Selasa, 14 September 2010

ARAH GERAKAN MAHASISWA INDONESIA DI SIMPANG JALAN? (Kritik Terhadap Format Gerakan Mahas





Pendahuluan
Krisis moneter bangsa Indonesia menimbulkan catatan sejarah barua bangsa Indonesia khususnya menyangkut gerakan mahasiswa yang begitu progresif dan melebur dengan masyarakat menuntut perbaikan nasib jutaan rakyat Indonesia. Sejarah ini ditorehkan oleh kalangan generasi muda, khususnya gerakan mahasiswa, melalui peristiwa yang dikenal sebagai era reformasi. Sebuah era baru, setelah jatuhnya rezim otoriter Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Jenderal Besar Soeharto oleh kekuatan rakyat (people power) melalui peristiwa yang kita kenal dengan "Tragedi Mei 1998". Demontrasi mahasiswa pada saat itu selalu mejadi legenda dan sejarah perjuangan mahasiwa sebagai katalisator dalam menjatuhkan regim Soeharto.
Kondisi saat itu tentu berbeda sekali dengan kondisi sekarang. Saat ini, berbagai demontrasi mahasiswa sudah tidak mendapat respek lagi dari masyarakat. Apa yang selama ini dilakukan dengan turun ke jalan bila hanya dilakukan oleh pihak mahasiwa sendiri tidak lebih disebut sebagai "pawai", karnaval", atau "arak-arakan" belaka. Dan malah lebih berkesan hura-hura jika aksi mereka tidak murni ide mahasiswa. “Demontrasi titipan” demikian yang menjadi stigma masyarakat terhadap gerakan mahasiswa Indonesia saat ini. Dan bila mahasiswa turun jalan membawa aspirasi murni hati nurani rakyat serta berlatar belakang ide mahasiswa sendiri tanpa ditunggangi, tanpa titipan-titipan maka turun jalan demikian dapat dikatakan sebagai "unjuk rasa". Tetapi apakah ini masih ada mengingat sikap dan keberpihakan terhadap kaum tertindas telah dikooptasi oleh situasi praktis yang sedang berkembang yang kurang menguntungkan nasib bangsa kita sendiri.
Dengan demikian strategi yang mesti dilakukan oleh mahasiswa jika memang
mereka berani dalam membela kebenaran adalah bersikap dialogis terhadap
pemerintah, introspeksi tentang niat kemurnian gerakan, dan tanggap
benar dengan rakyat. Untuk itu, format gerakan mahasiswa harus tanpa kekerasan dan berwajah damai, namun tegas dan lugas dalam menyampaikan aspirasi rakyat sesuai yang dibutuhkan rakyat bukan menjadi rakyat semakin pusing melihat kelakuan mahasiswa.
Memudarnya Gerakan Mahasiswa Indonesia
Sejarah pergerakan mahasiswa dengan pemerintah dan elite politik sudah berlangsung sejak lama. Tahun 1966, misalnya, mahasiswa secara lantang menyuarakan isu Tritura. Kemudian tahun 1970 mahasiswa melakukan aksi menentang kenaikan harga minyak serta budaya korupsi di tubuh pemerintahan. Selanjutnya, mahasiswa juga kencang menggugat berbagai persoalan yang dinilai sepihak, tidak adil, dan tidak demokratis seperti Peristiwa Malari (1974), kebijakan pembekuan Dewan Mahasiswa (1978), asas tunggal Pancasila (1984), dan SDSB (1988).
Berbeda dengan partai poltik yang berorientasi kekuasaan, gerakan mahasiswa memperjuangkan nilai-nilai (values) yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Gerakan mahasiswa adalah seperangkat kegiatan mahasiswa yang bergerak menentang dan mempersoalkan realitas objektif yang dianggap bertentangan dengan realitas subjektif mereka. Hal itu termanifestasikan melalui aksi-aksi politik dari yang bersifat lunak hingga sangat keras seperti penyebaran poster, tulisan di media massa, diskusi-diskusi politik, lobi, dialog, petisi, mogok makan, mimbar bebas, pawai di kampus, mengunjungi lembaga kenegaraan, turun ke jalan secara massal, perebutan dan pendudukan fasilitas-fasilitas strategis seperti lembaga kenegaraan, stasiun radio serta televisi, dan lain-lain.
Mahasiswa mengambil pilihan itu karena merasakan dan memahami bahwa ada nilai-nilai yang "suci" atau "ideal" dan bahkan "universial" yang mengalami ancaman khususnya karena kebijakan pemerintah. Mahasiswa berdemonstrasi karena menemukan banyak gejala atau praktik yang hendak menggusur dan bahkan membunuh nilai-nilai tersebut. Vijay Sathe dalam Culture and Related Corporate Realities (1958) mendefinisikan nilai sebagai basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for. Ungkapan "worth striving for" menunjukkan bahwa pada suatu saat manusia rela mengorbankan nyawanya untuk mengejar sesuatu nilai.
Hal tersebut yang saat ini mulai tergerus dalam perjalanan jaman dalam pergulatan gerakan mahasiswa di Indoensia. Gerakan mahasiswa ternyata ikut larut juga dalam kondisi sosial budaya masyarakat kita, dimana budaya hedonisme dan konsumerisme yang demikian tinggi. Arah gerakan mahasiswa sudah tidak lagi berbicara konteks memperjuangkan kepentingan masyarakat tertindas baik dari penghisapan bangsa sendiri dan bangsa asing. Tetapi lebih berbicara apa yang dapat diuntungkan dari situasi yang sulit ini. Degradasi inilah yang menyebabkan kemrosotan pola pikir dan daya intelektual mahasiswa. Mahasiswa sudah banyak berkurang tentang ide-ide cemerlang terhadap nasib bangsa apalagi tentang kerelaan untuk mengorbankan nyawa demi tegaknya nilai-nilai ideal. Padahal mahasiswa harusnya berjiwa idealis, progresive, militan, dan revolusioner untuk mempertanyakan segala hal dari yang bersifat pinggiran ke masalah yang bersifat asasi sekaligus melakukan perubahan-perubahan yang dicita-citakannya. Dalam dunia gerakan mahasiswa sudah tidak bisa lagi bertumpu pada hanya sekedar reorika semata. Gerakan mahasiswa.
Kesediaan untuk berkorban demi tegaknya nilai-nilai yang dianggap ideal adalah investasi utama bagi lahirnya radikalisme mahasiswa. Namun seringkali idealisme dan radikalisme gerakan mahasiswa tidak diiringi dengan kalkulasi-kalkulasi yang strategis dan taktis. Gerakan mahasiswa sering berjalan terlalu berani namun terlalu lurus tanpa perhitungan yang matang. Akibatnya, gerakan mahasiswa mudah sekali dibaca, dikendalikan, dan akhirnya dimanfaatkan gerakan kelompok kepentingan.
Dalam konteks gerakan mahasiswa seharusnya tidak berhenti sebagai gerakan moral dan gerakan menumbangkan rezim saja, tetapi juga harus merebut dan membangun kekuasaan. Tanpa kekuasaan ini tidaklah mungkin bagi mahasiswa untuk mewujudkan cita-cita politiknya. Mengenai cara atau metode untuk mendapatkan kekuasaan ini, mahasiswa harus mampu membangun gerakan ekstraparlementer lewat mobilisasi massa dan gerakan intraparlementer dengan masuk ke kancah politik formal. Oleh karena itu, sebagian gerakan mahasiswa harus mendirikan partai-partai politik. Secara rasional maupun konseptual, adanya gagasan atau keinginan agar mahasiswa lebih berani dalam bermain politik, sesungguhnya tidaklah berlebihan. Mahasiswa sebagai salah satu pilar civil society yang terdidik, secara tradisional memiliki tanggung jawab moral untuk membawa masyarakat ke alam kehidupan yang lebih baik dan demokratis. Secara rasional tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa adalah penerjemah dan pencari solusi atas merebaknya kegelisahan sosial.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ketika kaum intelektual sudah mulai terjun langsung ke dalam dunia politik praktis, akankah para mahasiswa mengikuti jejak senior mereka? Lantas, kepada siapa rakyat akan mempercayakan mandat dan aspirasinya? Padahal kalau kita simak kembali lembaran sejarah, gerakan mahasiswa itu sebenarnya tidak pernah mempunyai tujuan-tujuan politik praktis, sebagaimana gerakan-gerakan sosial pada abad ke-17 hingga 19. Gerakan mahasiswa sifatnya hanya berupa aktivitas atau reaksi-reaksi spontan dan sporadis yang bertujuan hendak mewujudkan atau menolak suatu perubahan, keadaan sosial atau tatanan politik tertentu. Gerakan mahasiswa selalu dan hanya lahir pada saat-saat di mana terdapat fenomena social anomie atau social disorder. Manakala tertib sosial dan harmoni telah terbangun, dengan sendirinya mereka akan kembali menekuni dunia keilmuan (back to campus).


Paradigma Gerakan Mahasiswa Indonesia
Terkait dengan gerakan mahasiswa ada dua pendekatan atau paradigma yang mengemuka sejak munculnya gerakan kaum terpelajar yaitu gerakan politik atau gerakan moral. Kedua pendekatan ini yang selalu mewarnai gerakan mahasiswa di Indonesia di luar mahasiswa-mahasiswa yang larus dalam dunia pragmatis. Berbagai upaya untuk mendekatkan mahasiswa dengan masyarakat dilakukan baik melalui pola pemberdayaan masyarakat melalui LSM ataupun kelompok-kelompok studi. Sementara itu, gerakan mahasiswa yang lebih cenderung ke arah politik lebih suka bermain di dataran elite partai maupu kekauasaan. Hal ini yang seringkali meninbulkan persinggungan gerakan mahasiswa di Indonesia. Contoh yang paling mudah adalah pasca jatuhnya regim Soeharto maka gerakan mahasiswa terpolarisasi dalam berbagai gerakan, baik itu yang moralistik dengan mengedpankan intelektual maupun gerakan politik dengan terlibat dalam partai politik. Bahkan saat ini muncul gerakan mahasiswa yang hanya berdasarkan orde. Tentu kelompok yang terakhir ini sangat memprihatinkan kita semua baik itu yang lebih menggunkan pendekatan politik maupun moral.
Terlepas dari itu semua, gerakan mahasiswa sudah tidak bisa lagi hanya berdasarkan pendekatan moral dan intelektual semata atuapun pendekatan politik. Keduanyta harus sinergi sebagai upaya mencapai atau meraih apa yang mejadi cita-cita moral mahasiswa. Untuk itu gerakan mahasiswa harusnya merupakan gerakanmoral politik. Mahasiswa tidak bisa lagi dikungkung dalam kampus semata dan bergulat dengan bidang keilmuwannya semata, mahasiswa harus selalu peduli dan kritis terhadap setiap permasalahan yang ada di bangsa kita. Jika mahasiswa masih terpola dengan cara-cara lam maka gerakan mahasiswa akan semakin tertinggal baik oleh para pragmatis yang selalu mencari keuntungan maupun kelompok-kelompok yang memiliki tujuan menghancurkan bangsa Indonesia.
Untuk itu, mahasiswa tidak bisa lagi mengandalkan tuntutan perjuangan semata dengan melupakan tanggung jawab sebai seorang intelektual. Kemampuan intelektual inilah yang saat ini sudah banyak ditinggalka oleh aktivis gerakan. Mahasiswa terjebak dalam prilaku pragmatis dalam menghadapi permasalahan yang terjadi tanpa melihat secara lebih mendalam tentang substansi permasalahan yang dihadapi. Pada akhirnya gerakan mahasiswa maupun mahasiswa itu saendiri gagap terhadap setiap perkembangan jaman yang berubah secara cepat.
Penutup
Peranan politik mahasiswa itu, pada setiap waktu, sangat penting. Gerakan mahasiswa itu semacam medan latihan buat munculnya tenaga baru untuk partai, ormas, lsm, birokrasi, profesional, dll. Eksistensi gerakan mahasiswa amat ditentukan oleh kekuatan pemikiran dan kompetensi profesionalnya. Sebagai anak zaman, gerakan mahasiswa juga bergerak seirama dengan tuntutan zaman. Dalam konteks Indonesia, khususnya gerakan mahasiswa, ada beberapa poin yang bisa dijadikan acuan gerakan, antara lain:
1. Gerakan mahasiswa mesti menyiapkan ruang yang kondusif untuk membekali komunitasnya dengan keunggulan komparatif, agar kelak mampu eksis dalam kompetisi politik dan ekonomi yang semakin terbuka dan ketat.
2. Gerakan mahasiswa yang secara ideologis memiliki keberagaman (pluralisme ideologi), sudah semestinya mampu menemukan "sinergi kolektif" melalui tradisi "komunikasi tanpa prasangka" demi memperjuangkan kepentingan bangsa. Dalam diksi yang lain, sentimen ideologis kelompok atau golongan, jangan malah mengalahkan kepentingan kolektif kita sebagai bangsa.
3. Gerakan mahasiswa mesti mengambil prakarsa untuk menstimulasi, menjaga, dan mengawal berlangsungnya "demokrasi politik" dan "demokrasi ekonomi", melalui pergumulan varian isu seperti supremasi hukum, kebebasan berserikat/berkumpul, kebebasan pers, anti-KKN, penegakan HAM, dll.
4. Gerakan mahasiswa mutlak melakukan reorientasi dalam agenda gerakan atau perjuangan kolektifnya. Sering perubahan konfigurasi dan budaya politik nasional, tema-tema gerakan yang menjadikan "orang/figur sebagai musuh bersama" tampaknya kurang relevan atau kontekstual lagi. Hendaknya, gerakan mahasiswa lebih memberikan atensinya terhadap tema-tema mendasar seperti ancaman disintegrasi nasional, disparatis antarwilayah, bias otonomi daerah yang memunculkan sentimen/ego daerah yang justru mengancam NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD '45.
5. Gerakan mahasiswa sudah semestinya mentradisikan motivasi perjuangan yang meletakkan loyalitas kepada cita-cita, bukan kepada orang. Gerakan mahasiswa akan kehilangan jati dirinya ketika ia memainkan perannya sebagai subordinasi dari orang per orang, dan bakal terkubur eksistensi sejarahnya apabila ia membiarkan dirinya menjadi alat penguasa, siapa pun pemegang kekuasaan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar