Minggu, 18 Oktober 2009

KEBANGKITAN NASIONAL DAN NASIONALISME KAUM MUDA

Memori pergerakan kemerdekaan yang bergolak seabad yang lalu, kembali menyapa lewat momen kebangkitan nasional. Sebuah momentum yang menandai lahirnya benih-benih pergerakan nasional yang menuntut terwujudnya kemerdekaan. Senang bercampur sedih. Penjajah memang telah angkat kaki, namun kemerdekaan sebagai bangsa belum sepenuhnya kita miliki. Berbagai persoalan yang masih menghimpit menegaskan bahwa semangat kebangkitan nasional tidak sekedar nostalgia sejarah, namun secara dinamis seharusnya mewarnai watak dan pikiran kita.
Momen kebangkitan nasional menandai benih nasionalisme yang digalang kaum muda. Seiring dengan diterapkannya kebijakan politik etis yang merupakan bentuk dari politik balas budi pemerintahan kolonial Belanda kepada rakyat Indonesia, Soetomo, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, dan lain-lain menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya rakyat Indonesia untuk lepas dari belenggu penjajah. Mereka menunjukkan peran bahwa generasi mudah adalah agen perubahan.

Hilangnya Daya Kritis
Seabad momentum penting kebangkitan nasional telah berlalu. Seiring itu pula, peran pemuda dalam mengisi semangat kebangkitan nasional kembali dipertanyakan. Daya kritis sebagai penggerak perubahan tidak terwujud. Ironisnya, semakin diperparah oleh kebiasaan mereka yang cenderung menjadi penyambung lidah kekuasaan. Daya kritis hilang, diganti oleh kepentingan pragmatis kekuasaan. Berbeda dengan realitas masa lalu, image generasi muda kini lebih bersifat pejoratif ketimbang positif. Mereka cenderung menjadi beban negara, ketimbang sebagai aset yang senantiasa memberikan input konstruktif dan suri tauladan yang baik.
Di era reformasi, seiring dengan hegemoni gagasan demokrasi, justru peran pemuda semakin mengerdil. Sulit mencari sosok-sosok Sutomo, Wahidin Sudirohusodo, Sjahrir, Soekarno, atau Hatta muda yang baru. Yang berjuang dengan gigih melawan penjajah. Tidak hanya dengan revolusi fisik, namun juga revolusi ide dan gagasan. Meninggalkan kemewahan duniawi untuk menjadi penyambung lidah rakyat dengan berbekal tenaga dan pikiran.
Perbandingan dengan masa lalu tidak sekedar nostalgia atas romantisme sejarah. Namun kehendak untuk mencari tipikal seperti apa generasi muda saat ini. Jika tidak adil untuk disandingkan dengan masa lalu, lalu pilihan apa yang mereka tawarkan untuk sebuah perubahan? Fenomena tersebut telah menjadi fakta, didukung oleh berbagai kasus yang semakin merendahkan eksistensi pemuda dalam masyarakat. Melihat fakta tersebut, wajar jika timbul pertanyaan, benarkah rasa kebangsaan di kalangan generasi muda semakin melemah?
Secara teoretis, gagasan kebangsaan (nasionalisme)—minimal di masa lalu—muncul dari kehendak untuk merdeka dari penjajahan bangsa lain serta persamaan nasib bangsa yang bersangkutan, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ernst Renan, Otto Bower, dan Peter Tomasoa. Namun, di era modern, konsep itu tidak lagi sepenuhnya bisa diterima. Gagasan nasionalisme awal hanya terpaku pada kehendak untuk merdeka, atau “nasionalisme yang ingin mempunyai negara”. Namun, bila kemerdekaan sudah tercapai, secara perlahan akan lenyaplah nasionalisme tersebut.
Fenomena itulah yang boleh jadi sedang diidap oleh generasi muda. Semangat untuk berkorban, berbakti dan berjuang demi bangsa dan negara cenderung hilang, karena merasa sudah tidak ada lagi musuh yang mampu membangkitkan persatuan dan rasa kebangsaan. Mereka lupa, bahwa setelah revolusi fisik di masa lalu, justru musuh-musuh bangsa semakin banyak dan beragam. Memang, perjuangan tidak lagi sekedar dimaknai sebagai aksi memanggul senjata, namun, bukan berarti aksi lainnya kurang memiliki signifikansi. Di era modern, perjuangan lebih berat. Sebab musuh tidak sekedar berasal dari luar, tidak nyata, bahkan boleh jadi sosoknya adalah diri kita sendiri. Musuh tersebut bisa berbentuk kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kemalasan, ketidakrelaan untuk berkorban terhadap sesama atau berempati pada kondisi sosial dan lain sebagainya.


Re-konsepsi Paham Nasionalisme
Oleh karena itu, untuk menempatkan peran pemuda sebagai pengawal kebangkitan bangsa, nasionalisme harus dikonsepsi sebagai sebuah proses yang senantiasa berkembang. Nasionalisme mengikuti dinamika sosial masyarakat. Antara keyakinan, harapan, dan tujuan di satu pihak, dengan lahirnya nasionalisme di lain pihak, terdapat keintiman konseptual yang mendalam. Nasionalisme akan tumbuh jika ditopang oleh harapan, tujuan, dan keyakinan serta cita-cita hidup yang diperjuangkan bersama. Image penjajahan tidak melulu bersifat fisik. Penjajahan juga bermakna mental.
Satu hal yang tidak dapat dihindari adalah dinamika sosial menunjukkan kecenderungan pada keruntuhan rasa kesatuan. Dengan demikian, nasionalisme akan selalu ada. Upaya membangkitkan rasa tersebut ditopang persamaan sifat, harapan, maupun cita-cita, harus menciptakan semacam rasa permusuhan yang mampu menggerakan emosi nasional masyarakat. Dengan menatap kondisi sosial kita, agaknya tidak sukar menduga bahwa musuh utama dewasa ini adalah kemiskinan, ketidakadilan, penderitaan, neo-feodalisme, etnosetrisme, fundamentalisme, dan fanatisme.
Membangkitkan kembali nasionalisme di kalangan generasi muda
tidak mungkin tercapai tanpa mengenal siapa generasi muda, dan melihat realitas sosial yang kini terjadi di masyarakat. Menatap sepenuhnya landasan ideal dan cita-cita mereka yang hendak menciptakan dunia yang sejahtera, bebas dari rasa takut, kemiskinan, kesewenangan, dan kebodohan. Bagi generasi muda sekarang, cita-cita kemerdekaan itu digeser oleh harapan tersebut. Cita-cita kemerdekaan generasi muda bukanlah sekedar menghalau penjajah, lalu menggantikan peranan mereka dalam pemerintahan. Bukan sekedar menciptakan rasa bangga pada taraf nasional belaka, tetapi meliputi terciptanya jaminan bagi masa depan pendidikan, peningkatan taraf hidup masyarakat, ketentraman bagi seluruh warga negara Indonesia, kebebasan mengutarakan pemikiran dan pendapat, dan sebagainya.
Syarat yang harus dipenuhi adalah menciptakan ruang yang luas bagi gerak mereka. Tidak hanya di ranah masyarakat, lewat perjuangan di lembaga-lembaga swadaya, namun juga di aras pemerintahan politik dan birokrasi. Nasionalisme generasi muda dapat dibangkitkan dengan menjadikan kemiskinan dan ketidakadilan sebagai musuh nasional. Sehingga cita-cita realitas sosial yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, penghormatan kebebasan menyatakan pendapat, adanya distribusi pendapatan yang merata, kehidupan yang layak, adanya rasa bebas dari teror dan rasa takut, serta tegaknya hukum dalam segala dimensi kehidupan yang merata dan setara, tidaklah menjadi cita-cita utopis belaka.
Nasionalisme tidak lagi identik dengan apa yang dipahami oleh tokoh-tokoh pemuda masa lalu. Kita harus memilih nasionalisme yang humanis dan dapat menjadi rekan sejawat demokrasi. Tentu saja dalam konteks ini gagasan nasionalisme tidak lagi dapat dibebankan pada pundak pejabat negara yang telah kenyang dengan kekuasaan, tetapi juga perlu mendengar dan merekam suara masyarakat akar rumput yang selama ini tidak tersuarakan, tempat bergumulnya generasi muda.
Di balik kegelisahan dalam mengamati riuh-rendah peran pemuda, peran ideal meraka pada dasarnya masih bisa dibangkitkan kembali. Apalagi jika kita kembali merenungkan perjuangan mereka di era pergantian rezim kekuasaan, mulai pergantiang Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi. Pemuda menunjukan posisi tawar menawar (bargaining positions) yang jelas dan tegas, yakni menjaga idealismenya bagi kepentingan seluruh bangsa.
Dengan konsep seperti itu, tidak perlu lagi dikhawatirkan adanya sebagian besar pemuda yang belum memahami hakikat nasionalisme serta rasa solidaritas kebangsaan yang mampu menumbuhkan semangat perjuangan untuk membangun bangsa, dalam rangka mengisi cita-cita kemerdekaan. Lakon sejarah pergerakan pemuda menunjukan bahwa pemuda memiliki konsistensi untuk merawat dan menguatkan karakter bangsa (nation and character building). Konsistensi pemuda dalam menjaga idealismenya bagi kebaikan negeri sesungguhnya merupakan pengejawantahan atau manifestasi dari sprit of the nation yang sesungguhnhya.
Pembangunan tipikal dan karakter kebangsaan tidak akan lupa pada peran dan sumbangsih generasi muda. Bahkan warna dan polaritas mereka menunjukkan nilai sejati bangsa itu sendiri. Di saat kondisi bangsa sedang terpuruk, harapan tetap tertumpu pada mereka. Pekik teriakan yang pernah didengungkan oleh Soekarno: “berikan aku 10 pemuda, akan kuangkat gunung Semeru”, merupakan bukti bahwa tanpa dukungan generasi muda, sulit membangkitkan bangsa dari keterpurukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar