Jumat, 04 September 2009

RUU Kesehatan Diharap Akomodasi Kesehatan Reproduksi Wanita

RUU Kesehatan Diharap Akomodasi Kesehatan Reproduksi Wanita
Jumat, 10 July 2009 17:20 WIB

Jakarta, (tvOne)

Cedaw Working Group Initiative mengusulkan agar RUU Kesehatan dapat mengakomodasi hak-hak warga negara atas perlindungan kesehatannya, termasuk kesehatan reproduksi perempuan. Koordinator Cedaw Working Group Initiative Reni Herdiyani saat jumpa pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan (LBH) Jakarta, Jumat (10/7) mengatakan, RUU Kesehatan yang saat ini tengah dibahas di DPR belum memasukkan adanya jaminan akses perempuan atas kesehatan reproduksinya.

Selain itu, seperti dilansir situs Departemen Kominfo, pihaknya juga meminta agar RUU itu tidak memasukkan institusi agama terhadap kepentingan kesehatan perempuan, misalnya tercantum dalam pasal 84 ayat (2) RUU Kesehatan mengenai aborsi yang membiarkan adanya intervensi tokoh agama dalam menentukan penilaian untuk memperbolehkan aborsi.

"Hak untuk aborsi mestinya dapat dikabulkan hanya dengan keterangan indikasi medis, sehingga tidak perlu ada intervensi agama karena tidak ada kaitannya dengan perspektif agama. Selain itu perspektif yang muncul akan berbeda," kata Reni.

Pasal itu menyebutkan, larangan aborsi dapat dikecualikan berdasarkan adanya indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kandungan, baik yang mengancam nyawa ibu/janin yang menderita penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi hidup.

Kemudian, kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan direkomendasikan oleh lembaga, institusi atau ahli/tokoh agama penilai setempat. "Proses yang demikian akan membuat proses keputusan suatu tindakan aborsi akan relatif lama, padahal indikasi medis saja sudah cukup. Jika keputusan terlalu lama, dikhawatirkan akan mengancam nyawa ibu," katanya.

Menurut dia, adanya syarat rekomendasi atau penetapan panel ahli/tokoh agama akan menjadi birokrasi tambahan yang membatasi akses layanan kesehatan yang seharusnya dapat diberikan secara cepat kepada pasien. "Selain itu akan menambah beban trauma psikologis yang dialami korban perkosaan, apalagi jangka waktu yang diperbolehkan hanya sebelum kehamilan berumur enam pekan," katanya.

Ia menjelaskan materi pasal 85 yang pada dasarnya justru tidak realistis karena pada usia kehamilan ini seringkali belum disadari adanya kehamilan. Reni mengharapkan hendaknya pembahasan RUU Kesehatan terbuka untuk publik karena menyangkut kepentingan masyarakat luas dan merupakan kebutuhan mendasar selain pendidikan.

Saat ini pembahasan RUU Kesehatan di DPR sudah pada tingkat tim perumusan (mendekati akhir pembahasan) Pansus Komisi IX DPR RI, dan rencananya akan disahkan pada Agustus 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar