pupil
Saraf aferen berasal dari saraf optikal sedangkan saraf aferennya dari saraf occulomotorius.
Ada dua macam refleks pupil.
Respon cahaya langsung
Pakailah senter kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk melihat reaksinya terhadap cahaya. Inspeksi kedua pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang disinari akan mengecil.
Respon cahaya konsensual
Jika pada pupil yang satu disinari maka secara serentak pupil lainnya mengecil dengan ukuran yang sama.
iv. Pemeriksaan fundus occuli (fundus kopi)
Digunakan alat oftalmoskop. Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan lensa (katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah terfokus carilah terlebih dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan vena retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus optikus.
v. Tes warna
Untuk mengetahui adanya polineuropati pada n. optikus.
c.Saraf okulomotoris (N. III)
Pemeriksaan meliputi ; Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil
1. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik pula.
2.Gerakan bola mata.
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas, dan bawah, sekligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi.
3.Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
i.Bentuk dan ukuran pupil
ii.Perbandingan pupil kanan dan kiri
pupil sebesar 1mm masih dianggap normalPerbedaan
iii. Refleks pupil
Meliputi pemeriksaan :
1.Refleks cahaya langsung (bersama N. II)
2.Refleks cahaya tidak alngsung (bersama N. II)
3.Refleks pupil akomodatif atau konvergensi
Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya sendiri) kedua otot rektus medialis akan berkontraksi. Gerakan kedua bola mata ini disebut konvergensi. Bersamaan dengan gerakan bola mata tersebut maka kedua pupil akan mengecil (otot siliaris berkontraksi) (Tejuwono) atau pasien disuruh memandang jauh dan disuruh memfokuskan 15 cm didepan matamatanya pada suatu objek diletakkan pada jarak pasien dalam keadaan normal terdapat konstriksi pada kedua pupil yang disebut reflek akomodasi.
d.Saraf Troklearis (N. IV)
Pemeriksaan meliputi
1.gerak mata ke lateral bawah
2.strabismus konvergen
3.diplopia
e.Saraf Trigeminus (N. V)
Pemeriksaan meliputi; sensibilitas, motorik dan refleks
1. Sensibilitas
Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula. Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mula-mula tes dengan ujung yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi akan timbul kembali bila mencapai dermatom C2. Temperatur tidak diperiksa secara rutin kecuali mencurigai siringobulbia, karena hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan hilangnya sensasi nyeri, pasien tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan kapas yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh mengatakan “ya” setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.
2.Motorik
Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot temporalis dan masseter. Kemudian pasien disuruh mengatupkan giginya dan lakukan palpasi adanya kontraksi masseter diatas mandibula. Kemudian pasien disuruh membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus) dan pertahankan tetap terbuka sedangkan pemeriksa berusaha menutupnya. Lesi unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang terkena).
3. Refleks
Pemeriksaan refleks meliputi
Refleks kornea
a.Langsung
Pasien diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari arah lain kapas disentuhkan pada kornea mata, misal pasien diminta melirik kearah kanan atas maka kapas disentuhkan pada kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang lain. Kemudian bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks tersebut kanan dan kiri saraf aferen berasal dari N. V tetapi eferannya (berkedip) berasal dari N.VII.
b.Tak langsung (konsensual)
Sentuhan kapas pada kornea atas akan menimbulkan refleks menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya kegunaan pemeriksaan refleks kornea konsensual ini sama dengan refleks cahaya konsensual, yaitu untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen atau eferen).
Refleks bersin (nasal refleks)
Refleks masseter
Untuk melihat adanya lesi UMN (certico bultar) penderita membuka mulut secukupnya (jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan pemeriksa diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu penutupan mulut ringan. Sebaliknya pada lesi UMN akan terlihat penutupan mulut yang kuat dan cepat.
f.Saraf abdusens (N. VI)
Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.
g.Saraf fasialis (N. VII)
Pemeriksaan saraf fasialis dilakukan saat pasien diam dan atas perintah (tes kekuatan otot) saat pasien diam diperhatikan :
Asimetri wajah
Kelumpuhan nervus VIII dapat menyebabkan penurunan sudut mulut unilateral dan kerutan dahi menghilang serta lipatan nasolabial, tetapi pada kelumpuhan nervus fasialis bilateral wajah masih tampak simetrik
Gerakan-gerakan abnormal (tic facialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus sardonicus tremor dan seterusnya ).
Ekspresi muka (sedih, gembira, takut, seperti topeng)
- Tes kekuatan otot
1.Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri.
2.Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudioan pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan dan kiri.
3.Memperlihatkan gigi (asimetri)
4.Bersiul dan menculu (asimetri / deviasi ujung bibir)
5.meniup sekuatnya, bandingkan kekuatan uadara dari pipi masing-masing.
6.Menarik sudut mulut ke bawah.
- Tes sensorik khusus (pengecapan) 2/3 depan lidah)
Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada salah satu sisi lidah.
- Hiperakusis
Jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius maka suara-suara yang diterima oleh telinga pasien menjadi lebih keras intensitasnya.
h.Saraf Vestibulokokhlearis (N. VIII)
Ada dua macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan fungsi vestibuler
1)Pemeriksaan pendengaran
Inspeksi meatus akustikus akternus dari pasien untuk mencari adanya serumen atau obstruksi lainnya dan membrana timpani untuk menentukan adanya inflamasi atau perforasi kemudian lakukan tes pendengaran dengan menggunakan gesekan jari, detik arloji, dan audiogram. Audiogram digunakan untuk membedakan tuli saraf dengan tuli konduksi dipakai tes Rinne dan tes Weber.
Tes Rinne
Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada prosesus mastoideus, dibelakang telinga, dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus akustikus oksterna. Dalam keadaan norma anda masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Pada tuli saraf anda masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Keadaan ini disebut Rinne negatif.
Tes Weber
Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam keadaan normal bunyi akan terdengar pada bagian tengah dahi pada tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga yang normal pada tuli konduktif bunyi tedengar lebih keras pada telinga yang abnormal.
2)Pemeriksaan Fungsi Vestibuler
Pemeriksaan fungsi vestibuler meliputi : nistagmus, tes romberg dan berjalan lurus dengan mata tertutup, head tilt test (Nylen – Baranny, dixxon – Hallpike) yaitu tes untuk postural nistagmus.
i.Saraf glosofaringeus (N. IX) dan saraf vagus (N. X)
Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya dibicarakan bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak / keselek (kelumpuhan palatom), kesulitan menelan dan disartria(khas bernoda hidung / bindeng). Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah terdapat pergeseran uvula, kemudian pasien disuruh menyebut “ah” jika uvula terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya kelumpuhan nervus X unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik kearah sisi yang sehat.
Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah komponen sensorik dan nervus X adalah komponen motorik). Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi dengan spacula, jangan lupa menanyakan kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali dilakukan. Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle secara refleks. Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai adanya suara serak (lesi nervus laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh batuk , tes juga rasa kecap secara rutin pada sepertinya posterior lidah (N. IX).
j.Saraf Asesorius (N. XI)
Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat bahunya dan kemudian rabalah massa otot trapezius dan usahakan untuk menekan bahunya ke bawah, kemudian pasien disuruh memutar kepalanya dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba massa otot sternokleido mastoideus.
k.Saraf Hipoglosus (N. XII)
Pemeriksaan saraf Hipoglosus dengan cara; Inspeksi lidah dalam keadaan diam didasar mulut, tentukan adanya atrofi dan fasikulasi (kontraksi otot yang halus iregular dan tidak ritmik). Fasikulasi dapat unilateral atau bilateral.
Pasien diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi yang lemah (terkena) jika terdapat lesi upper atau lower motorneuron unilateral.
Lesi UMN dari N XII biasanya bilateral dan menyebabkan lidah imobil dan kecil. Kombinasi lesi UMN bilateral dari N. IX. X, XII disebut kelumpuhan pseudobulbar.
II.4. KELAINAN YANG DAPAT MENIMBULKAN GANGGUAN PADA NERVUS CRANIALIS.
1)Saraf Olfaktorius. (N.I)
Kelainan pada nervus olfaktovius dapat menyebabkan suatu keadaan berapa gangguan penciuman sering dan disebut anosmia, dan dapat bersifat unilatral maupun bilateral. Pada anosmia unilateral sering pasien tidak mengetahui adanya gangguan penciuman.
Proses penciuman dimulai dari sel-sel olfakrorius di hidung yang serabutnya menembus bagian kribiformis tulang ethmoid di dasar di dasar tengkorak dn mencapai pusat penciuman lesi atau kerusakan sepanjang perjalanan impuls penciuman akan mengakibatkan anosmia.
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan penciuman berupa:
Agenesis traktus olfaktorius
Penyakit mukosa olfaktorius bro rhinitis dan tumor nasal
Sembuhnya rhinitis berarti juga pulihnya penciuman, tetapi pada rhinitis kronik, dimana mukosa ruang hidung menjadi atrofik penciuman dapat hilang untuk seterusnya.
Destruksi filum olfaktorius karena fraktur lamina feribrosa.
Destruksi bulbus olfaktorius dan traktus akibat kontusi “countre coup”, biasanya disebabkan karena jatuh pada belakang kepala. Anosmia unilateral atau bilalteral mungkin merupakan satu-satunya bukti neurologis dari trauma vegio orbital.
Sinusitas etmoidalis, osteitis tulang etmoid, dan peradangan selaput otak didekatnya.
Tumor garis tengah dari fosa kranialis anterior, terutama meningioma sulkus olfaktorius (fossa etmoidalis), yang dapat menghasilkan trias berupa anosmia, sindr foster kennedy, dan gangguan kepribadian jenis lobus orbitalis. Adenoma hipofise yang meluas ke rostral juga dapat merusak penciuman.
Penyakit yang mencakup lobus temporalis anterior dan basisnya (tumor intrinsik atau ekstrinsik).
Pasien mungkin tidak menyadari bahwa indera penciuman hilang sebaliknya, dia mungkin mengeluh tentang rasa pengecapan yang hilang, karena kemampuannya untuk merasakan aroma, suatu sarana yang penting untuk pengecapan menjadi hilang.
2)Saraf Optikus (N.II)
Kelainan pada nervus optikus dapat menyebabkan gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan dapat dibagi menjadi gangguan visus dan gangguan lapangan pandang. Kerusakan atau terputusnya jaras penglitan dapat mengakibatkan gangguan penglihatan kelainan dapat terjadi langsung pada nevrus optikus itu sendiri atau sepanjang jaras penglihatan yaitu kiasma optikum, traktus optikus, radiatio optika, kortek penglihatan. Bila terjadi kelainan berat makan dapat berakhir dengan kebutaan.
Orang yang buta kedua sisi tidak mempunyai lapang pandang, istilah untuk buta ialah anopia atau anopsia. Apabila lapang pandang kedua mata hilang sesisi, maka buta semacam itu dinamakan hemiopropia.
Berbagai macam perubahan pada bentuk lapang pandang mencerminkan lesi pada susunan saraf optikus. Perubahan tersebut seperti tertera pada gambar 1.
Kelainan atau lesi pada nervus optikus dapat disebabkan oleh:
1.Trauma Kepala
2.Tumor serebri (kraniofaringioma, tumor hipfise, meningioma, astrositoma)
3.Kelainan pembuluh darah
Misalnya pada trombosis arteria katotis maka pangkal artera oftalmika dapat ikut tersumbat jug. Gambaran kliniknya berupa buta ipsilateral.
4.Infeksi.
Pada pemeriksaan funduskopi dapat dilihat hal-hal sebagai berikut:
a.Papiledema (khususnya stadium dini)
Papiledema ialah sembab pupil yang bersifat non-infeksi dan terkait pada tekanan intrakkranial yang meninggi, dapat disebabkan oleh lesi desak ruang, antara lain hidrocefalus, hipertensi intakranial benigna, hipertensi stadium IV. Trombosis vena sentralis retina.
b.Atrofi optik
Dapat disebabkan oleh papiledema kronik atau papilus, glaukoma, iskemia, famitral, misal: retinitis pigmentosa, penyakit leber, ataksia friedrich.
c.Neuritis optik.
3)Saraf Okulomotorius (N.III)
Kelainan berupa paralisis nervus okulomatorius menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak ke medial, ke atas dan lateral, kebawah dan keluar. Juga mengakibatkan gangguan fungsi parasimpatis untuk kontriksi pupil dan akomodasi, sehingga reaksi pupil akan berubah. N. III juga menpersarafi otot kelopak mata untuk membuka mata, sehingga kalau lumpuh, kelopak mata akan jatuh ( ptosis)
Kelumpuhan okulomotorius lengkap memberikan sindrom di bawah ini:
1.Ptosis, disebabkan oleh paralisis otot levator palpebra dan tidak adanya perlawanan dari kerja otot orbikularis okuli yang dipersarafi oleh saraf fasialis.
2.Fiksasi posisi mata, dengan pupil ke arah bawah dan lateral, karena tak adanya perlawanan dari kerja otot rektus lateral dan oblikus superior.
3.Pupil yang melebar, tak bereaksi terhadap cahaya dan akomodasi.
Jika seluruh otot mengalami paralisis secara akut, kerusakan biasanya terjadi di perifer, paralisis otot tunggal menandakan bahwa kerusakan melibatkan nukleus okulomotorius.
Penyebab kerusakan diperifer meliputi; a). Lesi kompresif seperti tumor serebri, meningitis basalis, karsinoma nasofaring dan lesi orbital. b). Infark seperti pada arteritis dan diabetes.
4)Saraf Troklearis (N. IV)
Kelainan berupa paralisis nervus troklearis menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak kebawah dan kemedial.
Ketika pasien melihat lurus kedepan atas, sumbu dari mata yang sakit lebih tinggi daripada mata yang lain. Jika pasien melihat kebawah dan ke medial, mata berotasi dipopia terjadi pada setiap arah tatapan kecuali paralisis yang terbatas pada saraf troklearis jarang terjadi dan sering disebabkan oleh trauma, biasanya karena jatuh pada dahi atu verteks.
5)Saraf Abdusens (N. VI)
Kelainan pada paralisis nervus abdusens menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak ke lateral, ketika pasien melihat lurus ke atas, mata yang sakit teradduksi dan tidak dapat digerakkan ke lateral, ketika pasien melihat ke arah nasal, mata yang paralisis bergerak ke medial dan ke atas karena predominannya otot oblikus inferior.
Jika ketiga saraf motorik dari satu mata semuanya terganggu, mata tampak melihat lurus keatas dan tidak dapat digerakkan kesegala arah dan pupil melebar serta tidak bereaksi terhadap cahaya (oftalmoplegia totalis). Paralisis bilateral dari otot-otot mata biasanya akibat kerusakan nuklear. Penyebab paling sering dari paralisis nukleus adalah ensefelaitis, neurosifilis, mutiple sklerosis, perdarahan dan tumor.
Penyebab yang paling sering dari kelumpuhan otot-otot mata perifer adalah meningitis, sinusistis, trombosis sinus kavernosus, anevrisma arteri karotis interva atau arteri komunikantes posterior, fraktur basis kranialis.
6)Saraf Trigeminus (N. V)
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nerus trigeminus antara lain : Tumor pada bagian fosa posterior dapat menyebabkan kehilangan reflek kornea, dan rasa baal pada wajah sebagai tanda-tanda dini.
Gangguan nervus trigeminus yang paling nyata adalah neuralgia trigeminal atau tic douloureux yang menyebabkan nyeri singkat dan hebat sepanjang percabangan saraf maksilaris dan mandibularis dari nervus trigeminus. Janeta (1981) menemukan bahwa penyebab tersering dari neurolgia trigeminal dicetuskan oleh pembuluh darah. Paling sering oleh arteri serebelaris superior yang melingkari radiks saraf paling proksimal yang masih tak bermielin.
Kelainan berapa lesi ensefalitis akut di pons dapat menimbulkan gangguan berupa trismus, yaitu spasme tonik dari otot-otot pengunyah. Karena tegangan abnormal yang kuat pada otot ini mungkin pasien tidak bisa membuka mulutnya.
7)Saraf Fasialis (N. VII)
Kelainan yang dapat menyebabkan paralis nervus fasialis antara lain:
Lesi UMN (supranuklear) : tumor dan lesi vaskuler.
Lesi LMN :
Penyebab pada pons, meliputi tumor, lesi vaskuler dan siringobulbia.
Pada fosa posterior, meliputi neuroma akustik, meningioma, dan meningitis kronik.
Pada pars petrosa os temporalis dapat terjadi Bell’s palsy, fraktur, sindroma Rumsay Hunt, dan otitis media.
Penyebab kelumpuhan fasialis bilateral antara lain Sindrom Guillain Barre, mononeuritis multipleks, dan keganasan parotis bilateral.
Penyebab hilangnya rasa kecap unilateral tanpa kelainan lain dapat terjadi pada lesi telinga tengah yang meliputi Korda timpani atau nervus lingualis, tetapi ini sangat jarang.
Gangguan nervus fasialis dapat mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, kelopak mata tidak bisa ditutup, gangguan air mata dan ludah, gangguan rasa pengecap di bagian belakang lidah serta gangguan pendengaran (hiperakusis). Kelumpuhan fungsi motorik nervus fasialis mengakibatkan otot-otot wajah satu sisi tidak berfungsi, ditandai dengan hilangnya lipatan hidung bibir, sudut mulut turun, bibir tertarik kesisi yang sehat. Pasien akan mengalami kesulitan mengunyah dan menelan. Air ludah akan keluar dari sudut mulut yang turun. Kelopak mata tidak bisa menutup pada sisi yang sakit, terdapat kumpulan air mata di kelopak mata bawah (epifora). Refleks kornea pada sisi sakit tidak ada.
8)Saraf Vestibulokoklearis
Kelainan pada nervus vestibulokoklearis dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan (vertigo).
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nervus VIII antara lain:
Gangguan pendengaran, berupa :
Tuli saraf dapat disebabkan oleh tumor, misal neuroma akustik. Degenerasi misal presbiaksis. Trauma, misal fraktur pars petrosa os temporalis, toksisitas misal aspirin, streptomisin atau alkohol, infeksi misal, sindv rubella kongenital dan sifilis kongenital.
Tuli konduktif dapat disebabkan oleh serumen, otitis media, otoskleroris dan penyakit Paget.
Gangguan Keseimbangan dengan penyebab kelainan vestibuler
Pada labirin meliputi penyakit meniere, labirinitis akut, mabuk kendaraan, intoksikasi streptomisin.
Pada vestibuler meliputi semua penyebab tuli saraf ditambah neuronitis vestibularis.
Pada batang otak meliputi lesi vaskuler, tumor serebelum atau tumor ventrikel IV demielinisasi.
Pada lobus temporalis meliputi epilepsi dan iskemia.
9)Saraf Glosofaringeus (N. IX) dan Saraf Vagus (N. X)
Gangguan pada komponen sensorik dan motorik dari N. IX dan N. X dapat mengakibatkan hilangnya refleks menelan yang berisiko terjadinya aspirasi paru.
Kehilangan refleks ini pada pasien akan menyebabkan pneumonia aspirasi, sepsis dan adult respiratory distress syndome (ARDS) kondisi demikian bisa berakibat pada kematian. Gangguan nervus IX dan N. X menyebabkan persarafan otot-otot menelan menjadi lemah dan lumpuh. Cairan atau makanan tidak dapat ditelan ke esofagus melainkan bisa masuk ke trachea langsung ke paru-paru.
Kelainan yang dapat menjadi penyebab antara lain :
Lesi batang otak (Lesi N IX dan N. X)
Syringobulbig (cairan berkumpul di medulla oblongata)
Pasca operasi trepansi serebelum
Pasca operasi di daerah kranioservikal
10)Saraf Asesorius (N. XI)
Gangguan N. XI mengakibatkan kelemahan otot bahu (otot trapezius) dan otot leher (otot sterokleidomastoideus). Pasien akan menderita bahu yang turun sebelah serta kelemahan saat leher berputar ke sisi kontralateral.
Kelainan pada nervus asesorius dapat berupa robekan serabut saraf, tumor dan iskemia akibatnya persarafan ke otot trapezius dan otot stemokleidomastoideus terganggu.
11)Saraf Hipoglossus (N. XII)
Kerusakan nervus hipoglossus dapat disebabkan oleh kelainan di batang otak, kelainan pembuluh darah, tumor dan syringobulbia. Kelainan tersebut dapat menyebabkan gangguan proses pengolahan makanan dalam mulut, gangguan menelan dan gangguan proses pengolahan makanan dalam mulut, gangguan menelan dan gangguan bicara (disatria) jalan nafas dapat terganggu apabila lidah tertarik ke belakang.
Pada kerusakan N. XII pasien tidak dapat menjulurkan, menarik atau mengangkat lidahnya. Pada lesi unilateral, lidah akan membelok kearah sisi yang sakit saat dijulurkan. Saat istirahat lidah membelok ke sisi yang sehat di dalam mulut.

Senin, 28 September 2009

KPSPT

PELATIHAN KARAKTERISTIK DAN DETEKSI TUMBUH
KEMBANG ANAK USIA DINI BAGI KADER
POSYANDU PLUS

A. PENDAHULUAN
1. Analisis Situasi
Kesehatan masyarakat adalah
persoalan signifikan yang harus
menjadi perhatian pemerintah. Salah
satu bagian dari program kesehatan
masyarakat adalah kesehatan anak
usia dini, termasuk pemahaman mengenai
karakteristik tumbuh kembang
anak usia dini dan keterampilan
dalam mendetaksi secara dini
disfungsi tumbuh kembang anak.
Inotek, Volume 13, Nomor 1, Februari 2009
86
Posyandu sebagai bentuk partisipasi
masyarakat yang beraktifitas di bawah
Departemen Kesehatan merupakan
salah satu tataran pelaksanaan
pendidikan dan pemantauan
kesehatan masyarakat. Pemantauan
dan deteksi tumbuh kembang anak
usia dini merupakan bagian dari
tugas dari para kader Posyandu di
wilayah kerjanya masing-masing.
Tugas tersebut menjadi sangat penting
dan komplek karena persoalan
tumbuh kembang anak ternyata bukan
semata terarah pada pertumbuhan
dan kesehatan fisik saja, melainkan
juga komprehensif pada
perkembangan psikis anak usia dini.
Kesalahan atau disfungsi yang terjadi
pada salah satu faktor, baik fisik
ataupun psikis akan mengganggu
faktor satunya. Apabila tidak dilakukan
pemantauan dan dan deteksi
tumbuh kembang anak usia dini secara
benar dan cermat, maka disfungsi
tersebut dimungkinkan akan
menjadi kelainan permanen pada
diri anak.
Untuk efektivitas pelaksanaan
dan pencapaian tujuan dan
sasarannya, teknis Posyandu dilaksanakan
oleh kader yang menggerakkan
setiap Posyandu. Mengingat
pentingnya tugas kader Posyandu
dalam pemantauan dan deteksi
tumbuh kembang anak usia dini,
maka pemahaman dan keterampilan
setiap kader dalam konsep dan
teknis tumbuh kembang dan deteksi
dini menjadi sangat disyaratkan.
Berdasarkan uraian di atas,
rumusan masalah yang muncul sebagai
berikut.
a. Bagaimana karakteristik tumbuh
kembang anak usia dini?
b. Bagaimana proses deteksi tumbuh
kembang anak usia dini yang
dapat memantau secara cermat
proses tumbuh kembang anak
usia dini beserta kemungkinan
disfungsi yang ada ?
2. Tujuan Kegiatan
Adapun tujuan yang akan
dicapai dalam kegiatan pengabdian
pada masyarakat program IPTEKS
adalah meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan kepada kader Posyandu
di Puskesmas Imogiri I Kecamatan
Imogiri Kabupaten Bantul,
dalam hal :
a. pengetahuan mengenai karakteristik
tumbuh kembang anak usia
dini;
b. pengetahuan mengenai deteksi pada
disfungsi tumbuh kembang anak usia
dini.
3. Manfaat Kegiatan
Kegiatan pangabdian pada
masyarakat ini diharapkan akan menambah
pemahaman dan keterampilan
para kader Posyandu mengenai
karakteristik dan deteksi tumbuh
kembang anak usia dini. Bertambahnya
pemahaman dan keterampilan
para kader Posyandu akan
mendukung upaya pemantauan kesehatan
dan pengendalian disfungsi
tumbuh kembang anak usia dini.
Kemampuan deteksi dini juga
diharapkan akan mencegah dan menimalisasi
adanya efek negatif yang
akan dialami anak dari disfungsi
tumbuh kembang, seperti gangguan
dan kecacatan tertentu, baik fisik
maupun psikis. Dengan demikian,
manfaat makro yang akan dirasakan
adalah peningkatan kualitas kesehatan
fisik dan mental generasi yang
sangat diperlukan sumber dayanya
untuk kelangsungan pembangunan
bangsa.
4. Tinjauan Pustaka
a. Karakteristik Anak Usia dini
i. Pengertian Anak Usia Dini
Hurlock (1980) membuat tahapan
rentang usia kehidupan manusia
sesuai tahap-tahap perkembangannya
dengan memberikan gambaran
batasan usia kronologis. Menurut
Hurlock, anak usia dini biasanya
berusia 2 sampai dengan 6 tahun.
Hurlock menjelaskan lebih
lanjut, bahwa terdapat beberapa istilah
untuk menyebut anak usia dini.
Orangtua sering menyebutnya sebagai
“usia yang mengundang masalah”
atau “usia sulit”, karena pada
tahap ini, sering terjadi masalah
perilaku anak-anak. Orang tua juga
menyebutnya sebagai “usia mainan”,
karena anak-anak menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk
bermain dengan mainan-mainannya.
Sementara itu, para pendidik menggunakan
istilah usia dini untuk
membedakannnya dengan anakanak
yang cukup tua baik secara
fisik dan mental yang telah mampu
untuk menghadapi tugas-tugas di
sekolah. Sedangkan pakar psikologi
memiliki sebutan yang beraneka,
diantaranya adalah “usia kelompok”,
sebab anak-anak mempelajari
dasar-dasar perilaku sosial sebagai
persiapan untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosial. Selain itu
terdapat sebutan “usia menjelajah”,
sebab anak-anak berusaha menguasai
dan mengendalikan lingkungan
yang didorong oleh rasa ingin tahunya
yang besar. Usia ini juga disebut
“usia bertanya”, karena anak banyak
mengajukan pertanyaan dalam melakukan
penjelajahan tersebut. Selain
itu, masa ini disebut pula sebagai
“usia meniru”, karena hal
yang menonjol pada periode ini
adalah anak senang meniru pembicaraan
dan perilaku orang lain di
sekitarnya. Namun anak juga menunjukkan
kreativitasnya dalam bermain,
sehingga periode ini juga
disebut sebagai “usia kreatif”.
ii. Perkembangan Psikologis Anak
Usia Dini
1) Perkembangan Kognitif
Jean Piaget, seorang pakar
psikologi yang terkenal dengan teori
perkembangan kognitifnya, menyebut
usia dini dengan tahap praoperasional
(pre-operational stage).
Karakteristik dari tahap pra-operasional
oleh Papalia, dkk. (2002) disimpulkan
terdiri dari dua wilayah
karakteristik, yaitu kelebihan dan
kekurangan.
a) Kelebihan Tahap Pra-Operasional
Inotek, 88
Kelebihan tahap berpikir
praoperasional meliputi fungsi
simbolik yang diiringi oleh tumbuhnya
pemahaman terhadap ruang,
kausalitas, identitas, kategorisasi
dan angka.
(1) Fungsi Simbolik: kemampuan
anak untuk menggunakan simbol-
simbol atau hal-hal yang mewakili
aktivitas mental seperti kata,
angka, atau imaji yang membuat
manusia memahami arti.
Dengan memiliki simbol dari
benda-benda, akan membantu
anak mengingat dan berpikir tentang
benda-benda tersebut tanpa
harus ada kehadiran benda-benda
tersebut secara fisik (nyata).
Fungsi simbolik pada anak usia
dini ditunjukkan melalui imitasi
yang ditunda, bermain pura-pura
dan bahasa. Imitasi yang ditunda
(deferred imitation) yaitu didasarkan
pada pengamatan terhadap
perilaku orang lain. Contohnya
anak memarahi temannya
dengan menggunakan kata-kata
yang sama yang ia dengar dari
ayahnya ketika memarahi orang
lain. Pada bermain pura-pura
(pretend play), anak melambangkan
suatu objek sebagai sesuatu
yang lain. Misalnya, boneka dianggap
sebagai anak. Sementara
itu, bahasa terdiri dari simbolsimbol
yang umum dalam komunikasi
yaitu kata-kata.
(2) Pemahaman terhadap Identitas: anak
dapat memahami bahwa penggantian
penampakan sesuatu tidak mengubah
hakikat benda tersebut yang sesungguhnya.
(3) Pemahaman terhadap sebab dan
akibat: anak mengerti bahwa setiap
kejadian memiliki penyebab.
(4) Kemampuan untuk membuat klasifikasi:
anak mampu mengatur
objek, orang, dan kejadian ke dalam
kategorisasi yang berarti.
(5) Pemahaman terhadap angka: anak
mampu berhitung dan berhubungan dengan
kuantitas.
(6) Empati: anak menjadi lebih mampu
untuk membayangkan bagaimana kemungkinan
perasaan orang lain.
(7) Teori Akal: anak menjadi lebih sadar
terhadap aktivitas mental dan fungsi
pikiran.
b) Kekurangan Tahap Praperasional
Kekurangan atau keterbatasan
tahap pra-operasional meliputi
pemusatan, irreversibilitas, fokus
pada keadaan yang tetap daripada
perubahan bentuk, penalaran transduktif,
egosentrisme, animisme, dan
ketidakmampuan untuk membedakan
penampakan dengan kenyataan.
(1) Pemusatan: ketidakmampuan untuk
memecah. Anak memusatkan
pada satu aspek dari situasi dan
mengabaikan aspek-aspek yang
lain.
(2) Irreversibilitas: anak gagal untuk
memahami bahwa beberapa operasi
atau kegiatan dapat dibalik,
mengembalikan ke posisi sebenarnya.
(3) Fokus pada keadaan yang tetap
daripada perubahan bentuk: anak tidak
dapat memahami signifikansi perubahan
bentuk diantara bentuk yang tetap.
(4) Penalaran transduktif: anak tidak
menggunakan penalaran induktif
atau deduktif, tetapi mereka
melompat pada satu fakta ke
fakta lain.
(5) Egosentrisme: anak menganggap
pemikiran orang lain dan
perasaan orang lain seperti yang
mereka lakukan.
(6) Animisme: anak menganggap hidup
objek-objek yang tidak hidup.
(7) Ketidakmampuan untuk membedakan
penampakan dan kenyataan:
anak merasa kebingungan
dengan kondisi sesungguhnya
pada sesuatu yang tampak secara
luarnya.
iii. Perkembangan Emosi
Anak usia dini mulai belajar
untuk mengenali emosinya. Saarni,
dkk. (seperti dikutip oleh Papalia,
dkk., 2002) menyatakan bahwa anak
usia dini dapat membicarakan perasaan
mereka dan dapat melihat
perasaan orang lain. Anak usia dini
dapat memahami bahwa emosiemosi
tersebut berhubungan dengan
pengalaman-pengalaman dan keinginan-
keinginan. Namun demikian,
mereka masih belum dapat memahami
secara utuh terhadap beberapa
emosi yang berhubungan
langsung dengan diri sendiri seperti
malu dan bangga. Selain itu, anak
usia dini menemui kesulitan untuk
mendamaikan beberapa emosi yang
berlawanan, seperti merasa bahagia
mendapatkan sepeda baru, tetapi
merasa kecewa karena warnanya
tidak sesuai yang diinginkan (Kestenbaum
& Gelman dalam Papalia,
dkk., 2002). Menurut Papalia, dkk.
(2002), emosi-emosi yang langsung
berhubungan dengan diri sendiri
seperti malu dan bangga, berkembang
selama tahun ketiga, setelah
anak memiliki kesadaran diri (selfawareness).
Emosi-emosi ini tergantung
pada penanaman standar perilaku
oleh orangtua.
Penelitian yang dilakukan
oleh Harter (dalam Papalia, dkk.,
2002) menemukan bahwa perkembangan
emosi pada anak-anak terjadi
secara bertahap. Penelitian tersebut
melibatkan anak yang berusia
antara 4 sampai 8 tahun, anak-anak
tersebut dibacakan dua buah cerita.
Cerita pertama, seorang anak mengambil
beberapa uang receh dari
kotak setelah diberitahu ia tidak
boleh mengambil uang receh tersebut.
Cerita kedua, seorang anak
menampilkan sebuah atraksi senam
yang sulit, yaitu salto di atas sebuah
papan. Masing-masing cerita ditampilkan
dengan dua versi, salah satunya
orangtua melihat aksi anak tersebut
dan versi lain tidak ada seorang
pun yang melihat perilaku
anak tersebut. Anak-anak dalam penelitian
tersebut diminta menyatakan
bagaimana perasaannya dan
perasaan orangtua pada masingmasing
keadaan tersebut.
Anak usia 4-5 tahun tidak
menyatakan apakah dirinya atau
orangtua merasa bangga atau malu.
Inotek,
Mereka justru menggunakan istilah
seperti “cemas” atau “takut” (pada
insiden anak mengambil koin) dan
“menyenangkan” atau “bahagia”
(pada atraksi senam). Anak usia 5-6
tahun menyatakan bahwa orangtua
mereka akan merasa malu atau
bangga, tetapi anak-anak tidak
mengetahui apakah mereka sendiri
merasakan emosi tersebut. Anak
usia 6-7 tahun menyatakan bahwa
mereka akan merasa bangga atau
malu, hanya jika mereka diamati.
Anak usia 7-8 tahun memahami
bahwa ada atau tidak orang lain
yang mengamati mereka, mereka
akan merasa malu atau bangga.
iv. Perkembangan Psikososial
Menurut Erik H. Erikson,
tahap psikososial yang terjadi pada
anak usia dini karakteristiknya adalah
inisiatif lawan perasaan bersalah.
Pada usia dini, inisiatif anak berkembang
pesat, banyak hal yang
anak-anak ingin lakukan. Tetapi
orangtua dan orang dewasa lainnya
menyatakan bahwa anak-anak tidak
dapat melakukan segala sesuatu
yang mereka inginkan. Pada kondisi
seperti inilah, menurut Erikson,
muncul krisis antara inisiatif lawan
perasaan bersalah, yaitu pada satu
sisi ada hal-hal yang ingin dilakukan,
tetapi pada sisi lain terdapat
larangan dari orang dewasa di
sekitar anak-anak (Steinberg, dkk.,
1991).
v. Perkembangan Motorik
a) Gross motor skills (keterampilan
motorik kasar)
Keterampilan motorik kasar
berkembang pada tahap usia dini
secara dramatik. Anak-anak menjadi
senang menjelajah sejalan dengan
perkembangan motoriknya yang semakin
baik. Anak-anak usia dini
sangat aktif, lebih aktif dibanding
tahap-tahap perkembangan lainnya
(Santrock, 1999).
b). Fine motor skills (keterampilan
motorik halus)
Keterampilan motorik halus
juga berkembang secara substantif
pada tahap usia dini. Anak usia 3
tahun telah dapat memegang bendabenda
ramping diantara ibu jari dan
telunjuknya, tetapi mereka masih
kikuk. Ketika anak usia 3 tahun
bermain puzzle sederhana, mereka
akan menempatkan kepingan-kepingan
puzzle secara kasar. Anak
usia 4 tahun mengalami perkembangan
motorik halus secara substantif
lebih meningkat. Misalnya
anak mengalami kesulitan untuk
membangun balok-balok menjadi
sebuah menara, mereka mungkin
mengalami kesulitan karena ingin
membuatnya secara sempurna dan
merasa putus asa. Anak usia 5 tahun
memiliki perkembangan motorik
halus yang lebih meningkat. Tangan,
lengan dan tubuh, semuanya
bergerak bersama dibawah koordinasi
mata (Santrock, 1999).
b. Deteksi Dini Tumbuh Kembang
Anak
Pelatihan Karakteristik dan Deteksi Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
91
i. Pengertian Deteksi Dini Tumbuh
Kembang Anak
Deteksi dini merupakan upaya
penjaringan yang dilaksanakan secara
komprehensif untuk menemukan penyimpangan
tumbuh kembang dan mengetahui
serta mengenal faktor resiko (fisik,
biomedik, psikososial) pada balita, yang
disebut juga anak usia dini (Tim Dirjen
Pembinaan Kesmas , 1997).
ii. Kegunaan Deteksi Dini
Kegunaan deteksi dini adalah
untuk mengetahui penyimpangan tumbuh
kembang anak secara dini, sehingga upaya
pencegahan, upaya stimulasi, dan upaya
penyembuhan serta pemulihan dapat
diberikan dengan indikasi yang jelas sedini
mungkin pada masa-masa kritis proses
tumbuh kembang. Upaya-upaya tersebut
diberikan sesuai dengan umur perkembangan
anak, dengan demikian dapat
tercapai kondisi tumbuh kembang yang
optimal ((Tim Dirjen Pembinaan Kesmas ,
1997).
iii. Alat untuk Melakukan Deteksi
Dini
Alat untuk deteksi dini berupa
tes skrining yang telah distandardisasi
untuk menjaring anak yang
mempunyai kelainan dari mereka
yang normal ((Tim Dirjen Pembinaan
Kesmas , 1997). Tes skrining
yang peka, dapat meramalkan keadaan
anak dikemudian hari. Oleh
sebab itu, diperlukan kepekaan dari
petugas yang melakukan deteksi
dini, dalam hal ini kader Posyandu.
Menurut Pedoman Deteksi
Dini Tumbuh Kembang Balita (Tim
Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997)
macam-macam tes skrining yang
digunakan adalah seperti berikut.
1) Pengukuran Berat Badan menurut
Umur (BB/ U)
Pengukuran ini dilakukan secara
teratur untuk memantau pertumbuhan
dan keadaan gizi balita.
Balita ditimbang setiap bulan dan
dicatat dalam Kartu Menuju Sehat
Balita (KMS Balita) sehingga
dapat dilihat grafik pertumbuhannya
dan dilakukan interefensi jika
terjadi penyimpangan.
2) Pengukuran Lingkaran Kepala
Anak (PLKA)
PLKA adalah cara yang biasa dipakai
untuk mengetahui perkembangan otak
anak. Biasanya besar tengkorak mengikuti
perkembangan otak, sehingga bila
ada hambatan pada perkembangan
tengkorak maka perkembangan otak
anak juga terhambat. PLKA dapat
dipakai sebagai salah satu alat pemantau
perkembangan kecerdasan anak.
3) Kuesioner Pra Skrining Perkembangan
(KPSP)
KPSP adalah suatu daftar pertanyaan
singkat yang ditujukan kepada orang
tua dan dipergunakan sebagai alat untuk
melakukan skrining pendahuluan perkembangan
anak usia 3 bulan sampai
dengan 6 tahun. Untuk tiap golongan
usia terdapat 10 pertanyaan untuk orang
tua atau pengasuh.
KPSP dapat digunakan untuk mengetahui
ada tidaknya hambatan dalam
perkembangan anak. Namun hasil yang
negatif tidak selalu berarti bahwa
perkembangan anak tersebut tidak
normal, tetapi hal ini menunjukkan
Inotek,
bahwa anak tersebut memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut. Untuk jumlah
jawaban “Ya” kurang atau sama
dengan enam, maka anak tersebut harus
dirujuk ke ahli.
4) Kuesioner Perilaku Anak Prasekolah
(KPAP)
KPAP adalah sekumpulan kondisikondisi
perilaku yang digunakan sebagai
alat untuk mendeteksi secara dini
kelainan-kelainan perilaku anak prasekolah,
sehingga dapat segera dilakukan
tindakan untuk mengantisipasinya.
KPAP diberikan kepada anak usia
prasekolah atau 3-6 tahun. Dalam
KPAP terdapat 30 perilaku yang ditanyakan
kepada orang tua atau
pengasuh anak. Jika didapatkan hasil
nilai lebih atau sama dengan sebelas,
maka anak perlu dirujuk.
5) Tes Daya Lihat (TDL) dan Tes
Kesehatan Mata (TKM) bagi
Anak Prasekolah.
TDL dan TKM bagi anak prasekolah
(3-6 tahun) adalah alat
untuk memeriksa ketajaman daya
lihat serta kelainan mata pada
golongan usia tersebut. Dengan
demikian dapat segera ditentukan
interfensi sehingga membuat
anak lebih siap untuk masuk
sekolah dan belajar tanpa adanya
gangguan kesehatan mata.
c. Kader Posyandu Plus
i. Pengertian Posyandu Plus
Posyandu merupakan suatu
kegiatan masyarakat, oleh masyarakat,
dan untuk masyarakat dengan
memakai sistem lima meja (Meja 1:
Pendaftaran, Meja 2: Penimbangan,
Meja 3: Pencatatan Hasil Penimbangan,
Meja 4: Penyuluhan, Meja
5: Pelayanan Kesehatan dan Keluarga
Berencana) yang memberikan
lima pelayanan yaitu: Pelayanan
Gizi, Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA), Keluarga Berencana (KB),
Penanggulangan Diare, dan Pelayanan
Imunisasi.
Posyandu Plus merupakan
pengembangan Posyandu melalui
rujukan mitra keluarga yang menghasilkan
lima pelayanan di Posyandu
dengan penambahan (plus)
pada pelayanan konseling mitra
keluarga serta pengaturan waktu
buka (pelayanan) yang fleksibel
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sasaran dari Posyandu Plus
adalah seluruh anggota keluarga
yang terdiri dari: 1) Keluarga baru;
2) Keluarga ibu hamil, melahirkan,
dan menyusui; 3) Keluarga bayi dan
balita; 4) Keluarga anak usia sekolah
dan remaja; 5) Keluarga usia
subur; dan 6) Keluarga usia lanjut
(Tim Pengembangan Posyandu Plus
Propinsi DIY, 2006).
ii. Kader Posyandu Plus
Menurut Tim Konsep Pengembangan
Posyandu Plus Propinsi
DIY (2006), Posyandu diselenggarakan
oleh masyarakat sendiri dengan
bimbingan dan pembinaan dari petugas
lintas sektor terkait. Anggota
masyarakat yang dilatih dan dibina
ini disebut dengan istilah kader.
Selama ini pelatihan dan pembinaan
kader dilakukan oleh Dinas Kesehatan
melalui Puskesmas setempat,
Pelatihan Karakteristik dan Deteksi Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
93
dengan demikian fokus pelatihan
dan pembinaan hanya ditekankan
pada bidang kesehatan. Dalam pengembangannya
menjadi Posyandu
Plus, pelatihan dan pembinaan kader
tidak hanya akan difokuskan pada
bidang kesehatan saja tetapi juga
akan meliputi bidang hukum, sosial,
ekonomi, pendidikan, dan psikologi.
B. METODE PENGABDIAN
Program pengabdian kepada
masyarakat yang berupa pelatihan
karakteristik dan deteksi dini tumbuh
kembang ini disampaikan kepada
khalayan sasaran dengan beberapa
metode sebagai berikut.
1. Ceramah
Metode ini dipilih untuk menyampaikan
teori dan konsep-konsep yang
sangat prinsip dan penting untuk
dimengerti serta dikuasai oleh peserta
pelatihan. Materi yang diberikan meliputi
pengertian dan karakteristik anak
usia dini; tahap-tahap perkembangan
kognitif, emosi, psikososial, dan
motorik anak usia dini; pengetahuan
mengenai deteksi tumbuh kembang
anak usia dini; dan pengetahuan tentang
alat yang dibutuhkan untuk melakukan
deteksi tumbuh kembang anak usia dini.
a. Display Study (foto dan film)
Metode ini dipilih untuk menampilkan
kondisi dan perilakuperilaku
yang mungkin terjadi
pada anak usia dini, baik anak
yang normal maupun anak
berkebutuhan khusus. Dengan
display study maka para peserta
pelatihan akan dapat melakukan
pengamatan perilaku anak dan
mempraktekkan deteksi tumbuh
kembang pada anak usia dini.
b. Role Play
Pada metode ini peserta secara
bergantian akan mempraktekkan cara
pelayanan, pendeteksian, penyuluhan,
dan interfensi dini pada penyimpangan
tumbuh kembang anak.
c. Studi kasus dan diskusi
Pada metode ini peserta akan melakukan
kajian terhadap kasus-kasus
yang mungkin dihadapi oleh kader
Posyandu pada prakteknya nanti.
Dengan begitu kader diharapkan akan
menjadi lebih terampil dan memiliki
bekal yang cukup untuk melakukan
pelayanan deteksi tumbuh kembang
anak usia dini.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil yang Dicapai
Pelaksanaan pelatihan kepada
kader POSYANDU ini
membawa hasil yang nyata sesuai
dengan tujuan program yang dirumuskan
sebelumnya. Evaluasi
yang dilakukan menunjukkan bahwa
para kader yang mengikuti pelatihan
ini menyatakan bertambahnya pemahaman
mereka mengenai karakteristik
tumbuh kembang anak usia
dini dan bertambah pula keterampilan
dalam mendeteksi secara
dini disfungsi tumbuh kembang
anak. Secara umum tindak lanjut
yang dilakukan para kader Posyandu
Plus setelah mengikuti pelatihan
adalah para kader telah memasukkan
materi proses tumbuh kembang
Inotek,
dan deteksi disfungsi tumbuh kembang
anak usia dini dalam penyuluhan
yang mereka adakan. Selain
itu para kader juga menjadi lebih
“aware” akan adanya disfungsi tumbuh
kembang yang ada di lingkungan
sekitar mereka dan mampu memberi
solusi dan saran atas temuan
permasalahan tumbuh kembang
anak yang dihadapi oleh masyarakat.
2. Manfaat dan Kontribusi
Manfaat dan kontribusi dari
kegiatan pangabdian kepada masyarakat
ini dirasakan sesuai dengan
harapan yang dirumuskan sebelum
pelaksanaan, yakni menambah pemahaman
dan keterampilan para
kader Posyandu mengenai karakteristik
dan deteksi tumbuh kembang
anak usia dini. Kebermanfaatan dan
kontribusi dari program ini diidentifikasi
dari beberapa aspek selama
masa perencanaan, pelaksanaan, dan
setelah program berakhir, sebagai
berikut.
a. Manfaat dan Kontribusi dari
Masa Perencanaan Program
Masa perencanaan program
yang berupa penyusunan rencana
pelaksanaan, survey awal kondisi
POSYANDU di pedesaan, dan wawancara
terhadap Pimpinan PUSKESMAS
Imogiri I Bantul Yogyakarta,
menunjukkan bahwa pelatihan
ini bermanfaat dan berkontribusi
sebagai sarana pengembangan dan
sosialisasi ilmu pengetahuan. Pengembangan
ilmu pengetahuan dapat
dilihat dari rumusan materi
karakteristik dan deteksi tumbuh
kembang anak usia dini yang dirancang
untuk menjawab kebutuhan
dan kondisi realitas minim dan
terbatasnya pengetahuan mengenai
karakteristik tumbuh kembang anak
usia dini dan keterampilan masyarakat
secara utuh mengenai deteksi
tumbuh kembang anak usia dini.
Manfaat dan kontribusi berupa sosialisasi
dari program ini jelas terlihat
dari bentuk program yang berupa
transfer ilmu pengetahuan kepada
masyarakat yang menjadi sasaran
yaitu kader Posyandu. Di samping
itu, program pelatihan yang
melibatkan PUSKESMAS Imogiri I
menunjukkan adanya kerja sama
yang manfaat dan kontribusinya terasa
berupa pengembangan jaringan
kelembagaan pada bidang yang
searah, yaitu pemerataan kesejahteraan
dan kesehatan anak usia dini.
b. Manfaat dan Kontribusi
selama Pelaksanaan Kegiatan
Melihat dari interaksi dalam
forum pelatihan ini serta evaluasi
dan pernyataan peserta, kegiatan ini
sangat bermanfaat dan membawa
kontribusi bagi kader POSYANDU
dalam mendapatkan pengetahuan
yang sistematis dan komprehensif
mengenai karakteristik tumbuh kembang
anak usia dini serta keterampilan
dalam mendeteksi disfungsi
tumbuh kembang anak sejak usia
dini. Di samping itu, bertemunya 34
orang kader POSYANDU unit kerja
PUSKESMAS Imogiri I yang
asal dari wilayah pedesaan yang
tersebar di wilayah kecamatan Imogiri
membawa manfaat dan kontribusi
bagi terjalinnya komunikasi
dan berbagi pengalaman dari kasus
dan problem tumbuh kembang anak
usia dini temuan di lapangan yang
didiskusikan dalam forum.
iii. Manfaat setelah Pelaksanaan
Program
Pengetahuan baru yang didapat
dari pelatihan ini juga sangat bermanfaat
dan memberi kontribusi bagi para kader
POSYANDU sebagai bekal dalam melaksanakan
tugas di lapangan. Manfaat dan
kontribusi pelatihan ini yang berhubungan
langsung dengan tugas kader POSYANDU
yaitu berupa tugas memberi
pengetahuan kepada masyakarakat, membantu
masyarakat dalam menghadapi dan
mengatasi persoalan yang berkaitan dengan
kesehatan dan tumbuh kembang anak, dan
mengingatkan akan persoalan tumbuh
kembang anak usia dini yang belum
disadari atau dimengerti oleh masyarakat.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Program Pengabdian kepada
Masyarakat yang berbentuk pelatihan
ini dapat dikatakan berjalan dengan
baik dan sesuai dengan perencanaan.
Adapun beberapa hal yang
dapat disimpulkan dari berlangsungnya
program ini sebagai berikut.
a. Rumusan masalah berupa pengetahuan
mengenai karakteristik
tumbuh kembang, karakteristik
disfungsi tumbuh kembang, serta
deteksi tumbuh kembang anak
usia dini telah terjawab dari materi
pelatihan yang disampaikan.
Semua materi tersebut diperdalam
dengan studi kasus dan
tanya jawab. Selain itu wawasan
peserta juga bertambah dengan
adanya praktik dan simulasi
stimulasi tumbuh kembang anak
usia dini melalui treatmen pijat
bayi.
b. Sasaran pelatihan sangat tepat,
dilihat dari khalayak sasaran
yang memang membutuhkan materi
pelatihan sebagai bekal tugas
kader Posyandu Plus di lingkungan
masyarakat, serta secara
kuantitatif dilihat dari jumlah
peserta yang melebihi harapan.
Dari 25 peserta yang direncanakan
hadir 34 peserta.
c. Sebagian besar kader peserta telah
meneruskan sosialisasikan materi pelatihan
pada masyarakat binaan
Posyandu Plus masing-masing. Bahkan,
para kader telah dapat memberi
saran untuk masalah tumbuh kembang
anak yang ditemui di lapangan.
2. Saran
a. Di masa mendatang akan ada pelatihan
mengenai deteksi disfungsi tumbuh
kembang anak yang lebih mendalam
dan operasional, serta mengenai penanganan
awal yang bisa dilakukan oleh
kader maupun keluarga bila menemukan
kasus disfungsi tumbuh kembang. Diharapkan
juga adanya pelatihan stimulasi
bagi pertumbuhan dan perkembangan
anak usia dini yang praktis, mudah, dan
murah.
b. Kesinambungan kerja sama antara
PUSKESMAS sebagai lembaga
kesehatan pemerintah dengan
Universitas Negeri Yogyakarta
terutama Jurusan yang berkaitan
dengan kesehatan dan pendidikan
anak, untuk lebih mengejawantahkan
ilmu dalam tataran
praktik dan kebermanfaatan pada
masyarakat luas.

KPSPT

PELATIHAN KARAKTERISTIK DAN DETEKSI TUMBUH
KEMBANG ANAK USIA DINI BAGI KADER
POSYANDU PLUS

A. PENDAHULUAN
1. Analisis Situasi
Kesehatan masyarakat adalah
persoalan signifikan yang harus
menjadi perhatian pemerintah. Salah
satu bagian dari program kesehatan
masyarakat adalah kesehatan anak
usia dini, termasuk pemahaman mengenai
karakteristik tumbuh kembang
anak usia dini dan keterampilan
dalam mendetaksi secara dini
disfungsi tumbuh kembang anak.
Inotek, Volume 13, Nomor 1, Februari 2009
86
Posyandu sebagai bentuk partisipasi
masyarakat yang beraktifitas di bawah
Departemen Kesehatan merupakan
salah satu tataran pelaksanaan
pendidikan dan pemantauan
kesehatan masyarakat. Pemantauan
dan deteksi tumbuh kembang anak
usia dini merupakan bagian dari
tugas dari para kader Posyandu di
wilayah kerjanya masing-masing.
Tugas tersebut menjadi sangat penting
dan komplek karena persoalan
tumbuh kembang anak ternyata bukan
semata terarah pada pertumbuhan
dan kesehatan fisik saja, melainkan
juga komprehensif pada
perkembangan psikis anak usia dini.
Kesalahan atau disfungsi yang terjadi
pada salah satu faktor, baik fisik
ataupun psikis akan mengganggu
faktor satunya. Apabila tidak dilakukan
pemantauan dan dan deteksi
tumbuh kembang anak usia dini secara
benar dan cermat, maka disfungsi
tersebut dimungkinkan akan
menjadi kelainan permanen pada
diri anak.
Untuk efektivitas pelaksanaan
dan pencapaian tujuan dan
sasarannya, teknis Posyandu dilaksanakan
oleh kader yang menggerakkan
setiap Posyandu. Mengingat
pentingnya tugas kader Posyandu
dalam pemantauan dan deteksi
tumbuh kembang anak usia dini,
maka pemahaman dan keterampilan
setiap kader dalam konsep dan
teknis tumbuh kembang dan deteksi
dini menjadi sangat disyaratkan.
Berdasarkan uraian di atas,
rumusan masalah yang muncul sebagai
berikut.
a. Bagaimana karakteristik tumbuh
kembang anak usia dini?
b. Bagaimana proses deteksi tumbuh
kembang anak usia dini yang
dapat memantau secara cermat
proses tumbuh kembang anak
usia dini beserta kemungkinan
disfungsi yang ada ?
2. Tujuan Kegiatan
Adapun tujuan yang akan
dicapai dalam kegiatan pengabdian
pada masyarakat program IPTEKS
adalah meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan kepada kader Posyandu
di Puskesmas Imogiri I Kecamatan
Imogiri Kabupaten Bantul,
dalam hal :
a. pengetahuan mengenai karakteristik
tumbuh kembang anak usia
dini;
b. pengetahuan mengenai deteksi pada
disfungsi tumbuh kembang anak usia
dini.
3. Manfaat Kegiatan
Kegiatan pangabdian pada
masyarakat ini diharapkan akan menambah
pemahaman dan keterampilan
para kader Posyandu mengenai
karakteristik dan deteksi tumbuh
kembang anak usia dini. Bertambahnya
pemahaman dan keterampilan
para kader Posyandu akan
mendukung upaya pemantauan kesehatan
dan pengendalian disfungsi
tumbuh kembang anak usia dini.
Kemampuan deteksi dini juga
diharapkan akan mencegah dan menimalisasi
adanya efek negatif yang
akan dialami anak dari disfungsi
tumbuh kembang, seperti gangguan
dan kecacatan tertentu, baik fisik
maupun psikis. Dengan demikian,
manfaat makro yang akan dirasakan
adalah peningkatan kualitas kesehatan
fisik dan mental generasi yang
sangat diperlukan sumber dayanya
untuk kelangsungan pembangunan
bangsa.
4. Tinjauan Pustaka
a. Karakteristik Anak Usia dini
i. Pengertian Anak Usia Dini
Hurlock (1980) membuat tahapan
rentang usia kehidupan manusia
sesuai tahap-tahap perkembangannya
dengan memberikan gambaran
batasan usia kronologis. Menurut
Hurlock, anak usia dini biasanya
berusia 2 sampai dengan 6 tahun.
Hurlock menjelaskan lebih
lanjut, bahwa terdapat beberapa istilah
untuk menyebut anak usia dini.
Orangtua sering menyebutnya sebagai
“usia yang mengundang masalah”
atau “usia sulit”, karena pada
tahap ini, sering terjadi masalah
perilaku anak-anak. Orang tua juga
menyebutnya sebagai “usia mainan”,
karena anak-anak menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk
bermain dengan mainan-mainannya.
Sementara itu, para pendidik menggunakan
istilah usia dini untuk
membedakannnya dengan anakanak
yang cukup tua baik secara
fisik dan mental yang telah mampu
untuk menghadapi tugas-tugas di
sekolah. Sedangkan pakar psikologi
memiliki sebutan yang beraneka,
diantaranya adalah “usia kelompok”,
sebab anak-anak mempelajari
dasar-dasar perilaku sosial sebagai
persiapan untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosial. Selain itu
terdapat sebutan “usia menjelajah”,
sebab anak-anak berusaha menguasai
dan mengendalikan lingkungan
yang didorong oleh rasa ingin tahunya
yang besar. Usia ini juga disebut
“usia bertanya”, karena anak banyak
mengajukan pertanyaan dalam melakukan
penjelajahan tersebut. Selain
itu, masa ini disebut pula sebagai
“usia meniru”, karena hal
yang menonjol pada periode ini
adalah anak senang meniru pembicaraan
dan perilaku orang lain di
sekitarnya. Namun anak juga menunjukkan
kreativitasnya dalam bermain,
sehingga periode ini juga
disebut sebagai “usia kreatif”.
ii. Perkembangan Psikologis Anak
Usia Dini
1) Perkembangan Kognitif
Jean Piaget, seorang pakar
psikologi yang terkenal dengan teori
perkembangan kognitifnya, menyebut
usia dini dengan tahap praoperasional
(pre-operational stage).
Karakteristik dari tahap pra-operasional
oleh Papalia, dkk. (2002) disimpulkan
terdiri dari dua wilayah
karakteristik, yaitu kelebihan dan
kekurangan.
a) Kelebihan Tahap Pra-Operasional
Inotek, 88
Kelebihan tahap berpikir
praoperasional meliputi fungsi
simbolik yang diiringi oleh tumbuhnya
pemahaman terhadap ruang,
kausalitas, identitas, kategorisasi
dan angka.
(1) Fungsi Simbolik: kemampuan
anak untuk menggunakan simbol-
simbol atau hal-hal yang mewakili
aktivitas mental seperti kata,
angka, atau imaji yang membuat
manusia memahami arti.
Dengan memiliki simbol dari
benda-benda, akan membantu
anak mengingat dan berpikir tentang
benda-benda tersebut tanpa
harus ada kehadiran benda-benda
tersebut secara fisik (nyata).
Fungsi simbolik pada anak usia
dini ditunjukkan melalui imitasi
yang ditunda, bermain pura-pura
dan bahasa. Imitasi yang ditunda
(deferred imitation) yaitu didasarkan
pada pengamatan terhadap
perilaku orang lain. Contohnya
anak memarahi temannya
dengan menggunakan kata-kata
yang sama yang ia dengar dari
ayahnya ketika memarahi orang
lain. Pada bermain pura-pura
(pretend play), anak melambangkan
suatu objek sebagai sesuatu
yang lain. Misalnya, boneka dianggap
sebagai anak. Sementara
itu, bahasa terdiri dari simbolsimbol
yang umum dalam komunikasi
yaitu kata-kata.
(2) Pemahaman terhadap Identitas: anak
dapat memahami bahwa penggantian
penampakan sesuatu tidak mengubah
hakikat benda tersebut yang sesungguhnya.
(3) Pemahaman terhadap sebab dan
akibat: anak mengerti bahwa setiap
kejadian memiliki penyebab.
(4) Kemampuan untuk membuat klasifikasi:
anak mampu mengatur
objek, orang, dan kejadian ke dalam
kategorisasi yang berarti.
(5) Pemahaman terhadap angka: anak
mampu berhitung dan berhubungan dengan
kuantitas.
(6) Empati: anak menjadi lebih mampu
untuk membayangkan bagaimana kemungkinan
perasaan orang lain.
(7) Teori Akal: anak menjadi lebih sadar
terhadap aktivitas mental dan fungsi
pikiran.
b) Kekurangan Tahap Praperasional
Kekurangan atau keterbatasan
tahap pra-operasional meliputi
pemusatan, irreversibilitas, fokus
pada keadaan yang tetap daripada
perubahan bentuk, penalaran transduktif,
egosentrisme, animisme, dan
ketidakmampuan untuk membedakan
penampakan dengan kenyataan.
(1) Pemusatan: ketidakmampuan untuk
memecah. Anak memusatkan
pada satu aspek dari situasi dan
mengabaikan aspek-aspek yang
lain.
(2) Irreversibilitas: anak gagal untuk
memahami bahwa beberapa operasi
atau kegiatan dapat dibalik,
mengembalikan ke posisi sebenarnya.
(3) Fokus pada keadaan yang tetap
daripada perubahan bentuk: anak tidak
dapat memahami signifikansi perubahan
bentuk diantara bentuk yang tetap.
(4) Penalaran transduktif: anak tidak
menggunakan penalaran induktif
atau deduktif, tetapi mereka
melompat pada satu fakta ke
fakta lain.
(5) Egosentrisme: anak menganggap
pemikiran orang lain dan
perasaan orang lain seperti yang
mereka lakukan.
(6) Animisme: anak menganggap hidup
objek-objek yang tidak hidup.
(7) Ketidakmampuan untuk membedakan
penampakan dan kenyataan:
anak merasa kebingungan
dengan kondisi sesungguhnya
pada sesuatu yang tampak secara
luarnya.
iii. Perkembangan Emosi
Anak usia dini mulai belajar
untuk mengenali emosinya. Saarni,
dkk. (seperti dikutip oleh Papalia,
dkk., 2002) menyatakan bahwa anak
usia dini dapat membicarakan perasaan
mereka dan dapat melihat
perasaan orang lain. Anak usia dini
dapat memahami bahwa emosiemosi
tersebut berhubungan dengan
pengalaman-pengalaman dan keinginan-
keinginan. Namun demikian,
mereka masih belum dapat memahami
secara utuh terhadap beberapa
emosi yang berhubungan
langsung dengan diri sendiri seperti
malu dan bangga. Selain itu, anak
usia dini menemui kesulitan untuk
mendamaikan beberapa emosi yang
berlawanan, seperti merasa bahagia
mendapatkan sepeda baru, tetapi
merasa kecewa karena warnanya
tidak sesuai yang diinginkan (Kestenbaum
& Gelman dalam Papalia,
dkk., 2002). Menurut Papalia, dkk.
(2002), emosi-emosi yang langsung
berhubungan dengan diri sendiri
seperti malu dan bangga, berkembang
selama tahun ketiga, setelah
anak memiliki kesadaran diri (selfawareness).
Emosi-emosi ini tergantung
pada penanaman standar perilaku
oleh orangtua.
Penelitian yang dilakukan
oleh Harter (dalam Papalia, dkk.,
2002) menemukan bahwa perkembangan
emosi pada anak-anak terjadi
secara bertahap. Penelitian tersebut
melibatkan anak yang berusia
antara 4 sampai 8 tahun, anak-anak
tersebut dibacakan dua buah cerita.
Cerita pertama, seorang anak mengambil
beberapa uang receh dari
kotak setelah diberitahu ia tidak
boleh mengambil uang receh tersebut.
Cerita kedua, seorang anak
menampilkan sebuah atraksi senam
yang sulit, yaitu salto di atas sebuah
papan. Masing-masing cerita ditampilkan
dengan dua versi, salah satunya
orangtua melihat aksi anak tersebut
dan versi lain tidak ada seorang
pun yang melihat perilaku
anak tersebut. Anak-anak dalam penelitian
tersebut diminta menyatakan
bagaimana perasaannya dan
perasaan orangtua pada masingmasing
keadaan tersebut.
Anak usia 4-5 tahun tidak
menyatakan apakah dirinya atau
orangtua merasa bangga atau malu.
Inotek,
Mereka justru menggunakan istilah
seperti “cemas” atau “takut” (pada
insiden anak mengambil koin) dan
“menyenangkan” atau “bahagia”
(pada atraksi senam). Anak usia 5-6
tahun menyatakan bahwa orangtua
mereka akan merasa malu atau
bangga, tetapi anak-anak tidak
mengetahui apakah mereka sendiri
merasakan emosi tersebut. Anak
usia 6-7 tahun menyatakan bahwa
mereka akan merasa bangga atau
malu, hanya jika mereka diamati.
Anak usia 7-8 tahun memahami
bahwa ada atau tidak orang lain
yang mengamati mereka, mereka
akan merasa malu atau bangga.
iv. Perkembangan Psikososial
Menurut Erik H. Erikson,
tahap psikososial yang terjadi pada
anak usia dini karakteristiknya adalah
inisiatif lawan perasaan bersalah.
Pada usia dini, inisiatif anak berkembang
pesat, banyak hal yang
anak-anak ingin lakukan. Tetapi
orangtua dan orang dewasa lainnya
menyatakan bahwa anak-anak tidak
dapat melakukan segala sesuatu
yang mereka inginkan. Pada kondisi
seperti inilah, menurut Erikson,
muncul krisis antara inisiatif lawan
perasaan bersalah, yaitu pada satu
sisi ada hal-hal yang ingin dilakukan,
tetapi pada sisi lain terdapat
larangan dari orang dewasa di
sekitar anak-anak (Steinberg, dkk.,
1991).
v. Perkembangan Motorik
a) Gross motor skills (keterampilan
motorik kasar)
Keterampilan motorik kasar
berkembang pada tahap usia dini
secara dramatik. Anak-anak menjadi
senang menjelajah sejalan dengan
perkembangan motoriknya yang semakin
baik. Anak-anak usia dini
sangat aktif, lebih aktif dibanding
tahap-tahap perkembangan lainnya
(Santrock, 1999).
b). Fine motor skills (keterampilan
motorik halus)
Keterampilan motorik halus
juga berkembang secara substantif
pada tahap usia dini. Anak usia 3
tahun telah dapat memegang bendabenda
ramping diantara ibu jari dan
telunjuknya, tetapi mereka masih
kikuk. Ketika anak usia 3 tahun
bermain puzzle sederhana, mereka
akan menempatkan kepingan-kepingan
puzzle secara kasar. Anak
usia 4 tahun mengalami perkembangan
motorik halus secara substantif
lebih meningkat. Misalnya
anak mengalami kesulitan untuk
membangun balok-balok menjadi
sebuah menara, mereka mungkin
mengalami kesulitan karena ingin
membuatnya secara sempurna dan
merasa putus asa. Anak usia 5 tahun
memiliki perkembangan motorik
halus yang lebih meningkat. Tangan,
lengan dan tubuh, semuanya
bergerak bersama dibawah koordinasi
mata (Santrock, 1999).
b. Deteksi Dini Tumbuh Kembang
Anak
Pelatihan Karakteristik dan Deteksi Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
91
i. Pengertian Deteksi Dini Tumbuh
Kembang Anak
Deteksi dini merupakan upaya
penjaringan yang dilaksanakan secara
komprehensif untuk menemukan penyimpangan
tumbuh kembang dan mengetahui
serta mengenal faktor resiko (fisik,
biomedik, psikososial) pada balita, yang
disebut juga anak usia dini (Tim Dirjen
Pembinaan Kesmas , 1997).
ii. Kegunaan Deteksi Dini
Kegunaan deteksi dini adalah
untuk mengetahui penyimpangan tumbuh
kembang anak secara dini, sehingga upaya
pencegahan, upaya stimulasi, dan upaya
penyembuhan serta pemulihan dapat
diberikan dengan indikasi yang jelas sedini
mungkin pada masa-masa kritis proses
tumbuh kembang. Upaya-upaya tersebut
diberikan sesuai dengan umur perkembangan
anak, dengan demikian dapat
tercapai kondisi tumbuh kembang yang
optimal ((Tim Dirjen Pembinaan Kesmas ,
1997).
iii. Alat untuk Melakukan Deteksi
Dini
Alat untuk deteksi dini berupa
tes skrining yang telah distandardisasi
untuk menjaring anak yang
mempunyai kelainan dari mereka
yang normal ((Tim Dirjen Pembinaan
Kesmas , 1997). Tes skrining
yang peka, dapat meramalkan keadaan
anak dikemudian hari. Oleh
sebab itu, diperlukan kepekaan dari
petugas yang melakukan deteksi
dini, dalam hal ini kader Posyandu.
Menurut Pedoman Deteksi
Dini Tumbuh Kembang Balita (Tim
Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997)
macam-macam tes skrining yang
digunakan adalah seperti berikut.
1) Pengukuran Berat Badan menurut
Umur (BB/ U)
Pengukuran ini dilakukan secara
teratur untuk memantau pertumbuhan
dan keadaan gizi balita.
Balita ditimbang setiap bulan dan
dicatat dalam Kartu Menuju Sehat
Balita (KMS Balita) sehingga
dapat dilihat grafik pertumbuhannya
dan dilakukan interefensi jika
terjadi penyimpangan.
2) Pengukuran Lingkaran Kepala
Anak (PLKA)
PLKA adalah cara yang biasa dipakai
untuk mengetahui perkembangan otak
anak. Biasanya besar tengkorak mengikuti
perkembangan otak, sehingga bila
ada hambatan pada perkembangan
tengkorak maka perkembangan otak
anak juga terhambat. PLKA dapat
dipakai sebagai salah satu alat pemantau
perkembangan kecerdasan anak.
3) Kuesioner Pra Skrining Perkembangan
(KPSP)
KPSP adalah suatu daftar pertanyaan
singkat yang ditujukan kepada orang
tua dan dipergunakan sebagai alat untuk
melakukan skrining pendahuluan perkembangan
anak usia 3 bulan sampai
dengan 6 tahun. Untuk tiap golongan
usia terdapat 10 pertanyaan untuk orang
tua atau pengasuh.
KPSP dapat digunakan untuk mengetahui
ada tidaknya hambatan dalam
perkembangan anak. Namun hasil yang
negatif tidak selalu berarti bahwa
perkembangan anak tersebut tidak
normal, tetapi hal ini menunjukkan
Inotek,
bahwa anak tersebut memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut. Untuk jumlah
jawaban “Ya” kurang atau sama
dengan enam, maka anak tersebut harus
dirujuk ke ahli.
4) Kuesioner Perilaku Anak Prasekolah
(KPAP)
KPAP adalah sekumpulan kondisikondisi
perilaku yang digunakan sebagai
alat untuk mendeteksi secara dini
kelainan-kelainan perilaku anak prasekolah,
sehingga dapat segera dilakukan
tindakan untuk mengantisipasinya.
KPAP diberikan kepada anak usia
prasekolah atau 3-6 tahun. Dalam
KPAP terdapat 30 perilaku yang ditanyakan
kepada orang tua atau
pengasuh anak. Jika didapatkan hasil
nilai lebih atau sama dengan sebelas,
maka anak perlu dirujuk.
5) Tes Daya Lihat (TDL) dan Tes
Kesehatan Mata (TKM) bagi
Anak Prasekolah.
TDL dan TKM bagi anak prasekolah
(3-6 tahun) adalah alat
untuk memeriksa ketajaman daya
lihat serta kelainan mata pada
golongan usia tersebut. Dengan
demikian dapat segera ditentukan
interfensi sehingga membuat
anak lebih siap untuk masuk
sekolah dan belajar tanpa adanya
gangguan kesehatan mata.
c. Kader Posyandu Plus
i. Pengertian Posyandu Plus
Posyandu merupakan suatu
kegiatan masyarakat, oleh masyarakat,
dan untuk masyarakat dengan
memakai sistem lima meja (Meja 1:
Pendaftaran, Meja 2: Penimbangan,
Meja 3: Pencatatan Hasil Penimbangan,
Meja 4: Penyuluhan, Meja
5: Pelayanan Kesehatan dan Keluarga
Berencana) yang memberikan
lima pelayanan yaitu: Pelayanan
Gizi, Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA), Keluarga Berencana (KB),
Penanggulangan Diare, dan Pelayanan
Imunisasi.
Posyandu Plus merupakan
pengembangan Posyandu melalui
rujukan mitra keluarga yang menghasilkan
lima pelayanan di Posyandu
dengan penambahan (plus)
pada pelayanan konseling mitra
keluarga serta pengaturan waktu
buka (pelayanan) yang fleksibel
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sasaran dari Posyandu Plus
adalah seluruh anggota keluarga
yang terdiri dari: 1) Keluarga baru;
2) Keluarga ibu hamil, melahirkan,
dan menyusui; 3) Keluarga bayi dan
balita; 4) Keluarga anak usia sekolah
dan remaja; 5) Keluarga usia
subur; dan 6) Keluarga usia lanjut
(Tim Pengembangan Posyandu Plus
Propinsi DIY, 2006).
ii. Kader Posyandu Plus
Menurut Tim Konsep Pengembangan
Posyandu Plus Propinsi
DIY (2006), Posyandu diselenggarakan
oleh masyarakat sendiri dengan
bimbingan dan pembinaan dari petugas
lintas sektor terkait. Anggota
masyarakat yang dilatih dan dibina
ini disebut dengan istilah kader.
Selama ini pelatihan dan pembinaan
kader dilakukan oleh Dinas Kesehatan
melalui Puskesmas setempat,
Pelatihan Karakteristik dan Deteksi Tumbuh Kembang Anak Usia Dini
93
dengan demikian fokus pelatihan
dan pembinaan hanya ditekankan
pada bidang kesehatan. Dalam pengembangannya
menjadi Posyandu
Plus, pelatihan dan pembinaan kader
tidak hanya akan difokuskan pada
bidang kesehatan saja tetapi juga
akan meliputi bidang hukum, sosial,
ekonomi, pendidikan, dan psikologi.
B. METODE PENGABDIAN
Program pengabdian kepada
masyarakat yang berupa pelatihan
karakteristik dan deteksi dini tumbuh
kembang ini disampaikan kepada
khalayan sasaran dengan beberapa
metode sebagai berikut.
1. Ceramah
Metode ini dipilih untuk menyampaikan
teori dan konsep-konsep yang
sangat prinsip dan penting untuk
dimengerti serta dikuasai oleh peserta
pelatihan. Materi yang diberikan meliputi
pengertian dan karakteristik anak
usia dini; tahap-tahap perkembangan
kognitif, emosi, psikososial, dan
motorik anak usia dini; pengetahuan
mengenai deteksi tumbuh kembang
anak usia dini; dan pengetahuan tentang
alat yang dibutuhkan untuk melakukan
deteksi tumbuh kembang anak usia dini.
a. Display Study (foto dan film)
Metode ini dipilih untuk menampilkan
kondisi dan perilakuperilaku
yang mungkin terjadi
pada anak usia dini, baik anak
yang normal maupun anak
berkebutuhan khusus. Dengan
display study maka para peserta
pelatihan akan dapat melakukan
pengamatan perilaku anak dan
mempraktekkan deteksi tumbuh
kembang pada anak usia dini.
b. Role Play
Pada metode ini peserta secara
bergantian akan mempraktekkan cara
pelayanan, pendeteksian, penyuluhan,
dan interfensi dini pada penyimpangan
tumbuh kembang anak.
c. Studi kasus dan diskusi
Pada metode ini peserta akan melakukan
kajian terhadap kasus-kasus
yang mungkin dihadapi oleh kader
Posyandu pada prakteknya nanti.
Dengan begitu kader diharapkan akan
menjadi lebih terampil dan memiliki
bekal yang cukup untuk melakukan
pelayanan deteksi tumbuh kembang
anak usia dini.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil yang Dicapai
Pelaksanaan pelatihan kepada
kader POSYANDU ini
membawa hasil yang nyata sesuai
dengan tujuan program yang dirumuskan
sebelumnya. Evaluasi
yang dilakukan menunjukkan bahwa
para kader yang mengikuti pelatihan
ini menyatakan bertambahnya pemahaman
mereka mengenai karakteristik
tumbuh kembang anak usia
dini dan bertambah pula keterampilan
dalam mendeteksi secara
dini disfungsi tumbuh kembang
anak. Secara umum tindak lanjut
yang dilakukan para kader Posyandu
Plus setelah mengikuti pelatihan
adalah para kader telah memasukkan
materi proses tumbuh kembang
Inotek,
dan deteksi disfungsi tumbuh kembang
anak usia dini dalam penyuluhan
yang mereka adakan. Selain
itu para kader juga menjadi lebih
“aware” akan adanya disfungsi tumbuh
kembang yang ada di lingkungan
sekitar mereka dan mampu memberi
solusi dan saran atas temuan
permasalahan tumbuh kembang
anak yang dihadapi oleh masyarakat.
2. Manfaat dan Kontribusi
Manfaat dan kontribusi dari
kegiatan pangabdian kepada masyarakat
ini dirasakan sesuai dengan
harapan yang dirumuskan sebelum
pelaksanaan, yakni menambah pemahaman
dan keterampilan para
kader Posyandu mengenai karakteristik
dan deteksi tumbuh kembang
anak usia dini. Kebermanfaatan dan
kontribusi dari program ini diidentifikasi
dari beberapa aspek selama
masa perencanaan, pelaksanaan, dan
setelah program berakhir, sebagai
berikut.
a. Manfaat dan Kontribusi dari
Masa Perencanaan Program
Masa perencanaan program
yang berupa penyusunan rencana
pelaksanaan, survey awal kondisi
POSYANDU di pedesaan, dan wawancara
terhadap Pimpinan PUSKESMAS
Imogiri I Bantul Yogyakarta,
menunjukkan bahwa pelatihan
ini bermanfaat dan berkontribusi
sebagai sarana pengembangan dan
sosialisasi ilmu pengetahuan. Pengembangan
ilmu pengetahuan dapat
dilihat dari rumusan materi
karakteristik dan deteksi tumbuh
kembang anak usia dini yang dirancang
untuk menjawab kebutuhan
dan kondisi realitas minim dan
terbatasnya pengetahuan mengenai
karakteristik tumbuh kembang anak
usia dini dan keterampilan masyarakat
secara utuh mengenai deteksi
tumbuh kembang anak usia dini.
Manfaat dan kontribusi berupa sosialisasi
dari program ini jelas terlihat
dari bentuk program yang berupa
transfer ilmu pengetahuan kepada
masyarakat yang menjadi sasaran
yaitu kader Posyandu. Di samping
itu, program pelatihan yang
melibatkan PUSKESMAS Imogiri I
menunjukkan adanya kerja sama
yang manfaat dan kontribusinya terasa
berupa pengembangan jaringan
kelembagaan pada bidang yang
searah, yaitu pemerataan kesejahteraan
dan kesehatan anak usia dini.
b. Manfaat dan Kontribusi
selama Pelaksanaan Kegiatan
Melihat dari interaksi dalam
forum pelatihan ini serta evaluasi
dan pernyataan peserta, kegiatan ini
sangat bermanfaat dan membawa
kontribusi bagi kader POSYANDU
dalam mendapatkan pengetahuan
yang sistematis dan komprehensif
mengenai karakteristik tumbuh kembang
anak usia dini serta keterampilan
dalam mendeteksi disfungsi
tumbuh kembang anak sejak usia
dini. Di samping itu, bertemunya 34
orang kader POSYANDU unit kerja
PUSKESMAS Imogiri I yang
asal dari wilayah pedesaan yang
tersebar di wilayah kecamatan Imogiri
membawa manfaat dan kontribusi
bagi terjalinnya komunikasi
dan berbagi pengalaman dari kasus
dan problem tumbuh kembang anak
usia dini temuan di lapangan yang
didiskusikan dalam forum.
iii. Manfaat setelah Pelaksanaan
Program
Pengetahuan baru yang didapat
dari pelatihan ini juga sangat bermanfaat
dan memberi kontribusi bagi para kader
POSYANDU sebagai bekal dalam melaksanakan
tugas di lapangan. Manfaat dan
kontribusi pelatihan ini yang berhubungan
langsung dengan tugas kader POSYANDU
yaitu berupa tugas memberi
pengetahuan kepada masyakarakat, membantu
masyarakat dalam menghadapi dan
mengatasi persoalan yang berkaitan dengan
kesehatan dan tumbuh kembang anak, dan
mengingatkan akan persoalan tumbuh
kembang anak usia dini yang belum
disadari atau dimengerti oleh masyarakat.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Program Pengabdian kepada
Masyarakat yang berbentuk pelatihan
ini dapat dikatakan berjalan dengan
baik dan sesuai dengan perencanaan.
Adapun beberapa hal yang
dapat disimpulkan dari berlangsungnya
program ini sebagai berikut.
a. Rumusan masalah berupa pengetahuan
mengenai karakteristik
tumbuh kembang, karakteristik
disfungsi tumbuh kembang, serta
deteksi tumbuh kembang anak
usia dini telah terjawab dari materi
pelatihan yang disampaikan.
Semua materi tersebut diperdalam
dengan studi kasus dan
tanya jawab. Selain itu wawasan
peserta juga bertambah dengan
adanya praktik dan simulasi
stimulasi tumbuh kembang anak
usia dini melalui treatmen pijat
bayi.
b. Sasaran pelatihan sangat tepat,
dilihat dari khalayak sasaran
yang memang membutuhkan materi
pelatihan sebagai bekal tugas
kader Posyandu Plus di lingkungan
masyarakat, serta secara
kuantitatif dilihat dari jumlah
peserta yang melebihi harapan.
Dari 25 peserta yang direncanakan
hadir 34 peserta.
c. Sebagian besar kader peserta telah
meneruskan sosialisasikan materi pelatihan
pada masyarakat binaan
Posyandu Plus masing-masing. Bahkan,
para kader telah dapat memberi
saran untuk masalah tumbuh kembang
anak yang ditemui di lapangan.
2. Saran
a. Di masa mendatang akan ada pelatihan
mengenai deteksi disfungsi tumbuh
kembang anak yang lebih mendalam
dan operasional, serta mengenai penanganan
awal yang bisa dilakukan oleh
kader maupun keluarga bila menemukan
kasus disfungsi tumbuh kembang. Diharapkan
juga adanya pelatihan stimulasi
bagi pertumbuhan dan perkembangan
anak usia dini yang praktis, mudah, dan
murah.
b. Kesinambungan kerja sama antara
PUSKESMAS sebagai lembaga
kesehatan pemerintah dengan
Universitas Negeri Yogyakarta
terutama Jurusan yang berkaitan
dengan kesehatan dan pendidikan
anak, untuk lebih mengejawantahkan
ilmu dalam tataran
praktik dan kebermanfaatan pada
masyarakat luas.

KEMITRAAN DALAM PROMOSI KESEHATAN

Kemitraan Dalam Kesehatan Dalam Promosi Kesehatan
Bangsa indonesia merupakan negara yang sedang berkembang yang mempunyai banyak permasalahan yang membutuh penyelesaian yang melibatkan semua komponen masyarakat, salah satu penyebab yang menyebabkan lambatnya berbagai permasalahan adalah masih sangat rendahnya pendidikan masyarakat terhadap permasalahan yang terjadi disekitar mereka, sebagai suatu perbandingan permasalah penyakit malaria sudah dilakukan pencegahan.
Masalah kesehatan adalah tanggung jawab bersama setiap individu,masyarakat,pemerintah dan swasta.Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan memang merupakan sektor yang paling depan dalam bertanggung jawab(leading sector) ,namun dalam mengimplementasikan kebijakan dan program ,intervensi harus bersama-sama dengan sektor lain ,baik pemerintah maupun swasta.Dengan kata lain sektor kesehatan seyogyanya merupakan pemrakarsa dalam menjalin kerjasama atau kemitraan (partnership) dengan sektor-sektor terkait. (Notoadjmojo,2003)
Kemitraan pada esensinya adalah dikenal dengan istilah gotong royong atau kerjasama dari berbagai pihak, baik secara individual maupun kelompok. Menurut Notoatmodjo (2003), Kemitraan adalah suatu kerja sama formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu.
Sedangkan menurut Depkes (2006) dalam promosi kesehatan Online mengemukana bahwa Kemitraan adalah hubungan (kerjsama) antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan (memberikan manfaat).
Adapun unsur-unsur kemitraan adalah :
a. Adanya hubungan (kerjasama) antara dua pihak atau lebih
b. Adanya kesetaraan antara pihak-pihak tersebut
c. Adanya keterbukaan atau kepercayaan (trust relationship) antara pihak-pihak tersebut
d. Adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan atau memberi manfaat.
Menurut Ansarul Fahruda, dkk (2005), untuk membangun sebuah kemitraan, harus didasarkan pada hal-hal berikut :
a. Kesamaan perhatian (common interest) atau kepentingan,
b. Saling mempercayai dan saling menghormati
c. Tujuan yang jelas dan terukur
d. Kesediaan untuk berkorban baik, waktu, tenaga, maupun sumber daya yang lain.
Adapun prinsip-prinsip kemitraan adalah:
a. Persamaan atau equality,
b. Keterrbukaan atau transparancy dan
c. Saling menguntungkan atau mutual benefit.
Untuk mengembangkan kemitraan di bidang kesehatan secara konsep terdiri 3 tahap yaitu tahap pertama adalah kemitraan lintas program di lingkungan sektor kesehatan sendiri, tahap kedua kemitraan lintas sektor di lingkungan institusi pemerintah dan yang tahap ketiga adalah membangun kemitraan yang lebih luas, lintas program, lintas sektor. lintas bidang dan lintas organisasi yang mencakup :
a. Unsur pemerintah,
b. Unsur swasta atau dunia usaha,
c. Unsur lsm dan organisasi masa
d. Unsur organisasi profesi.
Hal ini sejalan seperti di kemukakan oleh WHO (2000) untuk membangun kemitraan kesehatan perlu diidentifikasi lima prinsip kemitraan yaitu
a. Policy-makers (pengambil kebijakan)
b. Health managers
c. Health professionals
d. Academic institutions
e. Communities institutions
Kemitraan di bidang kesehatan adalah kemitraan yang dikembangkan dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.
Dasar Pemikiran Kemitraan dalam Kesehatan
• Kesehatan adalah hak azasi manusia, merupakan investasi, dan sekaligus merupakan kewajiban bagi semua pihak.
• Masalah kesehatan saling berkaitan dan saling mempengaruhi dengan masalah lain, seperti masalah pendidikan, ekonomi, sosial, agama, politik, keamanan, ketenagakerjaan, pemerintahan, dll.
• Karenanya masalah kesehatan tidak dapat diatasi oleh sektor kesehatan sendiri, melainkan semua pihak juga perlu peduli terhadap masalah kesehatan tersebut, khususnya kalangan swasta.
• Dengan peduli pada masalah kesehatan tersebut, berbagai pihak khususnya pihak swasta diharapkan juga memperoleh manfaat, karena kesehatan meningkatan kualitas SDM dan meningkatkan produktivitas.
• Pentingnya kemitraan (partnership) ini mulai digencarkan oleh WHO pada konfrensi internasional promosi kesehatan yang keempat di Jakarta pada tahun 1997.
• Sehubungan dengan itu perlu dikembangkan upaya kerjsama yang saling memberikan manfaat. Hubungan kerjasama tersebut akan lebih efektif dan efisien apabila juga didasari dengan kesetaraan.

Tujuan Kemitraan dan Hasil yang Diharapkan
Tujuan umum :Meningkatkan percepatan, efektivitas dan efisiensi upaya kesehatan dan upaya pembangunan pada umumnya.
Tujuan khusus :
1. Meningkatkan saling pengertian;
2. Meningkatkan saling percaya;
3. Meningkatkan saling memerlukan;
4. Meningkatkan rasa kedekatan;
5. Membuka peluang untuk saling membantu;
6. Meningkatkan daya, kemampuan, dan kekuatan;
7. Meningkatkan rasa saling menghargai;
Hasil yang diharapkan :
• Adanya percepatan, efektivitas dan efisiensi berbagai upaya termasuk kesehatan.

Perilaku Kemitraan :
Adalah semua pihak, semua komponen masyarakat dan unsur pemerintah, Lembaga Perwakilan Rakyat, perguruan tinggi, media massa, penyandang dana, dan lain-lain, khususnya swasta.
Prinsip, Landasan dan Langkah Dalam Pengembangan Kemitraan
• 3 prinsip, yaitu : kesetaraan, dalam arti tidak ada atas bawah (hubungan vertikal), tetapi sama tingkatnya (horizontal); keterbukaan dan saling menguntungkan.
• 7 saling, yaitu : saling memahami kedudukan, tugas dan fungsi (kaitan dengan struktur); saling memahami kemampuan masing-masing (kapasitas unit/organisasi); saling menghubungi secara proaktif (linkage); saling mendekati, bukan hanya secara fisik tetapi juga pikiran dan perasaan (empati, proximity); saling terbuka, dalam arti kesediaan untuk dibantu dan membantu (opennes); saling mendorong/mendukung kegiatan (synergy); dan saling menghargai kenyataan masing-masing (reward).
• 6 langkah : penjajagan/persiapan, penyamaan persepsi, pengaturan peran, komunikasi intensif, melakukan kegiatan, dan melakukan pemantauan & penilaian.

Peran Dinas Kesehatan dalam Pengembangan Kemitraan di Bidang Kesehatan
Beberapa alternatif peran yang dapat dilakukan, sesuai keadaan, masalah dan potensi setempat adalah :
1. Initiator : memprakarsai kemitraan dalam rangka sosialisasi dan operasionalisasi Indonesia Sehat.
2. Motor/dinamisator : sebagai penggerak kemitraan, melalui pertemuan, kegiatan bersama, dll.
3. Fasilitator : memfasiltasi, memberi kemudahan sehingga kegiatan kemitraan dapat berjalan lancar.
4. Anggota aktif : berperan sebagai anggota kemitraan yang aktif.
5. Peserta kreatif : sebagai peserta kegiatan kemitraan yang kreatif.
6. Pemasok input teknis : memberi masukan teknis (program kesehatan).
7. Dukungan sumber daya : memberi dukungan sumber daya sesuai keadaan, masalah dan potensi yang ada.
Indikator Keberhasilan
• Indikator input : Jumlah mitra yang menjadi anggota.
• Indikator proses :Kontribusi mitra dalam jaringan kemitraan, jumlah pertemuan yang diselenggarakan, jumlah dan jenis kegiatan bersama yang dilakukan, keberlangsungan kemitraan yang dijalankan.
• Indikator output : Jumlah produk yang dihasilkan, percepatan upaya yang dilakukan, efektivitas dan efisiensi upaya yang diselenggarakan.
Contoh Kemitraan Dalam Kesehatan
Paguyuban Penderita Tuberkulosis Kec. Sumberjambe
Salah satu pendekatan kemitraan yang berbasis komunitas dalam program penanggulangan tuberkulosis telah dilaksanakan di Propinsi Jawa Timur yaitu dengan adanya peran serta masyarakat melalui Paguyuban Penderita Tubekulosis Kec. Sumberjamber.
Kecamatan Sumberjambe adalah salah satu kecamatan di Kab. Jember dan terletak di sebelah utara Kota Jember dengan jarak tempuh + 35 km yang berada di dataran tinggi di kaki Gunung Raung. Jumlah penduduknya sekitar 53.806 jiwa, dengan sebagian bekerja sebagai petani maupun buruh perkebunan. Untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan, penduduk lebih banyak berobat ke Puskesmas Sumberjambe. Penyakit menular yang sering ditemukan adalah diantaranya penyakit Campak dan tuberkulosis (TB)
Untuk pelayanan pengobatan tuberkulosis, Puskesmas Sumberjambe secara khusus mengumpulkan hari pemberian obat anti tuberkulosisi (OAT) pada hari yang sama sehingga sesama penderita sering bertemu dan saling tukar menukar informasi terutama tentang penyakit yang diderita dan pengalaman berobatnya. Adanya pemahaman bahwa penyakit tuberkulosis yang dideritanya merupakan penyakit menular sehingga dapat menularkan kepada orang lain dan dulunya dirinya sendiri secara tidak sengaja tertulari. Selain itu adanya rasa senasib diantara sesama penderita TB yang berobat secara teratur di Puskesmas Sumberjambe Kec. Sumberjambe Kab. Jember.
Setelah dinyatakan sembuh, para mantan penderita ini merasa ikut bertanggung jawab karena sebagai sumber penularan sehingga ikut membantu mencari penderita yang dicurigai tertular TB dan ikut membantu sebagai pengawas minum obat.
Tujuan pembentukan paguyuban
Tujuan dari paguyuban penderita tubekulosis ini adalah membantu menurunan angka kesakitan TB sehingga TB tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Kec. Sumber-jambe Kab. Jember. Adapun tujuan secara khusus yaitu :
a. Sebagai wadah komunikasi diantara mantan penderita maupun penderita TB untuk tetap berobat sampai sembuh
b. Secara perorangan membantu penemuan suspek penderita TB
c. Secara perorangan membantu sebagai pengawas minum obat.
d. Sebagai langkah awal wadah pengembangan usaha untuk peningkatan penghasilan dari penderita atau mantan penderita TB yang berasal dari tingkat sosial ekonomi rendah.
Kegiatan dan peran dalam program penanggulangan tuberkulosis
Kegiatan utama dari paguyuban ini adalah:
1. Pertemuan rutin 3 bulanan
2. Penemuan suspek di masyarakat dan
3. Sebagai pengawas minum obat
Setelah melalui pertemuan telah diadakan pemilihan yang secara sepakat dipilih Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan wakil sekretaris. Jumlah seluruhnya pengurus dan anggota yang terdaftar sebanyak 80 orang dimana semuanya adalah penderita yang masih berobat dan yang sudah sembuh setelah menjalani pengobatan tuberkuloisis. Pengurus dan anggota paguyuban relatif berasal dari tingkat sosial ekonomi rendah.
Pada awalnya dana kegiatan pertemuan dibantu sepenuhnya oleh Puskesmas Sumbejambe yang berasal dari dana PKS BBM. Bila selanjutnya tidak ada dana PKS BBM ini, maka akan mempengaruhi pelaksanaan program dari paguyuban ini terutama dalam membantu program penanggulangan tuberkulosis khususnya di Kec. Sumbejambe. Dengan demikian perlu disarankan untuk mencari donator lain atau dana operasional ke Dinas terkait sampai paguyuban ini bisa secara mandiri dapat memenuhi kebutuhan dana operasionalnya. Sebagai upaya untuk mandiri tersebut, masing-masing anggota dapat berkontribusi dana secara sukarela sesuai kesepakatan
Sebelum secara resmi terwadahi dalam paguyuban ini yaitu mulai tahun 2004, para anggota sudah banyak membantu pelaksanaan program penang-gulangan Tuberkuloisis. Peran aktifnya terutama dalam sosialisasi program, pengawasan pengobatan dan penemuan suspek. Pada gambar 1 terlihat adanya peningkatan penemuan yang berarti serta turunnya penderita yang drop out. Pada tahun 2005 ini dilaporkan bahwa suatu ketika paguyuban ini pernah membawa 5 (lima) orang yang dicurigai sebagai penderita TB ke Puskesmas Sumbejambe dan setelah dilakukan pemeriksaan, ke lima orang tersebut penderita TB BTA positif.
Adanya paguyuban ini telah membantu UPK (Unit Pelaksana Teknis) Puskesmas Sumberjambe dalam program penanggulangan Tuberkulosis, dimana pencapaian program sangat baik. Penemuan penderita baru TB BTA (+) pada tahun 2004 telah mencapai 80% dan angka kesembuhan pada tahun 2003 > 85%. Hasil ini jauh lebih baik dibandingkan pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2003 dimana penemuan penderita baru TB BTA positif hanya mencapai 28%.
Pencapaian yang telah baik ini, jika dipertahankan selama 5 tahun berturut-turut akan memberikan dampak pada penurunan angka kesakitan TB di Kec. Sumberjambe pada khususnya.
Model kemitraan berbasis masyarakat atau paguyuban penderita penyakit tuberkulosis ini perlu dikembangkan ke daerah lainnya terutama daerah dengan resiko tinggi penularan, dengan mempertimbangkan budaya, tingkat sosial yang ada tentunya. Untuk melanggengkan keberadaan paguyuban ini perlu dijaga komitmen yang tinggi dari para anggota yaitu kesepakatan melaksanakan kegiatan utama untuk terus membantu penemuan penderita suspek TB dan sebagai pengawas minum obat. Selanjutnya dibuat kesepakatan usaha peningkatan penghasilan pengurus dan anggota melalui usaha kecil dan menengah (UKM) disamping mengajak pihak swasta atau donator yang tidak terikat.
DAFTAR PUSTAKA :
Depkes RI, 2006, Kemitraan Dan Peran Serta, promosi kesehatan online, mailto: webmaster@ promokes.qo.id.
Fahrudda, Ansarul,dkk, 2005, Paguyuban Penderita TB Paru Kec. Sumberjambe Kab. Jember (Suatu Model Peningkatan Penemuan Penderita TB dan Pengawas Minum Obat Berbasis Masyarakat), Laporan supervise PTO-East Java, Surabaya.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
WHO, 2000, Chalenges And Opportunities For Partnership In Health Development, Geneva