Selasa, 14 September 2010

Menemukan Kembali Indonesia Lewat Gerakan Mahasiswa




________________________________________

NYARIS tanpa publikasi, delapan organisasi mahasiswa ekstra-universiter akhirnya jadi mengadakan pertemuan nasional Indonesian Students Assembly (ISA) di Hotel Raddin Sanur, Bali, 28-31 Desember 2002 silam. ISA mengambil tema besar "Reinventing (Menemukan Kembali) Indonesia".
KEDELAPAN organisasi mahasiswa ekstra-universiter itu adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan Himpunan Kerukunan Mahasiswa Buddha Indonesia (Hikmahbudhi). Lima organisasi pertama adalah anggota Kelompok Cipayung yang sudah berdiri sejak 22 Januari 1972. Selain diikuti wakil kedelapan organisasi mahasiswa ekstra-universiter, acara ini juga dihadiri oleh 73 wakil Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Kegiatan diisi dengan studium generale sejumlah menteri, seperti Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea, dan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Hadir pula pembicara lain seperti pengamat politik Kusnanto Anggoro, aktivis perempuan Nursjahbani Katjasungkana dan Chusnul Mar'iyah, pengamat hak asasi manusia (HAM) Anak Agung Banyu Perwita, serta pemerhati agama I Made Titib, budayawan Darmanto Jatman, dan pembicara lainnya.
KETIKA para wakil delapan organisasi mahasiswa ekstra-universiter mempublikasikan rencananya-dengan menggelar acara jumpa pers di Gedung Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Jakarta, beberapa waktu lalu-wartawan sudah mengingatkan panitia, berlakulah transparan dalam soal biaya hajatan: dari mana datangnya biaya dan digunakan untuk apa saja. Apalagi seperti diakui Ketua Panitia Pengarah Nusron Wahid, organisasi mahasiswa ekstra-universiter rawan money and lobby politics.
Ketika itu Nusron di depan para wartawan menjelaskan, sebagian besar kegiatan akan didanai sendiri oleh kedelapan organisasi mahasiswa ekstra-universiter, "Tetapi sampai sekarang (maksudnya sampai acara jumpa pers digelar-Red), kami masih kesulitan soal dana," ucapnya.
Akhirnya, soal money and lobby politics yang dikhawatirkan itu pun terjadilah. Munculnya atribut "tahun 2003 sebagai tahun perdamaian" dalam hajatan mahasiswa, ternyata dicanangkan pula oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Apalagi waktu penyelenggaraan pertemuan hampir bersamaan waktunya dengan peluncuran buku Taufik Kiemas.
Sejumlah elemen mahasiswa-terutama BEM-BEM perguruan tinggi paling berpengaruh-mengaku tidak mau hadir, karena khawatir mereka cuma dipakai untuk menggalang dukungan bagi pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam hajatan besar tersebut. Ketika mendengar rencana pertemuan, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) sudah mengendus adanya upaya menggembosi kekuatan gerakan mahasiswa prodemokrasi yang kebetulan saat ini lebih banyak menentang Megawati.
"Upaya ini tentu saja mengganggu citra gerakan mahasiswa di mata publik," ucap Ketua Umum KAMMI Hermawan.
Sekretaris Jenderal Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Gigih Guntoro menambahkan, "LMND juga melihat adanya indikasi kelompok ini mempertahankan kekuasaan Presiden Megawati Soekarnoputri sampai tahun 2004 dengan imbalan uang yang saya kira tidak sedikit, ya buat mahasiswa."
"Kalau dilihat dari susunan dan materi acaranya serta besarnya biaya, peluang seperti itu sangat mungkin terjadi," timpal Ketua BEM Universitas Indonesia (UI) Rico Marbun.
Marbun mendengar dari kawan-kawan BEM lainnya, sudah sejak akhir tahun lalu beberapa pemerintah daerah mengajak elemen mahasiswa terlibat dalam pembuatan laporan akhir tahun pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan tentu saja laporan ABS (Asal iBu Senang).
"Tetapi saya kira BEM UI dan juga BEM-BEM lainnya tak perlu dihadap-hadapkan dengan ISA. Saya percaya, mereka yang cuma mau duduk di balik meja dan memilih jadi 'makelar', tidak akan pernah mendapat kepercayaan rakyat," ujarnya.
Aktivis Forum Kota (Forkot) Adian Napitupulu bahkan terang-terangan menuding ISA mau memperdagangkan gerakan mahasiswa.
"Kelompok Cipayung ini kan dari dulu cuma mau membangun kekuatan lobi-lobi elite saja dan menangguk banyak keuntungan pribadi dari sana. Mana pernah mereka berani turun ke jalan sampai berdarah-darah untuk memperjuangkan kepentingan rakyat?" ujarnya.
Nusron Wahid yang juga Ketua Umum PMII akhirnya mengaku mendapat dana penyelenggaraan sejumlah politisi dari dua parpol, salah satunya parpol besar. Menurut Nusron, acara tersebut menghabiskan dana sekitar Rp 400 juta yang diperoleh dari 78 donatur alumni kedelapan organisasi mahasiswa ekstra-universiter tersebut yang sekarang sebagian sudah menjadi politisi dan pengusaha.
Ketua Panitia Pelaksana ISA Robert JE Nalenan membantah panitia atau kedelapan organisasi ektra-universiter jadi "makelar gerakan mahasiswa". Menurut dia, kalau ada peserta yang merasa ditelantarkan, itu karena kesalahan mereka. Dalam undangan jelas disebut, undangan berlaku untuk satu orang. Nyatanya, dua sampai tiga orang yang datang, sehingga jumlah yang datang mencapai 700 orang.
"Kalau ada peserta yang kehabisan uang transpor dan mengeluh, itu bukan tanggung jawab kami, karena tanggung jawab kami hanya sebatas akomodasi. Jadi bukan karena hak mereka disunat. Bohong itu," lanjut Nalenan.

SOAL hasil pertemuan? Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IMM Piet KH Khaidir mengakui, pertemuan tidak menghasilkan rekomendasi politik apa-apa. Menurut dia, memang sempat terjadi perdebatan di luar forum antara organisasi mahasiswa ekstra-universiter dengan BEM menyangkut soal dukung-mendukung Presiden Megawati Soekarnoputri.
"IMM sendiri justru ingin mendelegitimasi pemerintahan Megawati, tapi karena tidak tercapai kata sepakat, ISA akhirnya tidak mengeluarkan rekomendasi politik apa pun," ucap Piet.
Menurut Nalenan, ISA memang tidak pernah berniat menjadikan pertemuan ini sebagai arena dukung-mendukung. "Kami hanya ingin menjadikan forum ini sebagai sarana untuk berkomunikasi saja dalam menyamakan visi Indonesia ke depan," ucap Nalenan.
Nusron membantah ISA tidak menghasilkan apa-apa. Kata dia, ISA sudah menghasilkan rencana aksi yang sudah disetujui masing-masing sidang komisi-politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, pendidikan, jender, otonomi daerah, dan hukum.
"Memang tidak ada sidang pleno setelah sidang-sidang komisi tersebut, karena keputusan ini hanya networking group masing-masing komisi," papar Nusron Wahid, Ketua Umum PMII.
Sejak Presiden Soeharto jatuh hingga sekarang, organisasi mahasiswa ekstra-universiter-terutama PMII, HMI, PMKRI, GMNI, dan GMKI-seperti tenggelam di tengah menjamurnya front-front aksi mahasiswa seperti Forum Kota (Forkot), Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred), dan KAMMI.
Hal itu terjadi karena menurut mantan Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI Anas Urbaningrum, kelompok ini kurang lincah merespons isu-isu yang berkembang di masyarakat karena terlalu birokratis dan terstruktur. Selain itu, menurut mantan Ketua Umum PB PMII Muhaimin Iskandar, kelompok ini terjebak oleh status mereka sebagai organisasi massa (ormas) dan kedekatan aktivis-aktivisnya terhadap elite politik. Stigmatisasi bahwa kelompok-kelompok ini cuma perpanjangan tangan kelompok elite politik atau batu loncatan awal karier politik, membuat kelompok ini semakin tidak populer.
Piet juga mengakui, organisasi ekstra-universiter ini sekarang terpinggirkan. Kondisi lebih jelek dialami PMKRI seperti dikemukakan Nalenan.
"Degradasinya sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada tingkat cabang yang kurang didukung oleh alumni dan Gereja," tutur mantan Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PMKRI Denpasar itu.
DIBANDING elemen aksi mahasiswa lainnya, kelompok organisasi mahasiswa ekstra-universiter ini, seperti dikatakan Anas Urbaningrum dan Muhaimin Iskandar, sebenarnya memiliki program latihan kepemimpinan yang lebih baik: terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan.
HMI misalnya, memiliki Latihan Kepemimpinan (LK) I hingga III. PMII memiliki Pendidikan Kader Dasar (PKD) dan Pendidikan Kader Lanjutan (PKL). PMKRI memiliki Masa Bimbingan (Mabim), Latihan Kepemimpinan Kader (LKK), Konferensi Studi Regional (KSR), dan Konferensi Studi Nasional (KSN). IMM memiliki Darul Arqam Dasar, Darul Arqam Madya, dan Darul Arqam Paripurna. GMKI memiliki Pengkaderan Tingkat Dasar, Pengkaderan Tingkat Menengah, dan Pengkaderan Tingkat Lanjutan.
"Organisasi mahasiswa ekstra-universiter ini akan menjadi penyuplai kader di bidang politik, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerintahan," kata Muhaimin Iskandar.
"Mereka juga mempunyai ideologi yang jelas, sehingga bisa menjadi kerangka sistem cita-cita sosial mereka," tambah Anas Urbaningrum yang kini adalah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Selain itu, walaupun baru pada tingkat mahasiswa, kemauan dan kemampuan mereka untuk berkonsolidasi merupakan model bangsa ini bisa berkonsolidasi, meski berbeda aliran, agama, atau ideologi. Satu hal yang tampak sulit dilakukan di Indonesia dewasa ini.
Persoalannya, apakah kader-kader organisasi mahasiswa ekstra-universiter ini mau atau tidak mengubah paradigma lamanya dari kader "taoge" yang konsumtif hedonistis menjadi kader yang mandiri, terampil, berhati nurani, egalitarian, dan berani.
Apabila mereka mampu mengubah paradigma ini, maka mungkin mereka akan mampu menemukan kembali gerakan mahasiswa bersama dengan kelompok-kelompok front aksi mahasiswa lainnya. Seharusnya mereka bukan malah saling menepuk dada, mengambil posisi saling berhadap-hadapan, saling menjatuhkan satu sama lain; tetapi justru saling melengkapi. (COK/BUR/WIN)
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/11/nasional/77483.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar