Rabu, 15 September 2010

Mencari Strategi Baru Gerakan Mahasiswa Ditengah Otonomi Daerah




Gerakan mahasiswa (GERMA) satu dasawarsa ini, mengalamai banyak penurunan, bukan karena rezim otoriter (fasis) yang berkuasa, tetapi justru saat demokrasi mulai di tegakkan dan di aplikasikan di negeri ini, dirasakan sangat “miris” dimana aktifis GERMA dahulu sering dikejar-kejar oleh aparat orde baru pada saat itu gerakan mahasiswa sunguh “heroik” dan masif walaupun banyak yang melalui jalur “bawah tanah” (non formal), tapi kini, saat demokarsi mulai diraih, gerakan mahasiswa tenggelam seiring dengan ketidak jelasan pembelaan mahasiswa terhadap masyarakat yang termarjinalkan.

Mantan Ketua MPR Amien Rais yang pernah menjadi ikon gerakan Reformasi 1998, dalam seminar mahasiswa akhir 2005, menilai, gerakan mahasiswa pascakejatuhan Soeharto telah berubah. Gerakan mahasiswa yang dulu bersemangat, kini seperti ”mati suri”. Aksi demonstrasi yang dilakukan untuk kepentingan rakyat tak banyak digelar, dan mahasiswa lebih banyak dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme.

Bahkan Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Imam Prasodjo, berpendapat ada kecenderungan kualitas gerakan mahasiswa mengalami penurunan karena aksi-aksi mereka lebih menonjolkan kekerasan . Hal tersebut karena mahasiswa tidak memiliki lagi Common Isue, Isu bersama yang dapat menyatukan gerakan mereka dan menerjemahkan dalam gerakan praksis, paremasalahan tersebut dalam internal gerakan mahasiswa mempengaruhi model gerakan mahasiswa yang seharusnya cepat responsif dan non formal, menjadi sangat formalistik dimana kegiatan-kegiatan yang dilakukan hanya formalitas monoton, seperti diskusi-diskusi dan aksi-aksi yang sifatnya reaktif.

Melihat Posisi dan Peran Mahasiswa Dalam Masyarakat
Posisi Mahasiswa dalam masyarakat selama ini sering di identikkan dalam masyarakat sebagai Agent Of Change (agen perubahan), dimana mahasiswa sebagai golongan yang memliki kesempatan mendapatkan mendapatkan pendidikan lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya, menjadi angen terdepan untuk mencerdaskan dan membela masyarakat.
Mengapa posisi mahasiswa dalam masyarakat dapat menjadi saat penting dalam masyarakat?, hal ini dapat dilihat dapam posisi mahasiswa dalam teori strukturalisme dimana didalam negara terdapat struktur-struktur yang menyusunya didalamnya adalah : Negara, Pemilik Modal dan Masyarakat:



Dalam Setruktur tersebut pelaku negara yaitu pemerintah akan rentan untuk memihak kepada Pemilik modal, karena modal (Uang) dikuasai oleh pemilik modal yang dapat membeli kebijakan dari pemerintah, agar dapat menguntungkan pemilik modal, hal tersebut dapat kita lihat dari fenomena penggusuran pasar tradisional dan diganti oleh pusat-pusat perbelanjaan moderen dan upah buruh yang sangat minimum dibandingkan dengan keuntungan yang di dapat oleh pemilik perusahaan.

Posisi struktur negara tersebut yang di gunakan oleh kaum Marxsis, untuk Mencari jalan kemakmuran Rakyat (Masyarakat) dengan cara menguasai alat industri yang dimiliki pemodal dan menjadikannya kepemilikian bersama untuk membentuk kediktatoran prolentariat, cita-cita tersebut coba di tafsirkan dan di Impelemtasikan oleh Lenin dengan cara merebut pemerintahan dengan membentuk partai, yang dikenal dengan partai bolesevik (partai komunis), setelah pemerintah dikuasai dan dijadikan pemerintahan komunis dan menguasai seluruh alat produksi yang dimiliki pemilik modal, maka setelah itu kekuasaan diserahkan oleh kaum proletar (rakyat) untuk membentuk kediktatoran prolentariat, namun hingga kini hal tersebut tidak pernah terbentuk, di picu dengan gagalanya negara Unisoviet.

Dan sekarang Ideologi yang dominan di dunia adalah ideologi Kapitalis dengan berbasiskan pada demokrasi liberal, demokrasi liberal sesungguhnya bukan merupakan jawaban yang tepat untuk mensejah terakan masyarakat karena, tidak akan mungkin sejajarnya posisi masyarakat dan pemilik modal beserta ekaum elit politik (pemerintah), hal inilah yang menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial yang semakin melebar.

Oleh dikarenakan hal tersebut muncullah gagasan tentang jalan tengah (threed Way) yang oleh Anthoni Gidens, di terjemahkan dengan gagasan kaum menengah (kaum Intelektual) yang harus dapat meneyeimbangkan posisi dari pemilik modal, parat pemerintahan dan Mayarakat :



Posisi kaum intelektual inilah yang harus di mengerti oleh mahasiswa sekarang ini, dimana kaum mahasiswalah yang paling mungkin memainkan perannya untuk membela mesyarakat dikarenakan, mahasiswa adalah kelas yang terselubung tidak berkepentingan langsung terhadap pemerintah maupun pemilik modal.

Gerakan mahasiswa sebagai kaum intelektual juga memiliki kelemahan yang mendasar dimana mahasiswa dapat di interpretasikan sebagai “borjuis kecil” dimana pada ahirnya Mahasiswa akan menjadi borjuis, saat seorang mahasiswa meningalakan setatusnya sebagai mahasiswa, dimana setelah ia lulus maka akan bergabung di kelas sosial yang lebih tinggi (yaitu pemilik modal atau Birokrasi Pemerintah).

Berkaca pada hal tersebut setidaknya mahasiswa semenjak dini harus mempunyai pemahaman bahwa, sebagai kaum intelektual harus mempertahankan posisinya untuk membela masyarakat agar mendapatkan keseimbangan hak, tidak lantas menghianati posisinya kemudian berselingkuh dengan pemerintah dan pemilik modal, yang oleh Julien Benda dan Antonio Gramsci disebut penghianatan kaum intelektual.

Hal tersebut menjadi konsekuensi logis bahkan prakmatis bagi kaum intelektual, dikarenakan jika kaum intelektual berselingkuh dengan pemerintah dan pemilik modal, maka rakyat tidak terlindungi dan pada ahirnya akan terjadi gejolak sosial dimana kaum intelektual sebagai kelas menengah juga akan menjadi korban dalam gejolak tersebut, karena akan dianggap sebagai penindas oleh masyarakat.

Masuknya Arus Demokrasi
Arus demokrasi di Indonesia telah menghantarkan reformasi di tahun 1998, setelah gegap gempita perubahan arus politik otoriter menjadi demokrasi, mahasiswa kehilangan arahnya, tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah pintu demokrasi terbuka, ada beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut diantaranya adalah :
• Mahasiswa tidak memiliki lagi Common Issue
• Kesulitan dalam menerjemahkan paraksis gerakan
• Dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme
• Terjebak dalam Gerakan Yang Bersifat Formal

Hal tersebut berdampak pada GERMA baik secara Kualitatif dan kunatitatif, baik di tingkatan reproduksi isu maupun kualitas kader dan ketertarikan Mahasiswa sendiri untuk bergabung dengan GERMA, beberapa hal yang menyebabkan GERMA menurun adalah sebagai berikut :
• GERMA menjadi sangat formalistik dimana kegiatan-kegiatan yang dilakukan hanya formalitas monoton, seperti diskusi-diskusi dan aksi-aksi yang sifatnya reaktif
• Aksi yang dilakukan lebih menonjolkan kekerasan
• Bayak yang masuk ke ranah politik praktis
• Masyarakat menjadi apatis dengan gerakan mahasiwa

Perlunya Memahami Arus politik Demokrasi
Arus politik orde baru dan periode reformasi sangat berbeda, inlah yang harus benar benar dipahami oleh GERMA dimana perlu adanya pemetaan isu dab strategi baru yang harus dekembangakan, dikarenakan gerakan mahasiswa pasti akan terkonsolidasi dengan baik saat pemerintahan otoriter tersebut berkuasa dikarenakan adanya persamaan kepentingan dan isu bersama Common Issue, hal ini tidak mungkin lagi terjadi di era reformasi dengan asuknya arus demokrasi, akan tetapi dengan masuknya arus demokarasi tersebut tidak secara otomatis akan mensejahterakan masyarakat dan menimbulkan keadilan sosial hal tersebut dikarenkan adanya beberapa kelemahan demokrasi hal tersebut dikemukakan oleh Schmitter dan Terry Lynn Karl (1993) dengan mengambil kesimpulan sebagai berikut :
• Demokrasi tidak dengan sendirinya lebih efisien secara ekonomis ketimbang bentuk-bentuk pemerintahan lainnya.
• Demokrasi tidak secara otomatis lebih efisien secara administratif.
• Demokrasi tidak mampu menunjukkan situasi yang lebih tertata rapi, penuh konsensus, stabil, atau dapat memerintah ketimbang sistem otokrasi yang mereka jungkalkan.
• Demokrasi memang memungkinkan masyarakat dan kehidupan politik lebih terbuka ketimbang otokrasi yang disingkirkannya, tetapi tidak dengan sendirinya menjadikan ekonomi lebih terbuka.

Dengan beberapa kelamahan tersebut jangan berharab banayak dengan sistem demokrasi tanpa penguatan basik pengetahuan dan pendidikan masyarakat, karena tanpa masyarakat sadar untuk berpartisipasi aktif dalam demokrasi maka demokrasi hanya akan dimiliki oleh pemilik modal dan kaum elit politik, maka sekarang banayak masyarakat yang merindukan pemerintahan ordebaru yang stabil dan memberikan arah yang pasti walaupun kebebasan masyarakat dibatasi.

Perumusan Setrategi Gerakan Di Era Otonomi Daerah

Pemberian wewenang yang luas kepada daerah sangat berdampak pada sistem politik di indonesia dimana proses kebijakan pemerintah menjadi sangat kedaerahan tidak di monopoli secara penuh oleh pemerintah pusat, untuk itu gerakan yang harus dirumuskan oleh GERMA haruslah lebih teliti dan dapat merambah isu-isu lokal, dikarenakan bisa di ibaratkan raja dari sistem pemerintahan di Era Otonomi Daerah bukan lagi ada di tangan presiden tetapi ada di Tingkatan lokal yaitu Bupati dan Walikota. Hal ini dapat di lihat dalam pembagian kekuasaan di tingkat pusat dan daerah. Dimana yang

menjadi urusan pemerintah pusat adalah :
• politik luar negeri;
• pertahanan;
• keamanan;
• yustisi;
• moneter dan fiskal nasional; dan
• agama.

Sedangkan yang menjadi Tugas Pemerintah Daerah adalah :
• melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
• meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
• mengembangkan kehidupan demokrasi;
• mewujudkan keadilan dan pemerataan;
• meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
• menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
• menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
• mengembangkan sistem jaminan sosial;
• menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
• mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
• melestarikan lingkungan hidup;
• mengelola administrasi kependudukan;
• melestarikan nilai sosial budaya;
• Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan
• kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Hal inilah yang harus diperhatikan GERMA dalam merumuskan gerakannya, dimana germa selama ini hanya berfokus pada isu-isu pemerintah pusat tanpa memperhatikan bahawa kekuasaan dominan sekarang ada di daerah, maka isu-isu dan gerakan yang dilakuakan tidak pernah dirasakan oleh masyarakat secara nyata dan hanya bersifat politis. Maka perlu sekiranya dilakuakan pembentukan laboratorium isu bagi GERMA untuk dapat merumuskan strategi gerakan ditingkatan lokal yang bersinggungan langsung dengan kebutuihan masyarakat secara nyata.

Bagaimana Bergerak Di Daerah

Mengapa kita harus bergerak di daerah ?, hal inilah yang menjadi isu sentral yang harus di pikirkan oleh GERMA, dikarenakan di era Demokrasi tanpa penguatan Masyarakat secara politik dan ekonomi maka esensi demokrasi tersebut akan gagal, jika Mahasiswa hanya bergerak dan berfokus pada isu-isu nasional yang mengandalakan perubahan strategi kebijakan dan politi pemerintahan, maka gerakan tersebut akan karikatif dimana tanpa adanya masyarakat yang cerdas maka sebagus apapun sistem tersebut masyarakat tetap kana tertindas, hal ini dapat dilihat dari gerakan mahasiswa yang berfokus pada penurunan harga BBM pada saat BBM dinaikkan, hal tersebut tidak akan berdampak siknifikan karena masyarakat hanya dijadikan obyek, bukan subyek pelaku perubahan.

Walaupun dalam bergerak GERMA juga tetap harus juga mengawal isu di tingkatan nasional, GERMA perlu pemfokusan gerakan untuk menjadikan masyarakat sebagai subyek perubahan, dengan cara mencerdaskan masyarakat di lini bawah, dimana hal tersebut hanya dapat dilakukan secara masif di tingkatan daerah, dimana semua keputusan tentang pembangunan infra struktur dan penguatan pendidikan dan sosial berada di tingkatan pemerintah daerah.

Yang menjadi titik fokus perjuangan GERMA di tingkatan daerah adalah bagaimana masyarakat dapat dilibatkan dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah daerah baik di lini Provinsi sampai tingkat desa, dikarenakan hal tersebut yang menjadi titik kegagalan demokrasi perwakilan dimana yang menjadi isu dasar adalah :
• Tanggungjawab (responsibility), yakni sejauh mana para pemegang kuasa betul-betul melaksanakan tanggungjawab politiknya sesuai dengan aspirasi warga negara;
• Kesetaraan (equality), yakni sejauh mana tiap warganegara memiliki kesempatan yang sama untuk secara bersama ikut memutuskan suatu kebijakan; di dalam masyarakat modern, ketimpangan sosial ekonomi yang ada telah menghalangi terwujudnya kesetaraan kesempatan dan ikut serta memutuskan kebijakan;
• Kemandirian politik warganegara (political autonomy), yakni sejauh mana warganegara betul-betul mampu hidup mandiri dengan keputusan-keputusan politik yang telah ikut disusunnya.

Gerakan GERMA sekarang harus mulai memfokuskan pada penguatan dan pendidikan ti tingkatan masyarakat bawah agar masyarakat dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan mengerti akan hak-haknya dalam negara demokrasi sehingga masyarakat dapat berperan aktif untuk membangun negara di era demokrasi, tidak hanya bersifat pasif seperti di era orde baru.

Disini perlu perubahan paradigma dari demokrasi perwakilan yang liberal menjadi demokrasi deliberatif dimana mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warganegara. Tujuannya untuk mencapai musyawarah dan mufakat berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria. Keterlibatan warga (citizen engagement) merupakan inti dari demokrasi deliberatif.

Kemampuan Yang Harus Dikembangkan
Dalam ranah pembangunan kesadaran politik masyarakat untuk memperjuangkan haknya perlu sekiranga GERMA mengembangakan beberapa Kemampuan yang menunjang kapasitasnya untuk melakukan pendidikan politik tersebut, yang berguna uintuk mengawal bagaimana pemerintah dapat melibatkan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusannya, Kemampuan tersebut diantaranya dalah:
• Kemampuan Penelitian untuk merumuskan gerakan yang rasional
• Kemampuan advokasi masyarakat baik dibidang litigasi maupun non litigasi
• Kemampuan advokasi Kebijakan Publik
• Kemampuan advokasi Pembentukan Peraturan
• Kemampuan advokasi Pembentukan Anggaran
• Kemampuan advokasi Penyelengaraan Pelayanan Publik

Sekiranya dengan beberapa pengembangan beberapa kemampun tersebut GERMA dapat lebih mudah dalam bergerak dalam advokasi di tingkatan pemerintah daerah.

Semoga bermanfaat,......

Selasa, 14 September 2010

Format Gerakan Mahsiswa di Era Reformasi





Harus kita akui keberhasilan menumbangkan Orde Baru merupakan prestasi mahasiswa Indonesia yang paling signifikan yang memberikan dampak besar terhadap perubahan di masa depan. Lahirnya orde reformasi yang menggantikan orde baru paling tidak harus dipahami sebagai masa transisi yang meniscayakan kekaburan dan ketidakjelasan arah. Realitas sosial yang terjadi hari ini menampakkan benih-benih pesimisme dan sekaligus optimisme terhadap terjadinya perbaikan bangsa di masa depan

Harus kita akui keberhasilan menumbangkan Orde Baru merupakan prestasi mahasiswa Indonesia yang paling signifikan yang memberikan dampak besar terhadap perubahan di masa depan. Lahirnya orde reformasi yang menggantikan orde baru paling tidak harus dipahami sebagai masa transisi yang meniscayakan kekaburan dan ketidakjelasan arah. Realitas sosial yang terjadi hari ini menampakkan benih-benih pesimisme dan sekaligus optimisme terhadap terjadinya perbaikan bangsa di masa depan. Kita pesimis karena ekspektasi reformasi akan dijalankan secara benar tapi yang dirasakan sungguh di luar kalkulasi yang sewajarnya. Banyak contoh yang bisa memperkuat argumen ini, seperti masih terjadinya KKN, belum dijalankannya hukum secara jujur, konflik masih terus terjadi di beberapa daerah dan lain sebagainya. Bukan hanya fenomena yang tampak secara fisik tapi juga non fisik bersifat invisible dalam lokus lain di luar kesadaran belum memuaskan kita yang saat ini masih stagnan bahkan lebih buruk. Tapi yang membuat kita optimis adalah kenyataan bahwa masih ada spirit dan energi yang tersisa untuk terus meneriakkan suara-suara moral yang penuh vitalitas untuk terus memperbaharui tatanan sosial bangsa ini. Karena sudah menjadi sunnatullah sebuah bangsa yang tidak mampu mereformasi diri pasti akan mengalami kehancuran. Tugas yang besar itu akan dibebankan kepada pundak mahasiswa

Sebenarnya tugas tersebut bukan suatu hal yang istimewa karena memang fungsi mahasiswa sebagai agen pembaharuan dan sebagai kekuatan kontrol yang inheren dan given dalam dirinya sendiri didasari oleh nilai idealismenya. Dengan kata lain mahasiswa sebagai komunitas intelektual muda sadar dalam dirinya sebagai kekuatan determinan golongan pemuda yang mengemban mission sacree bagi masyarakatnya. Ia seperti digambarkan oleh Arnold Toynbe sebagai creative minority yaitu kekuatan kecil yang penuh kreativitas yang bersifat minority propethic (Jack New Field) yang bertindak bak seorang nabi untuk merubah sejarah. Karena itu tak bisa ditampik efek gerakan mahasiswa sebagai moral force pasti akan bersinggungan dengan political change. Konsekuensinya gerakan mahasiswa sering kali dituduh berpolitik praktis. Dalam konteks ini gerakan mahasiswa sering kali dituduh sebagai kuda tunggangan pihak lain yang membawa agenda tersembunyi (hidden agenda). Dalam konteks lain gerakan mahasiswa dipersepsikan melakukan anarkhisme dan penyebab instabilitas seperti politik kekerasan (political violence), politik penghancuran (political destruction) yang penuh dengan egoisme kelompoknya saja. Tuduhan-tuduhan seperti itu tidak boleh melemahkan kekuatan gerakan mahasiswa dalam mengawal reformasi. Singkatnya gerakan mahasiswa harus merupakan refleksi utuh realitas sosial yang melingkupi bangsanya.

Untuk menilai apakah gerakan mahasiswa tersebut masih murni dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran atau telah ditunggangi oleh suatu kepentingan tertentu (hidden agenda) sangat sulit, tetapi yang harus menjadi ukuran adalah komitmennya pada nilai idealisme yang autentik artinya tidak ada differensiasi antara kata dan perbuatan. Dan yang menjadi sumber inspirasinya adalah kepentingan dan kebutuhan rakyat.

Keberhasilan menumbangkan rezim orde baru tidak terlepas dari format gerakan mahasiswa yang dijalankan pada saat itu. Yang saya amati faktor-faktor yang mendukung keberhasilan gerakan mahasiswa antara lain : Pertama, adanya soliditas dan solidaritas di antara semua elemen gerakan. Fragmentasi dan polarisasi gerakan yang disebabkan oleh pebedaan visi dan misi ideologis tidak tampak walaupun tiap-tiap elemen gerakan membawa warna bendera sendiri-sendiri. Kedua, adanya musuh bersama (common Enemy) yaitu orde baru dan Soeharto yang menjadi sasaran bersama. Walaupun hal ini besifat jangka pendek tetapi sangat penting untuk membangun aliansi bersama. Ketiga, pemerintah sedang dilanda krisis ekonomi sehingga rakyat merasakan penderitaan akibatnya mobilisasi massa gampang dilakukan karena isu-isu yang introdusir kehadapan publik sangat menyentuh persoalan-persoalan elementer yang sedang dirasakan rakyat. Karena itu dukungan rakyat terhadap perjuangan mahasiswa sangat signifikan.

Memasuki era reformasi dirasakan gerakan mahasiswa mulai melemah dari sisi kualitas maupun kuantitas gerakan. Dari segi kuantitas gerakan melalui mobilisasi massa misalnya sudah sangat berkurang, begitupun kualitas wacana yang diitrodusir banyak tidak subtansial dan tidak menyentuh kebutuhan dasar rakyat. Gejala ini bila tidak dicarikan formula gerakan yang baru maka kekuatan gerakan mahasiswa akan tidak diperhitungkan dikemudian hari. Salah satu aspek yang harus menjadi perhatian adalah sejauh mana efektivitas gerakan mahasiswa saat ini dalam mengawal agenda reformasi. Ukuran efektif dan tidaknya bisa terdeteksi misalnya sejauhmana isu yang dikembangkan menjadi wacana umum dan mempengaruhi decision pemerintah. Dan sejauh mana wacana-wacana strategis mampu dielaborasi dengan baik. Misalnya pemberantasan tindakan-tindakan yang bernuansa KKN atau respon mahasiswa terhadap amandemen undang-undang dasar. Wacana-wacana yang strategis seperti itu tidak banyak diperjuangkan secara konsisten oleh berbagai elemen gerakan mahasiswa. Yang lebih ironis banyak gerakan mahasiswa yang terjebak dalam isu-isu elitis seperti dukung-mendukung terhadap elit poltik.

Arah gerakan mahasiswa adalah terbangunnya suatu gerakan sosial yang masif yang merubah aspek-aspek kultural dan struktural masyarakat. Gerakan sosial dapat dilihat, antara lain sebagai tanggapan terhadap adanya perasaan ketidakadilan yang muncul karena pandangan ideologis tertentu yang memberi dasar bagi suatu mobilisasi gerakan. Sifat partisan dan mobilisasi melibatkan komitmen pada gagasan dan cita-cita dari gerakan dan program-program. Arah gerakan sosial pada umumnya akan mengikuti dua pola yang berbeda, yaitu: pertama gerakan sosial antagonistik yang ditranfomasikan ke dalam kekuatan politik dan perubahan yang terintitusionalisasi dan kedua, gerakan sosial yang mengalami transformasi menjadi political rupture ketika mekanisme intitusionalisasi konflik sosial terhenti, (Touraine, 1985). Perubahan pada tataran kultural biasanya berlangsung dalam durasi waktu yang lama dan bersifat lunak. Karena itu pola gerakan yang harus dikembangkan harus bersifat ideologis dan paradigmatis yang menyentuh sistem kesadaran masyarakat. Sedangkan perubahan struktural harus terencana secara sistematis dan kontinyu yang harus melibatkan partisipasi publik secara luas. Kebutuhan perubahan pada masa transisi dan reformasi ini harus memenuhi dua hal tersebut.

Gerakan mahasiswa sebagai elemen yang mendesakkan perubahan harus mencari model gerakan baru pada masa reformasi ini. Pemahaman gerakan mahasiswa selama ini identik dengan kekuatan mobilisasi massa. Hal tersebut tidak salah tetapi perlu diperkuat oleh kemampuan mendeskripsikan realitas sosial yang sedang berlangsung. Karena itu penguasaan teoritis terhadap berbagai disiplin ilmu masing-masing sangat dibutuhkan. Anjuran untuk kembali mengaktifkan kelompok-kelompok diskusi (limited Group) adalah benar dan harus menjadi aktivitas gerakan. Minimnya wacana-wacana strategis yang dilesatkan saat ini karena diduga mahasiswa tidak banyak menguasai persoalan akibat dari kurangnya aktivitas membaca, menulis dan berdebat. Tradisi intlektual mahasiswa harus dihidupkan kembali. Tradisi intelektual akan semakin mempertajam kemampuan menalar sehingga akan semakin meningkatkan efektivitas gerakan. Gerakan akan semakin tercerahkan dan tidak mudah kehilangan isu. Reproduksi wacana akan semakin tinggi beriringan dengan dialektika intelektual yang semakin intensif.

Revitalisasi dan reaktualisasi gerakan mahasiswa harus selalu menjadi prioritas sehingga gerakan mahasiswa tidak kehilangan daya adaptifnya dalam lokus sosial yang sedang berlangsung. Seiring dengan perubahan-perubahan mendasar bagi bangsa gerakan mahasiswa tidak boleh ketinggalan momentum perubahan. Psikologi adaptif harus dimiliki gerakan mahasiswa karena yang menjadi motor perubahan adalah mahasiswa yang tanpa terbebani target kepentingan jangka pendek. Justeru yang perlu terus dijaga dan dirawat adalah komitmen pada idealisme yang bersumber pada hati nurani rakyat dan bangsa. Energi moral mahasiswa tidak akan pernah habis manakala ada kesadaran dan ikhtiar untuk terus melakukan koreksi terhadap berbagai penyimpangan.

Go ahead Mahasiswa Indonesia.

Ketika Gerakan Mahasiswa terjebak UUD



Historiografi Indonesia sejak abad 20 telah menempatkan mahasiswa sebagai golongan terhormat dalam sejarah bangsa, karena bagaimanapun mahasiswa adalah generasi-generasi yang turut aktif dalam perheletan pembangunan bangsa. Hal ini dapat dilihat dari berbagai bukti yang menunjukan bahwa pelopor kemerdekaan sebagian datang dari kalangan mahasiswa diantaranya Ir.Soekarno yang pernah mengenyam pendidikan di Technisce Hoogeschool (THS) di Bandung. Soekarno dan kawan-kawan begitu gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia, begitupun tahun 66 mahasiswapun menjalankan peran yang amat besar dalam meruntuhkan pemrintahan Orde Lama yang dipimpin presiden Soekarno dan membumikan isu otiratian state dengan icon tritura. Tahun 74 pergerakan mahasiswa popular dengan peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) dengan mengusung isu Normalisasi Kehidupan Kampus(NKK)/Badan Koordinasi Kampus(BKK) dan perjuangan menuntut otonomisasi Negara dari intevensi asing, angkatan 78 memperjuangkan terciptanya demokrasi, tansparansi, akuntabilitasi serta pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dengan icon menolak Soeharto sebagai calon presiden, dan tahun 1998 adalah peristiwa 66 yang kembali terjadi, mahasiswa adalah penggerak aksi masa menuntut turunnya Presiden Soeharto dan digantinya Orde Baru menjadi Reformasi, begitulah peranan penting mahasiswa yang setiap zaman memiliki tantangan dan karakteristik yang berbeda.
Di era reformasi ini nampaknya ruh-ruh pergerakan mahasiswa tidak sehebat pra repormasi,
Slogan moral force mulai tergantikan oleh slogan cinta, kerja,kaya, itu artinya sebagian besar mahasiswa saat ini lebih mementingkan kepentingan studi mereka dengan orientasi bekerja dan setelah itu berkeluarga, bahkan tak sedikit dari mereka yang tak peduli dengan perkembangan dan nasib politik bangsa dan cenderung untuk apatis, mereka menganggap politik dan Negara bukan urusan mahasiswa, Negara adalah urusan staekholder yang saat ini sedang bertahta, padahal jika kita meninjau sejarah mahasiswa dunia, maka yang akan ditemui adalah pergerakan mahasiswa yang dibentengi idealisme dan kesolidan yang akhirnya dapat meruntuhkan tirani, diantaranya pergerakan mahasiswa Kuba (26 Juli 1957) mampu menggulingkan dictator Batista, mahasiswa Spanyol berhasil menjatuhkan kekuasaan dictator Primo Rivera dan jendral de Franco dan begitupun di Indonesia.
Pemuda dunia memainkan peranan penting dalam kehidupan ini dan sesuatu yang tak dapat dielakan. Di tangan generasi muda itu terletak tujuan berjuta-juta rakyat di dunia. Generasi muda harus menggarap tantangan dunia modern (Tom Mboya). Dalam konteks keindonesiaan pun mahasiswa sebagai generasi muda yang memiliki peranan sebagai agent of change harus mau peduli dengan keadaan bangsa kita yang kian hari kehilangan jati diri. Pergerakan mahasiswa yang punya idealisme kokoh dan tak tergoda akal bulus para pelaksana politik praktis merupakan alat control sosial yang ampuh, karena mahasiswa punya movement point dan punya hak untuk mengkritisi dan mengawasi pelaksanaan kebijakan politik..

Nasib Gerakan Mahasiswa saat ini…

mahasiswa merupakan golongan masyarakat yang mendapatkan pendidikan tertinggi, dan punya perspektif luas untuk bergerak diseluruh aspek kehidupan dan merupakan generasi yang bersinggungan langsung dengan kehidupan akademis dan politik, oleh sebab itu adanya miniature state dikalangan mahasiswa merupakan proses pembelajaran politik untuk mahasiswa walaupun pada akhirnya dalam tataran politik praktis, gerakan-gerakan mahasiswa idealnya harus tetap bersifat independent dan tidak terjebak pada sikap pragmatis dan oportunis. Tapi pada kenyataannya saat ini banyak gerakan mahasiswa yang sudah ditumpangi elit-elit politik sehingga mereka tidak bisa bergerak bebas untuk menjalankan fungsinya sebagai alat control politik karena terikat perjanjian dengan elit politik tersebut. Hal inipun disinyalir penyebabab melempemnya gerakan mahasiswa pasca reformasi. Selain itu telah terjadi fragmentasi di intern gerakan mahasiswa itu sendiri yang disebabkan perbedaan ideology dan cara pandang terhadap permasalahan tertentu, dan munculnya mahasiswa opurtunis di tubuh gerakan mahasiswa dimanfaatkan kepentingan individu maupun kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi mereka. Bahkan ada stigma yang berkembang di masyrakat bahwa untuk membiyai kebutuhan logistic organisasi agar program kerja organisasi tetap terlaksana akhirnya gerakan mahasiswa pun terjebak pada UUD “Ujung-Ujungya Duit” dan tumbuhlah budaya ABS “Asal Bapak Senang”, hal ini merupakan momok bagi pergerakan mahasiswa yang selama ini dikenal sebagai golongan masyarakat yang idealis dan berpihak pada masyarakat, untuk mengembalikan kembali image itu kita perlu belajar pada sejarah sebagaimana pepatah para ilmuan Prancis , L’ Histoire Se Repete (sejarah akan selalu berulang) untuk itu maka sepatutnyalah saat ini gerakan mahasiswa mulai merekontruksi soliditas gerakan dan menjalin komunikasi lintas gerakan dengan menghilangkan kecurigaan dan merasa benar sendiri (high egoisme), dan mulailah untuk kembali menata idealisme dan mengavaluasi format gerakan mahasiswa selama ini. Hal-hal tersebut harus diupayakan dalam rangka mengefektifkan kembali mahasiswa sebagai preasure penguasa.

Lia Sulistiawati
Member of Indonesia Youth Parliament

Menemukan Kembali Indonesia Lewat Gerakan Mahasiswa




________________________________________

NYARIS tanpa publikasi, delapan organisasi mahasiswa ekstra-universiter akhirnya jadi mengadakan pertemuan nasional Indonesian Students Assembly (ISA) di Hotel Raddin Sanur, Bali, 28-31 Desember 2002 silam. ISA mengambil tema besar "Reinventing (Menemukan Kembali) Indonesia".
KEDELAPAN organisasi mahasiswa ekstra-universiter itu adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan Himpunan Kerukunan Mahasiswa Buddha Indonesia (Hikmahbudhi). Lima organisasi pertama adalah anggota Kelompok Cipayung yang sudah berdiri sejak 22 Januari 1972. Selain diikuti wakil kedelapan organisasi mahasiswa ekstra-universiter, acara ini juga dihadiri oleh 73 wakil Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Kegiatan diisi dengan studium generale sejumlah menteri, seperti Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea, dan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Hadir pula pembicara lain seperti pengamat politik Kusnanto Anggoro, aktivis perempuan Nursjahbani Katjasungkana dan Chusnul Mar'iyah, pengamat hak asasi manusia (HAM) Anak Agung Banyu Perwita, serta pemerhati agama I Made Titib, budayawan Darmanto Jatman, dan pembicara lainnya.
KETIKA para wakil delapan organisasi mahasiswa ekstra-universiter mempublikasikan rencananya-dengan menggelar acara jumpa pers di Gedung Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jakarta, beberapa waktu lalu-wartawan sudah mengingatkan panitia, berlakulah transparan dalam soal biaya hajatan: dari mana datangnya biaya dan digunakan untuk apa saja. Apalagi seperti diakui Ketua Panitia Pengarah Nusron Wahid, organisasi mahasiswa ekstra-universiter rawan money and lobby politics.
Ketika itu Nusron di depan para wartawan menjelaskan, sebagian besar kegiatan akan didanai sendiri oleh kedelapan organisasi mahasiswa ekstra-universiter, "Tetapi sampai sekarang (maksudnya sampai acara jumpa pers digelar-Red), kami masih kesulitan soal dana," ucapnya.
Akhirnya, soal money and lobby politics yang dikhawatirkan itu pun terjadilah. Munculnya atribut "tahun 2003 sebagai tahun perdamaian" dalam hajatan mahasiswa, ternyata dicanangkan pula oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Apalagi waktu penyelenggaraan pertemuan hampir bersamaan waktunya dengan peluncuran buku Taufik Kiemas.
Sejumlah elemen mahasiswa-terutama BEM-BEM perguruan tinggi paling berpengaruh-mengaku tidak mau hadir, karena khawatir mereka cuma dipakai untuk menggalang dukungan bagi pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam hajatan besar tersebut. Ketika mendengar rencana pertemuan, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sudah mengendus adanya upaya menggembosi kekuatan gerakan mahasiswa prodemokrasi yang kebetulan saat ini lebih banyak menentang Megawati.
"Upaya ini tentu saja mengganggu citra gerakan mahasiswa di mata publik," ucap Ketua Umum KAMMI Hermawan.
Sekretaris Jenderal Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Gigih Guntoro menambahkan, "LMND juga melihat adanya indikasi kelompok ini mempertahankan kekuasaan Presiden Megawati Soekarnoputri sampai tahun 2004 dengan imbalan uang yang saya kira tidak sedikit, ya buat mahasiswa."
"Kalau dilihat dari susunan dan materi acaranya serta besarnya biaya, peluang seperti itu sangat mungkin terjadi," timpal Ketua BEM Universitas Indonesia (UI) Rico Marbun.
Marbun mendengar dari kawan-kawan BEM lainnya, sudah sejak akhir tahun lalu beberapa pemerintah daerah mengajak elemen mahasiswa terlibat dalam pembuatan laporan akhir tahun pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan tentu saja laporan ABS (Asal iBu Senang).
"Tetapi saya kira BEM UI dan juga BEM-BEM lainnya tak perlu dihadap-hadapkan dengan ISA. Saya percaya, mereka yang cuma mau duduk di balik meja dan memilih jadi 'makelar', tidak akan pernah mendapat kepercayaan rakyat," ujarnya.
Aktivis Forum Kota (Forkot) Adian Napitupulu bahkan terang-terangan menuding ISA mau memperdagangkan gerakan mahasiswa.
"Kelompok Cipayung ini kan dari dulu cuma mau membangun kekuatan lobi-lobi elite saja dan menangguk banyak keuntungan pribadi dari sana. Mana pernah mereka berani turun ke jalan sampai berdarah-darah untuk memperjuangkan kepentingan rakyat?" ujarnya.
Nusron Wahid yang juga Ketua Umum PMII akhirnya mengaku mendapat dana penyelenggaraan sejumlah politisi dari dua parpol, salah satunya parpol besar. Menurut Nusron, acara tersebut menghabiskan dana sekitar Rp 400 juta yang diperoleh dari 78 donatur alumni kedelapan organisasi mahasiswa ekstra-universiter tersebut yang sekarang sebagian sudah menjadi politisi dan pengusaha.
Ketua Panitia Pelaksana ISA Robert JE Nalenan membantah panitia atau kedelapan organisasi ektra-universiter jadi "makelar gerakan mahasiswa". Menurut dia, kalau ada peserta yang merasa ditelantarkan, itu karena kesalahan mereka. Dalam undangan jelas disebut, undangan berlaku untuk satu orang. Nyatanya, dua sampai tiga orang yang datang, sehingga jumlah yang datang mencapai 700 orang.
"Kalau ada peserta yang kehabisan uang transpor dan mengeluh, itu bukan tanggung jawab kami, karena tanggung jawab kami hanya sebatas akomodasi. Jadi bukan karena hak mereka disunat. Bohong itu," lanjut Nalenan.

SOAL hasil pertemuan? Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IMM Piet KH Khaidir mengakui, pertemuan tidak menghasilkan rekomendasi politik apa-apa. Menurut dia, memang sempat terjadi perdebatan di luar forum antara organisasi mahasiswa ekstra-universiter dengan BEM menyangkut soal dukung-mendukung Presiden Megawati Soekarnoputri.
"IMM sendiri justru ingin mendelegitimasi pemerintahan Megawati, tapi karena tidak tercapai kata sepakat, ISA akhirnya tidak mengeluarkan rekomendasi politik apa pun," ucap Piet.
Menurut Nalenan, ISA memang tidak pernah berniat menjadikan pertemuan ini sebagai arena dukung-mendukung. "Kami hanya ingin menjadikan forum ini sebagai sarana untuk berkomunikasi saja dalam menyamakan visi Indonesia ke depan," ucap Nalenan.
Nusron membantah ISA tidak menghasilkan apa-apa. Kata dia, ISA sudah menghasilkan rencana aksi yang sudah disetujui masing-masing sidang komisi-politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, pendidikan, jender, otonomi daerah, dan hukum.
"Memang tidak ada sidang pleno setelah sidang-sidang komisi tersebut, karena keputusan ini hanya networking group masing-masing komisi," papar Nusron Wahid, Ketua Umum PMII.
Sejak Presiden Soeharto jatuh hingga sekarang, organisasi mahasiswa ekstra-universiter-terutama PMII, HMI, PMKRI, GMNI, dan GMKI-seperti tenggelam di tengah menjamurnya front-front aksi mahasiswa seperti Forum Kota (Forkot), Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), dan KAMMI.
Hal itu terjadi karena menurut mantan Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI Anas Urbaningrum, kelompok ini kurang lincah merespons isu-isu yang berkembang di masyarakat karena terlalu birokratis dan terstruktur. Selain itu, menurut mantan Ketua Umum PB PMII Muhaimin Iskandar, kelompok ini terjebak oleh status mereka sebagai organisasi massa (ormas) dan kedekatan aktivis-aktivisnya terhadap elite politik. Stigmatisasi bahwa kelompok-kelompok ini cuma perpanjangan tangan kelompok elite politik atau batu loncatan awal karier politik, membuat kelompok ini semakin tidak populer.
Piet juga mengakui, organisasi ekstra-universiter ini sekarang terpinggirkan. Kondisi lebih jelek dialami PMKRI seperti dikemukakan Nalenan.
"Degradasinya sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada tingkat cabang yang kurang didukung oleh alumni dan Gereja," tutur mantan Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PMKRI Denpasar itu.
DIBANDING elemen aksi mahasiswa lainnya, kelompok organisasi mahasiswa ekstra-universiter ini, seperti dikatakan Anas Urbaningrum dan Muhaimin Iskandar, sebenarnya memiliki program latihan kepemimpinan yang lebih baik: terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan.
HMI misalnya, memiliki Latihan Kepemimpinan (LK) I hingga III. PMII memiliki Pendidikan Kader Dasar (PKD) dan Pendidikan Kader Lanjutan (PKL). PMKRI memiliki Masa Bimbingan (Mabim), Latihan Kepemimpinan Kader (LKK), Konferensi Studi Regional (KSR), dan Konferensi Studi Nasional (KSN). IMM memiliki Darul Arqam Dasar, Darul Arqam Madya, dan Darul Arqam Paripurna. GMKI memiliki Pengkaderan Tingkat Dasar, Pengkaderan Tingkat Menengah, dan Pengkaderan Tingkat Lanjutan.
"Organisasi mahasiswa ekstra-universiter ini akan menjadi penyuplai kader di bidang politik, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintahan," kata Muhaimin Iskandar.
"Mereka juga mempunyai ideologi yang jelas, sehingga bisa menjadi kerangka sistem cita-cita sosial mereka," tambah Anas Urbaningrum yang kini adalah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Selain itu, walaupun baru pada tingkat mahasiswa, kemauan dan kemampuan mereka untuk berkonsolidasi merupakan model bangsa ini bisa berkonsolidasi, meski berbeda aliran, agama, atau ideologi. Satu hal yang tampak sulit dilakukan di Indonesia dewasa ini.
Persoalannya, apakah kader-kader organisasi mahasiswa ekstra-universiter ini mau atau tidak mengubah paradigma lamanya dari kader "taoge" yang konsumtif hedonistis menjadi kader yang mandiri, terampil, berhati nurani, egalitarian, dan berani.
Apabila mereka mampu mengubah paradigma ini, maka mungkin mereka akan mampu menemukan kembali gerakan mahasiswa bersama dengan kelompok-kelompok front aksi mahasiswa lainnya. Seharusnya mereka bukan malah saling menepuk dada, mengambil posisi saling berhadap-hadapan, saling menjatuhkan satu sama lain; tetapi justru saling melengkapi. (COK/BUR/WIN)
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/11/nasional/77483.htm

ARAH GERAKAN MAHASISWA INDONESIA DI SIMPANG JALAN? (Kritik Terhadap Format Gerakan Mahas





Pendahuluan
Krisis moneter bangsa Indonesia menimbulkan catatan sejarah barua bangsa Indonesia khususnya menyangkut gerakan mahasiswa yang begitu progresif dan melebur dengan masyarakat menuntut perbaikan nasib jutaan rakyat Indonesia. Sejarah ini ditorehkan oleh kalangan generasi muda, khususnya gerakan mahasiswa, melalui peristiwa yang dikenal sebagai era reformasi. Sebuah era baru, setelah jatuhnya rezim otoriter Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Jenderal Besar Soeharto oleh kekuatan rakyat (people power) melalui peristiwa yang kita kenal dengan "Tragedi Mei 1998". Demontrasi mahasiswa pada saat itu selalu mejadi legenda dan sejarah perjuangan mahasiwa sebagai katalisator dalam menjatuhkan regim Soeharto.
Kondisi saat itu tentu berbeda sekali dengan kondisi sekarang. Saat ini, berbagai demontrasi mahasiswa sudah tidak mendapat respek lagi dari masyarakat. Apa yang selama ini dilakukan dengan turun ke jalan bila hanya dilakukan oleh pihak mahasiwa sendiri tidak lebih disebut sebagai "pawai", karnaval", atau "arak-arakan" belaka. Dan malah lebih berkesan hura-hura jika aksi mereka tidak murni ide mahasiswa. “Demontrasi titipan” demikian yang menjadi stigma masyarakat terhadap gerakan mahasiswa Indonesia saat ini. Dan bila mahasiswa turun jalan membawa aspirasi murni hati nurani rakyat serta berlatar belakang ide mahasiswa sendiri tanpa ditunggangi, tanpa titipan-titipan maka turun jalan demikian dapat dikatakan sebagai "unjuk rasa". Tetapi apakah ini masih ada mengingat sikap dan keberpihakan terhadap kaum tertindas telah dikooptasi oleh situasi praktis yang sedang berkembang yang kurang menguntungkan nasib bangsa kita sendiri.
Dengan demikian strategi yang mesti dilakukan oleh mahasiswa jika memang
mereka berani dalam membela kebenaran adalah bersikap dialogis terhadap
pemerintah, introspeksi tentang niat kemurnian gerakan, dan tanggap
benar dengan rakyat. Untuk itu, format gerakan mahasiswa harus tanpa kekerasan dan berwajah damai, namun tegas dan lugas dalam menyampaikan aspirasi rakyat sesuai yang dibutuhkan rakyat bukan menjadi rakyat semakin pusing melihat kelakuan mahasiswa.
Memudarnya Gerakan Mahasiswa Indonesia
Sejarah pergerakan mahasiswa dengan pemerintah dan elite politik sudah berlangsung sejak lama. Tahun 1966, misalnya, mahasiswa secara lantang menyuarakan isu Tritura. Kemudian tahun 1970 mahasiswa melakukan aksi menentang kenaikan harga minyak serta budaya korupsi di tubuh pemerintahan. Selanjutnya, mahasiswa juga kencang menggugat berbagai persoalan yang dinilai sepihak, tidak adil, dan tidak demokratis seperti Peristiwa Malari (1974), kebijakan pembekuan Dewan Mahasiswa (1978), asas tunggal Pancasila (1984), dan SDSB (1988).
Berbeda dengan partai poltik yang berorientasi kekuasaan, gerakan mahasiswa memperjuangkan nilai-nilai (values) yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Gerakan mahasiswa adalah seperangkat kegiatan mahasiswa yang bergerak menentang dan mempersoalkan realitas objektif yang dianggap bertentangan dengan realitas subjektif mereka. Hal itu termanifestasikan melalui aksi-aksi politik dari yang bersifat lunak hingga sangat keras seperti penyebaran poster, tulisan di media massa, diskusi-diskusi politik, lobi, dialog, petisi, mogok makan, mimbar bebas, pawai di kampus, mengunjungi lembaga kenegaraan, turun ke jalan secara massal, perebutan dan pendudukan fasilitas-fasilitas strategis seperti lembaga kenegaraan, stasiun radio serta televisi, dan lain-lain.
Mahasiswa mengambil pilihan itu karena merasakan dan memahami bahwa ada nilai-nilai yang "suci" atau "ideal" dan bahkan "universial" yang mengalami ancaman khususnya karena kebijakan pemerintah. Mahasiswa berdemonstrasi karena menemukan banyak gejala atau praktik yang hendak menggusur dan bahkan membunuh nilai-nilai tersebut. Vijay Sathe dalam Culture and Related Corporate Realities (1958) mendefinisikan nilai sebagai basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for. Ungkapan "worth striving for" menunjukkan bahwa pada suatu saat manusia rela mengorbankan nyawanya untuk mengejar sesuatu nilai.
Hal tersebut yang saat ini mulai tergerus dalam perjalanan jaman dalam pergulatan gerakan mahasiswa di Indoensia. Gerakan mahasiswa ternyata ikut larut juga dalam kondisi sosial budaya masyarakat kita, dimana budaya hedonisme dan konsumerisme yang demikian tinggi. Arah gerakan mahasiswa sudah tidak lagi berbicara konteks memperjuangkan kepentingan masyarakat tertindas baik dari penghisapan bangsa sendiri dan bangsa asing. Tetapi lebih berbicara apa yang dapat diuntungkan dari situasi yang sulit ini. Degradasi inilah yang menyebabkan kemrosotan pola pikir dan daya intelektual mahasiswa. Mahasiswa sudah banyak berkurang tentang ide-ide cemerlang terhadap nasib bangsa apalagi tentang kerelaan untuk mengorbankan nyawa demi tegaknya nilai-nilai ideal. Padahal mahasiswa harusnya berjiwa idealis, progresive, militan, dan revolusioner untuk mempertanyakan segala hal dari yang bersifat pinggiran ke masalah yang bersifat asasi sekaligus melakukan perubahan-perubahan yang dicita-citakannya. Dalam dunia gerakan mahasiswa sudah tidak bisa lagi bertumpu pada hanya sekedar reorika semata. Gerakan mahasiswa.
Kesediaan untuk berkorban demi tegaknya nilai-nilai yang dianggap ideal adalah investasi utama bagi lahirnya radikalisme mahasiswa. Namun seringkali idealisme dan radikalisme gerakan mahasiswa tidak diiringi dengan kalkulasi-kalkulasi yang strategis dan taktis. Gerakan mahasiswa sering berjalan terlalu berani namun terlalu lurus tanpa perhitungan yang matang. Akibatnya, gerakan mahasiswa mudah sekali dibaca, dikendalikan, dan akhirnya dimanfaatkan gerakan kelompok kepentingan.
Dalam konteks gerakan mahasiswa seharusnya tidak berhenti sebagai gerakan moral dan gerakan menumbangkan rezim saja, tetapi juga harus merebut dan membangun kekuasaan. Tanpa kekuasaan ini tidaklah mungkin bagi mahasiswa untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Mengenai cara atau metode untuk mendapatkan kekuasaan ini, mahasiswa harus mampu membangun gerakan ekstraparlementer lewat mobilisasi massa dan gerakan intraparlementer dengan masuk ke kancah politik formal. Oleh karena itu, sebagian gerakan mahasiswa harus mendirikan partai-partai politik. Secara rasional maupun konseptual, adanya gagasan atau keinginan agar mahasiswa lebih berani dalam bermain politik, sesungguhnya tidaklah berlebihan. Mahasiswa sebagai salah satu pilar civil society yang terdidik, secara tradisional memiliki tanggung jawab moral untuk membawa masyarakat ke alam kehidupan yang lebih baik dan demokratis. Secara rasional tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa adalah penerjemah dan pencari solusi atas merebaknya kegelisahan sosial.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ketika kaum intelektual sudah mulai terjun langsung ke dalam dunia politik praktis, akankah para mahasiswa mengikuti jejak senior mereka? Lantas, kepada siapa rakyat akan mempercayakan mandat dan aspirasinya? Padahal kalau kita simak kembali lembaran sejarah, gerakan mahasiswa itu sebenarnya tidak pernah mempunyai tujuan-tujuan politik praktis, sebagaimana gerakan-gerakan sosial pada abad ke-17 hingga 19. Gerakan mahasiswa sifatnya hanya berupa aktivitas atau reaksi-reaksi spontan dan sporadis yang bertujuan hendak mewujudkan atau menolak suatu perubahan, keadaan sosial atau tatanan politik tertentu. Gerakan mahasiswa selalu dan hanya lahir pada saat-saat di mana terdapat fenomena social anomie atau social disorder. Manakala tertib sosial dan harmoni telah terbangun, dengan sendirinya mereka akan kembali menekuni dunia keilmuan (back to campus).


Paradigma Gerakan Mahasiswa Indonesia
Terkait dengan gerakan mahasiswa ada dua pendekatan atau paradigma yang mengemuka sejak munculnya gerakan kaum terpelajar yaitu gerakan politik atau gerakan moral. Kedua pendekatan ini yang selalu mewarnai gerakan mahasiswa di Indonesia di luar mahasiswa-mahasiswa yang larus dalam dunia pragmatis. Berbagai upaya untuk mendekatkan mahasiswa dengan masyarakat dilakukan baik melalui pola pemberdayaan masyarakat melalui LSM ataupun kelompok-kelompok studi. Sementara itu, gerakan mahasiswa yang lebih cenderung ke arah politik lebih suka bermain di dataran elite partai maupu kekauasaan. Hal ini yang seringkali meninbulkan persinggungan gerakan mahasiswa di Indonesia. Contoh yang paling mudah adalah pasca jatuhnya regim Soeharto maka gerakan mahasiswa terpolarisasi dalam berbagai gerakan, baik itu yang moralistik dengan mengedpankan intelektual maupun gerakan politik dengan terlibat dalam partai politik. Bahkan saat ini muncul gerakan mahasiswa yang hanya berdasarkan orde. Tentu kelompok yang terakhir ini sangat memprihatinkan kita semua baik itu yang lebih menggunkan pendekatan politik maupun moral.
Terlepas dari itu semua, gerakan mahasiswa sudah tidak bisa lagi hanya berdasarkan pendekatan moral dan intelektual semata atuapun pendekatan politik. Keduanyta harus sinergi sebagai upaya mencapai atau meraih apa yang mejadi cita-cita moral mahasiswa. Untuk itu gerakan mahasiswa harusnya merupakan gerakanmoral politik. Mahasiswa tidak bisa lagi dikungkung dalam kampus semata dan bergulat dengan bidang keilmuwannya semata, mahasiswa harus selalu peduli dan kritis terhadap setiap permasalahan yang ada di bangsa kita. Jika mahasiswa masih terpola dengan cara-cara lam maka gerakan mahasiswa akan semakin tertinggal baik oleh para pragmatis yang selalu mencari keuntungan maupun kelompok-kelompok yang memiliki tujuan menghancurkan bangsa Indonesia.
Untuk itu, mahasiswa tidak bisa lagi mengandalkan tuntutan perjuangan semata dengan melupakan tanggung jawab sebai seorang intelektual. Kemampuan intelektual inilah yang saat ini sudah banyak ditinggalka oleh aktivis gerakan. Mahasiswa terjebak dalam prilaku pragmatis dalam menghadapi permasalahan yang terjadi tanpa melihat secara lebih mendalam tentang substansi permasalahan yang dihadapi. Pada akhirnya gerakan mahasiswa maupun mahasiswa itu saendiri gagap terhadap setiap perkembangan jaman yang berubah secara cepat.
Penutup
Peranan politik mahasiswa itu, pada setiap waktu, sangat penting. Gerakan mahasiswa itu semacam medan latihan buat munculnya tenaga baru untuk partai, ormas, lsm, birokrasi, profesional, dll. Eksistensi gerakan mahasiswa amat ditentukan oleh kekuatan pemikiran dan kompetensi profesionalnya. Sebagai anak zaman, gerakan mahasiswa juga bergerak seirama dengan tuntutan zaman. Dalam konteks Indonesia, khususnya gerakan mahasiswa, ada beberapa poin yang bisa dijadikan acuan gerakan, antara lain:
1. Gerakan mahasiswa mesti menyiapkan ruang yang kondusif untuk membekali komunitasnya dengan keunggulan komparatif, agar kelak mampu eksis dalam kompetisi politik dan ekonomi yang semakin terbuka dan ketat.
2. Gerakan mahasiswa yang secara ideologis memiliki keberagaman (pluralisme ideologi), sudah semestinya mampu menemukan "sinergi kolektif" melalui tradisi "komunikasi tanpa prasangka" demi memperjuangkan kepentingan bangsa. Dalam diksi yang lain, sentimen ideologis kelompok atau golongan, jangan malah mengalahkan kepentingan kolektif kita sebagai bangsa.
3. Gerakan mahasiswa mesti mengambil prakarsa untuk menstimulasi, menjaga, dan mengawal berlangsungnya "demokrasi politik" dan "demokrasi ekonomi", melalui pergumulan varian isu seperti supremasi hukum, kebebasan berserikat/berkumpul, kebebasan pers, anti-KKN, penegakan HAM, dll.
4. Gerakan mahasiswa mutlak melakukan reorientasi dalam agenda gerakan atau perjuangan kolektifnya. Sering perubahan konfigurasi dan budaya politik nasional, tema-tema gerakan yang menjadikan "orang/figur sebagai musuh bersama" tampaknya kurang relevan atau kontekstual lagi. Hendaknya, gerakan mahasiswa lebih memberikan atensinya terhadap tema-tema mendasar seperti ancaman disintegrasi nasional, disparatis antarwilayah, bias otonomi daerah yang memunculkan sentimen/ego daerah yang justru mengancam NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD '45.
5. Gerakan mahasiswa sudah semestinya mentradisikan motivasi perjuangan yang meletakkan loyalitas kepada cita-cita, bukan kepada orang. Gerakan mahasiswa akan kehilangan jati dirinya ketika ia memainkan perannya sebagai subordinasi dari orang per orang, dan bakal terkubur eksistensi sejarahnya apabila ia membiarkan dirinya menjadi alat penguasa, siapa pun pemegang kekuasaan itu.