PERSEPSI REMAJA TERHADAP PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH
View
clicks
Posted October 6th, 2008 by perana ginting
Ilmu Keperawatan
abstraks:
ABSTRAK
Masalah perilaku seksual pranikah merupakan hal yang erat sekali kaitannya dengan remaja. Hal ini dikarenakan terjadinya perkembangan seksual yang mendorong remaja untuk mulai mencoba sesuatu yang berhubungan dengan perilaku seksual. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seksual pranikah remaja adalah persepsi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah di SMA Kartika Siliwangi I Bandung. Penelitian ini bersifat deskriptif. Pengambilan sampel dengan Stratified Random Sampling didapat 129 responden, yakni 63 responden kelas X dan 66 responden kelas XI. Pengumpulan data diperoleh menggunakan angket atau kuesioner.
Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa 40,31% responden berpersepsi favorable artinya mendukung terhadap perilaku seksual pranikah, sedangkan yang berpersepsi unfavorable atau tidak mendukung terhadap perilaku seksual pranikah yaitu 59,69% responden. Berdasarkan subvariabel perilaku seksual pranikah : dalam bentuk eksplorasi 44,96% berpersepsi favorable dan 55,04% berpersepsi unfavorable, dalam bentuk masturbasi 41,86% berpersepsi favorable dan 58,14% berpersepsi unfavorable, dalam bentuk homosexual play 32,56% berpersepsi favorable dan 67,44% berpersepsi unfavorable, dalam bentuk heterosexual play 52,71% berpersepsi favorable dan 47,29% berpersepsi unfavorable, dalam bentuk aggressive sex play 26,36% berpersepsi favorable dan 73,64% berpersepsi unfavorable.
Dari hasil penelitian ini diharapkan pihak SMA Kartika Siliwangi I Bandung untuk bekerjasama dengan dinas terkait untuk memberikan penyuluhan, bimbingan, dan pengarahan mengenai perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab yang diberikan secara terintegrasi dengan pendidikan kesehatan reproduksi remaja sesuai keilmuan, moral dan agama.
Kata Kunci : Perilaku Seksual Pranikah, Persepsi, Remaja
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
LEMBAR PERNYATAAN iii
LEMBAR PERSEMBAHAN iv
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
PRAKATA vii
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR BAGAN xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian 1
1.2 Identifikasi Masalah 11
1.3 Tujuan Penelitian 11
1.3.1 Tujuan Umum 11
1.3.2 Tujuan Khusus 11
1.4 Kegunaan Penelitian 12
1.4.1 Bagi Profesi Keperawatan 12
1.4.2 Bagi Institusi Sekolah 12
1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya 13
1.5 Definisi Konseptual dan Operasional 13
1.5.1 Definisi Konseptual 13
1.5.1.1 Persepsi 13
1.5.1.2 Remaja 13
1.5.1.3 Perilaku Seksual Pranikah 14
1.5.2 Definisi Operasional 14
1.5.2.1 Persepsi Remaja terhadap Perilaku
1.5.2. Seksual Pranikah 14
1.6 Kerangka Pemikiran 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Persepsi 19
2.1.1 Definisi Persepsi 19
2.1.2 Syarat untuk Mengadakan Persepsi 20
2.1.3 Proses Terjadinya Persepsi 21
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi 22
2.2 Konsep Remaja 24
2.2.1 Definisi Remaja 24
2.2.2 Tahap Perkembangan Remaja 25
2.2.2.1 Masa Remaja Awal 25
2.2.2.2 Masa Remaja Tengah 25
2.2.2.3 Masa Remaja Akhir 26
2.2.3 Perkembangan Fisik 26
2.2.3.1 Ciri-ciri Seks Primer 26
2.2.3.2 Ciri-ciri Seks Sekunder 27
2.2.4 Perkembangan Kognitif Remaja 28
2.2.5 Perkembangan Kognisi Sosial Remaja 30
2.2.6 Tugas Perkembangan Remaja 32
2.3 Konsep Perilaku Seksual Pranikah 33
2.3.1 Definisi 33
2.3.2 Bentuk-Bentuk Perilaku Seksual Pranikah 33
2.3.2.1 Exploration 33
2.3.2.2 Masturbasi 34
2.3.2.3 Homosexual Play 35
2.3.2.4 Heterosexual Play 36
2.3.2.5 Aggressive Sex Play 39
2.3.3 Perkembangan Perilaku Seksual Remaja. 40
2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Seksual Pranikah Remaja 42
2.3.4.1 Perubahan Hormonal 42
2.3.4.2 Penundaan Usia Perkawinan 43
2.3.4.3 Norma-Norma di Masyarakat 43
2.3.4.4 Penyebaran Informasi Melalui Media Massa 44
2.3.4.5 Tabu-Larangan 44
2.3.4.6 Pergaulan yang Makin Bebas 44
2.3.5 Dampak Perilaku Seksual Pranikah . 44
2.3.5.1 Dampak Fisiologis 45
2.3.5.2 Dampak Sosio-Psikologis 48
2.3.6 Pendidikan Kesehatan Reproduksi untuk Remaja 48
2.4 Peran Perawat 49
2.4.1 Proses Keperawatan 50
2.4.1.1 Pengkajian 50
2.4.1.2 Perencanaan dan Implementasi 51
2.4.1.3 Evaluasi 52
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian 53
3.2 Variabel dan Subvariabel Penelitian 53
3.2.1 Variabel Penelitian 53
3.2.2 Sub Variabel Penelitian 54
3.3 Populasi dan Sampel 54
3.3.1 Populasi 54
3.3.2 Sampel 54
3.4 Teknik Pengumpulan Data 56
3.5 Uji Coba Instrumen 57
3.5.1 Uji Validitas 58
3.5.2 Uji Reliabilitas 59
3.6 Pengolahan dan Analisa Data 61
3.6.1 Editing 61
3.6.2 Koding 61
3.6.3 Analisa Data 61
3.7 Prosedur Penelitian 62
3.7.1 Tahap Persiapan 62
3.7.2 Tahap Pelaksanaan 63
3.7.3 Tahap Akhir 64 3.8 Lokasi dan Waktu Penelitian 64
3.9 Etika Penelitian 64
3.9.1 Informed Consent 64
3.9.2 Anonimity 64
3.9.3 Confidentiality 64
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Responden 65 4.2 Hasil Penelitian 66
4.3 Pembahasan 68
4.3.1 Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah
Dalam Bentuk Eksplorasi 73
4.3.2 Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah
Dalam Bentuk Masturbasi 74
4.3.3 Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah
Dalam Bentuk Homosexual Play 76
4.3.4 Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah
Dalam Bentuk Heterosexual Play 77
4.3.5 Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah
Dalam Bentuk Aggressive Sex Play 79
4.4 Keterbatasan Penelitian 80
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan 82
5.2 Saran 84
5.2.1 Bagi Profesi Keperawatan 84
5.2.2 Bagi Institusi Sekolah 84
5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya 85
DAFTAR PUSTAKA 87
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik 66
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah 67
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Sub Variabel Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah 67
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Persepsi Remaja terhadap
Perilaku Seksual Pranikah di SMAN 16 Bandung
dan SMA Kartika Siliwangi I Bandung ................................... 18
Bagan 2.1 Proses Persepsi 21
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kartu Bimbingan Skripsi
Lampiran 2 Hasil Seminar Proposal
Lampiran 3 Surat Izin Uji Validitas Dan Reliabilitas
Lampiran 4 Surat Izin Penelitian
Lampiran 5 Kisi-kisi Instrumen
Lampiran 6 Instrumen Penelitian
Lampiran 7 Hasil Pengujian Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
Lampiran 8 Data Hasil Penelitian
Lampiran 9 Jadwal Kegiatan Penyusunan Skripsi
Lampiran 10 Riwayat Hidup
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun. Masa remaja terdiri dari masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun (Monks, dkk., 2002). Pada periode ini terjadi perubahan baik dari segi fisik maupun dari segi psikologis. Perubahan psikologis yang terjadi merupakan manifestasi dari penyesuaian peran terhadap tugas perkembangan pada masa remaja, seperti : meningkatnya tuntutan dan harapan sosial, adanya tuntutan kemandirian dari orang tua, meningkatnya kebutuhan untuk berhubungan dengan kelompok sebaya, mampu bersikap sesuai norma sekitar, kompeten secara intelektual, berkembangnya tanggung jawab pribadi dan sosial, serta belajar untuk mengambil keputusan (Havighurst, 1972; dalam Hurlock, 1998 : 10).
Selain itu, perubahan fisik yang terjadi pada masa ini adalah terjadinya kematangan fungsi jasmaniah yang biologis berupa kematangan kelenjar kelamin yaitu testis untuk anak laki-laki dan ovarium pada anak gadis. Keduanya merupakan tanda-tanda kelamin primer. Sebelumnya, peristiwa ini didahului oleh tanda-tanda kelamin sekunder yang secara kronologis mendahului ciri-ciri primer seperti tumbuhnya kumis dan memberatnya suara para remaja pria serta pertumbuhan payudara pada remaja wanita.
Perubahan dari anak-anak menjadi dewasa bukan hanya mengakibatkan terjadinya perubahan fisik dan psikologis tetapi juga melibatkan kematangan fungsi seksual. Sigmund Freud dalam Hurlock (1998) mengemukakan bahwa pada masa remaja libido atau energi seksual menjadi hidup, yang tadinya laten pada masa pra remaja. Hal ini timbul seiring dengan pertumbuhan primer dan sekunder pada remaja kearah kematangan yang sempurna. Oleh karena itu muncul juga hasrat dan dorongan untuk menyalurkan keinginan seksualnya. Keinginan untuk menyalurkan dorongan seksual dan timbulnya rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya maupun lawan jenis (Hurlock, 1998 : 226). Timbulnya hasrat seksual inilah salah satu faktor yang mendorong perilaku seksual baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis.
Menurut Sarlito (2003), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Perilaku seksual pada remaja timbul karena dipengaruhi faktor-faktor berikut yaitu perubahan hormonal, penundaan usia perkawinan, penyebaran informasi melalui media massa, tabu-larangan, norma-norma di masyarakat, serta pergaulan yang makin bebas antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku seksual yang sehat dan adaptif dilakukan ditempat privacy dalam ikatan yang sah menurut hukum. Sedangkan perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing (Mu’tadin, 2002). Bentuk-bentuk perilaku seksual tersebut terdiri dari eksplorasi, masturbasi, homosexual play, heterosexual play, dan aggressive sex play (Hurlock, 1973).
Bentuk perilaku seksual yang paling awal adalah eksplorasi. Rasa ingin tahu mengakibatkan adanya eksplorasi. Eksplorasi memiliki dua bentuk, yaitu secara intelektual dan teknik manipulasi. Secara intelektual akan menuntun remaja untuk menanyakan hal-hal tertentu atau membaca buku-buku untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan (ketika remaja takut untuk bertanya). Ketika remaja tidak dapat memenuhi rasa ingin tahunya secara tidak langsung melalui pendekatan intelektual, mereka melakukan pendekatan secara langsung yang melibatkan teknik manipulasi yaitu dengan cara mengeksplorasi organ seksnya sendiri juga organ seks orang lain.
Bentuk perilaku seksual yang biasa memuncak pada saat pubertas dan remaja adalah masturbasi. Masturbasi adalah perangsangan diri dengan memainkan tangan atau alat-alat lainnya ke bagian-bagian tubuh yang sensitif, terutama alat kelaminnya, biasanya hingga tercapai orgasme dan pelepasan tegangan seksual. Selain masturbasi, bentuk perilaku seksual yang dapat timbul pada remaja adalah homosexual play yang merupakan bentuk perilaku seksual yang dilakukan individu dengan orang lain yang berjenis kelamin sama dengannya. Ketika remaja laki-laki dan perempuan menjadi matang secara seksual, dorongan seks secara normal diarahkan kepada lawan jenisnya. Akibatnya terjadi peningkatan dalam heterosexual play yang biasa terjadi ketika remaja berpacaran. Menurut Irawati (1999) remaja melakukan berbagai macam perilaku seksual beresiko yang terdiri atas tahapan-tahapan tertentu yaitu dimulai dari berpegangan tangan, cium kering, cium basah, berpelukan, memegang atau meraba bagian sensitif, petting, oral sex, dan bersenggama (sexual intercourse). Selain itu, aggressive sex play merupakan bentuk perilaku seksual yang dilakukan dengan memaksa pasangannya.
Masa perkembangan remaja yang semakin meningkat terhadap tuntutan seksualitas ditambah kecenderungan remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap sesuatu, makin mendorong remaja untuk melakukan berbagai hal dalam memenuhi rasa ingin tahu tersebut. Dimulai dari pencarian informasi yang ia butuhkan sampai kearah tindakan mencoba. Menurut Piaget (dalam Papalia dkk., 2001) walaupun remaja telah mempunyai kematangan kognitif, namun dalam kenyataan mereka belum mampu mengolah informasi yang diterima dengan benar. Akibatnya perilaku seksual remaja sering tidak terkontrol dengan baik. Selain itu rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui sangat mempengaruhi remaja melakukan perilaku seksual aktif yang beresiko, karena pada umumnya remaja ingin mengetahui banyak hal yang hanya dapat dipuaskan serta diwujudkannya melalui pengalaman mereka sendiri (learning by doing).
Sejalan dengan hal tersebut, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Natasha (2004) terhadap remaja SMP dan SMU (usia 13-18 tahun) di Bayongbong Garut, mengungkapkan bahwa perilaku seksual yang dilakukan remaja tersebut adalah membicarakan seks dengan teman-teman (10,5%), cium bibir (3,8%), nonton film porno dengan teman (3,6%), nonton film porno sendiri (2,3%), mencium leher (2,1%), saling meraba bagian tubuh yang sensitive (2,1%), melihat situs porno di internet (1,3%), nonton film porno dengan pacar (0,8%), melakukan oral seks (0,5%), petting (0,5%), masturbasi (0,5%), dan 5 responden melakukan hubungan seks (1,3%). Selain itu, menurut lembaga Family Health International (FHI) yang melakukan riset dan survei terhadap perilaku seks di kalangan remaja Kota Bandung serta beberapa kota besar lainnya di Indonesia, menunjukkan bahwa 54% remaja Kota Bandung pernah berhubungan seks. Disusul kemudian berturut-turut Medan (52%), Jakarta (51%), dan Surabaya (47%) (Wiyana, 2006). Perilaku seksual pranikah pada remaja ini pada akhirnya dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan remaja itu sendiri
Dampak dari perilaku seksual pranikah pada remaja ini adalah semakin tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini disebabkan hampir semua remaja yang pernah melakukan hubungan seks melakukannya tanpa alat kontrasepsi sama sekali (Sarwono, 2003). Di samping itu, kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja seringkali berakhir dengan aborsi dan banyak di antaranya yang tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli (Sarwono, 2003). Resiko medis pengguguran kandungan pada remaja cukup tinggi seperti pendarahan, komplikasi akibat aborsi yang tidak aman, sampai kematian ibu (Kilbourne-Brook, 2000).
Dampak fisik lainnya sendiri menurut Sarlito (2003) adalah berkembangnya penyakit menular seksual di kalangan remaja, dengan frekuensi penderita penyakit menular seksual yang tertinggi antara usia 15-24 tahun. Infeksi penyakit menular seksual dapat menyebabkan kemandulan dan rasa sakit kronis serta meningkatkan risiko penularan HIV. Dampak psikologis dari perilaku seksual pranikah pada remaja diantaranya perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa. Sedangkan dampak sosial yang timbul akibat perilaku seksual yang dilakukan sebelum saatnya antara lain dikucilkan, putus sekolah pada remaja perempuan yang hamil, dan perubahan peran menjadi ibu. Belum lagi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak keadaan tersebut (Sarwono, 2003).
Oleh karena itu memandang bahwa keperawatan sebagai bagian integral dari sistem kesehatan di Indonesia yang turut menentukan dalam menanggulangi masalah kesehatan anak dan remaja, maka dipandang perlu adanya pengkajian di bidang ini. Tersedianya berbagai fasilitas hiburan umum ditambah dengan pengawasan yang semakin longgar dari keluarga memungkinkan remaja untuk cenderung melakukan perilaku seksual beresiko seperti berpacaran, berciuman, bahkan melakukan senggama. Sehingga, perawat dalam memberikan asuhan keperawatan mempunyai peran dan fungsi sebagai konselor dan pendidik, dimana perawat mempunyai andil yang cukup besar dalam memberikan informasi pada remaja SMU tentang kesehatan reproduksi, khususnya masalah perilaku seksual pranikah.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di SMA Kartika Siliwangi I Bandung, didapati data bahwa siswa-siswi di SMA tersebut cenderung berperilaku seksual aktif beresiko. Hal ini berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara dengan guru BK (Bimbingan Konseling) SMA Kartika Siliwangi I Bandung, bahwa ketika diadakan razia dadakan yang diadakan pihak sekolah siswa-siswi SMA tersebut sering kedapatan membawa VCD porno dan majalah khusus orang dewasa, bahkan ada siswa yang kedapatan membawa kondom serta siswi yang membawa testpack. Pihak sekolah bahkan meminta secara langsung untuk dilakukan penelitian mengenai persepsi siswanya terhadap perilaku seksual pranikah, untuk kemudian dapat dilakukan upaya-upaya tindak lanjutnya. Pihak sekolah telah memberlakukan peraturan yang ketat yaitu mengembalikan siswa ke pihak orang tua (drop out) apabila kedapatan ada siswanya yang melakukan tindakan yang melanggar peraturan sekolah seperti melakukan hubungan intim ataupun hamil. Seperti yang telah dilakukan pihak sekolah dalam 3 tahun terakhir yaitu mengeluarkan siswi yang hamil sebanyak 3 orang, seorang diantaranya dikeluarkan tahun 2007.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada sepuluh orang siswa kelas X dan XI di SMA Kartika Siliwangi I, diperoleh keterangan banyak siswa dan siswi di SMA tersebut yang berpacaran dan tidak segan-segan menunjukkan kemesraannya di lingkungan sekolah. Bahkan salah seorang siswa mengatakan bila istirahat teman-temannya sering menonton video porno bersama-sama dari handphone. Delapan dari siswa tersebut mengaku pernah berpacaran, ketika diberi pertanyaan apa saja yang mereka lakukan ketika berpacaran, lima orang menjawab sudah pernah berciuman, dua orang sampai meraba bagian sensitif, dan satu orang pernah melakukan petting (merupakan keseluruhan aktifitas non intercourse, hingga menempelkan alat kelamin). Siswa tersebut mengatakan hal-hal yang mereka lakukan tersebut wajar dilakukan, karena dilakukan dengan sukarela dan atas dasar rasa cinta.
Perilaku seksual ini memang kasat mata, namun ia tidak terjadi dengan sendirinya melainkan didorong atau dimotivasi oleh faktor-faktor tertentu. Menurut Notoatmodjo (2003), secara lebih terinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, motivasi, persepsi, dan sikap. Persepsi merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Apabila dalam kehidupan seseorang sudah terbentuk persepsi, maka persepsi ini akan menentukan cara seseorang dalam bertingkah laku terhadap obyek persepsi tersebut. Persepsi merupakan dasar dari proses kognisi, yaitu termasuk di dalamnya merupakan proses mengolah informasi.
Menurut Rakhmat (2000 : 49), proses mengolah informasi meliputi sensasi, persepsi, memori dan berfikir. Sensasi adalah proses mengangkap stimuli. Persepsi ialah proses memberi makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Dengan kata lain, persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Memori adalah proses menyimpan informasi dan memanggilnya kembali. Berfikir adalah mengolah dan memanipulasi informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respon.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan hal ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan dan informasi merupakan stimulus yang diterima oleh remaja dari lingkungannya. Remaja akan memiliki dan memberi reaksi pada stimulus yang dijumpai sehingga menjadi lebih berarti bagi kepentingan hidupnya. Proses menyaring, memilih dan mengartikan pada stimulus tersebut merupakan proses mental yang dikenal dengan persepsi (Atkinson, 1999). Menurut Gibson (dalam Wahid, 1998), hasil proses persepsi adalah perilaku tanggapan dan sikap yang terbentuk.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003). Selain itu perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh motivasi, karena motivasi merupakan penggerak perilaku. Akan tetapi hubungan antara kedua konstruk ini cukup kompleks, antara lain dapat dilihat sebagai berikut : motivasi yang sama dapat menggerakkan perilaku yang berbeda, demikian pula perilaku yang sama dapat saja diarahkan oleh motivasi yang berbeda (Mu’tadin, 2002)
Menurut Stephen (2001) apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang objektif. Persepsi itu penting karena perilaku seseorang didasarkan pada persepsi mereka mengenai apa objek yang dilihat, bukan mengenai obyek itu sendiri. Dunia seperti yang dipersepsikan adalah dunia yang penting dari segi perilaku, karena persepsi merupakan dasar bagi seseorang dalam mengambil suatu keputusan dan pengambilan keputusan merupakan bagian penting dari perilaku seseorang.
Berkaitan dengan adanya perubahan biologis, kognitif, emosi dan sosial yang dialami oleh remaja yang bersifat individual, maka kemungkinan terdapat perbedaan persepsi remaja tentang perilaku seksual pranikah. Remaja yang memiliki persepsi bahwa hubungan seksual pranikah itu merupakan hal yang biasa sangat potensial terjerumus menjadi perilaku seksual beresiko tinggi serta cenderung melakukan perilaku seksual tersebut apabila ada kesempatan karena rem atau kontrol diri mereka lemah (Rustika, 2007). Selain itu, remaja yang sudah mengadakan hubungan seksual akan sulit menghentikannya pula akibat timbulnya persepsi bahwa melakukan hubungan seksual sudah merupakan hal biasa (Arief, 2008).
Tinggi rendahnya penerimaan remaja tersebut terhadap perilaku seksual pranikah dapat dipandang sebagai pernyataan persepsi remaja terhadap suatu objek. Dimana persepsi merupakan penelitian yang dibuat seseorang mengenai baik buruknya suatu perilaku : sejauh mana ia mendukung atau menentang perilaku tersebut. Sehingga persepsi remaja itu bisa berupa persepsi favorable dimana dalam perubahan ini remaja mendukung adanya perilaku seksual pranikah dan persepsi unfavorable dimana dalam perubahan ini remaja menentang adanya perilaku seksual pranikah. Karena persepsi merupakan dasar dari perilaku seseorang, maka dalam diri remaja diperlukan adanya persepsi yang benar tentang perilaku seksual. Oleh karena itu perlu diketahui lebih lanjut bagaimana sesungguhnya penerimaan remaja tersebut terhadap perilaku seksual pranikah yang ada di lingkungannya.
Menyadari bahwa remaja merupakan sumber daya potensial bagi negara, maka sebagai petugas kesehatan perawat memiliki andil dalam membentuk perilaku yang sehat seperti tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah yang dapat berakibat timbulnya berbagai dampak negatif yang merugikan bagi remaja. Dengan melihat latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah di SMA Kartika Siliwangi I Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian, maka penulis tergerak untuk mengetahui “Bagaimana Persepsi Remaja terhadap Perilaku Seksual Pranikah di SMA Kartika Siliwangi I Bandung?”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah di SMA Kartika Siliwangi I Bandung.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan Khusus dari penelitian ini meliputi :
1. Mengidentifikasi persepsi remaja di SMA Kartika Siliwangi I Bandung terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk eksplorasi
2. Mengidentifikasi persepsi remaja di SMA Kartika Siliwangi I Bandung terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk masturbasi
3. Mengidentifikasi persepsi remaja di SMA Kartika Siliwangi I Bandung terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk homosexual play
4. Mengidentifikasi persepsi remaja di SMA Kartika Siliwangi I Bandung terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk heterosexual play
5. Mengidentifikasi persepsi remaja di SMA Kartika Siliwangi I Bandung terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk aggressive sex play
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Bagi Profesi Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah, sehingga dapat menjadi langkah awal bagi perawat untuk merencanakan pemberian pendidikan dan pelayanan dibidang kesehatan reproduksi remaja. Selain itu, sebagai tindakan preventif dan promotif untuk mencegah dampak negatif yang ditimbulkan dari persepsi remaja yang mendukung (favorable) terhadap perilaku seksual pranikah.
1.4.2 Bagi Institusi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi institusi sekolah terutama guru BK (Bimbingan Konseling), guru pembina PMR (Palang Merah Remaja) dan UKS (Unit Kesehatan Sekolah), mengenai gambaran persepsi siswanya terhadap perilaku seksual pranikah. Sehingga pihak institusi dapat menyusun langkah-langkah selanjutnya untuk dapat mengembangkan persepsi siswa-siswinya terhadap perilaku seksual pranikah kearah yang lebih baik.
1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya mengenai faktor-faktor yang yang berkaitan dengan perilaku seksual remaja.
1.5 Definisi Konseptual dan Operasional
1.5.1 Definisi Konseptual
1.5.1.1 Persepsi
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkannya. Persepsi memberikan makna pada stimuli inderawi atau sensori stimuli (Rakhmat, 2005 : 51). Persepsi adalah suatu proses dimana individu memberikan arti pada lingkungan yang melibatkan pengorganisasian dan interpretasi berbagai stimulus kedalam pengalaman psikologis (Gibson, 1998).
1.5.1.2 Remaja
Remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak dan masa dewasa, berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun. Masa remaja terdiri dari masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun (Monks, dkk., 2002).
1.5.1.3 Perilaku Seksual Pranikah
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Sedangkan perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing (Mu’tadin, 2002). Bentuk-bentuk perilaku seksual tersebut terdiri dari eksplorasi, masturbasi, homosexual play, heterosexual play, dan aggressive sex play (Hurlock, 1973).
1.5.2 Definisi Operasional
1.5.2.1 Persepsi Remaja terhadap Perilaku Seksual Pranikah
Persepsi remaja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemberian makna dari stimulus yang diterima oleh siswa SMU Kelas X dan XI (dengan rentang usia 15-18 tahun) terhadap perilaku seksual pranikah yang meliputi : eksplorasi, masturbasi, homosexual play, heterosexual play, dan aggressive sex play.
Persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah ini diukur dengan menggunakan angket yang berisi pertanyaan dan pernyataan berupa instrumen kuesioner, yang diajukan kepada responden dengan alternatif jawaban menggunakan rating scale. Hasil pengukuran adalah persepsi yang dikategorikan favorable dan unfavorable menggunakan teknik median. Dimana persepsi responden dikatakan favorable bila skor total responden ? median, sedangkan persepsi responden dikatakan unfavorable bila skor total responden < median. Yang dimaksud dengan persepsi favorable adalah dimana remaja mendukung adanya perilaku seksual pranikah. Dan yang dimaksud dengan persepsi unfavorable adalah remaja tidak mendukung adanya perilaku seksual pranikah.
1.6 Kerangka Pemikiran
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis (Sarwono, 2003). Hal ini timbul seiring dengan pertumbuhan primer dan sekunder pada remaja sehingga muncul hasrat dan dorongan untuk menyalurkan keinginan seksualnya. Timbulnya hasrat seksual inilah salah satu yang mendorong remaja untuk melakukan perilaku seksual pranikah.
Perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing (Mu’tadin, 2002). Bentuk-bentuk perilaku seksual tersebut terdiri dari eksplorasi, masturbasi, homosexual play, heterosexual play, dan aggressive sex play (Hurlock, 1973).
Menurut Sarwono (2003) perilaku seksual pada remaja timbul karena pengaruh faktor-faktor berikut yaitu perubahan hormonal, norma-norma yang berlaku di masyarakat, penyebaran informasi melalui media massa, tabu-larangan, serta pergaulan yang makin bebas antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Perilaku seksual remaja yang aktif dapat mengarahkan remaja kepada perilaku seksual pranikah yang beresiko. Perilaku tersebut bisa diawali dari persepsi yang keliru pada diri remaja tentang stimuli yang diterima dari lingkungannya.
Menurut Stephen (2001) apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan yang objektif. Persepsi itu penting karena perilaku seseorang didasarkan pada persepsi mereka mengenai apa objek yang dilihat, bukan mengenai obyek itu sendiri. Dunia seperti yang dipersepsikan adalah dunia yang penting dari segi perilaku, karena persepsi merupakan dasar bagi seseorang dalam mengambil suatu keputusan dan pengambilan keputusan merupakan bagian penting dari perilaku seseorang.
Menurut Rakhmat (2000), persepsi seseorang dipengaruhi oleh faktor perhatian, fungsional dan struktural. Dalam faktor perhatian terdapat faktor eksternal penarik perhatian atau yang terkadang disebut faktor situasional (seperti gerakan, intensitas stimuli, kebaruan, dan perulangan) dan faktor internal penaruh perhatian. Faktor internal penaruh perhatian dipengaruhi oleh faktor-faktor biologis. Dicontohkan disini bahwa remaja yang baru saja menonton film porno akan cepat melihat stimulasi seksual disekitarnya. Selain itu faktor internal juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiopsikologis seperti motif sosiogenis, sikap, kebiasaan, dan kemauan.
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu, dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal (seperti kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya). Faktor fungsional mempengaruhi persepsi karena yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli itu. Sedangkan faktor struktural yang berasal dari stimuli fisik dan efek-efek syaraf memungkinkan manusia mempersepsikan sesuatu secara keseluruhan, yaitu dalam memahami suatu peristiwa, manusia tidak dapat meneliti fakta-fakta yang terpisah, tetapi dipandang sebagai hubungan keseluruhan.
Berkaitan dengan adanya perubahan biologis, kognitif, emosi dan sosial yang dialami oleh remaja yang bersifat individual, maka kemungkinan terdapat perbedaan persepsi remaja tentang perilaku perilaku seksual pranikah. Karena persepsi merupakan dasar dari perilaku seseorang, maka dalam diri remaja diperlukan adanya persepsi yang benar tentang perilaku seksual pranikah agar remaja terhindar dari dampak negatif yang ditimbulkan dari persepsi remaja terhadap perilaku tersebut. Remaja yang memiliki persepsi bahwa hubungan seksual pranikah itu merupakan hal yang biasa sangat potensial terjerumus menjadi perilaku seksual bebas aktif. Selain itu, remaja yang sudah mengadakan hubungan seksual akan sulit menghentikannya pula akibat timbulnya persepsi bahwa melakukan hubungan seksual sudah merupakan hal biasa (Arief, 2008).
Persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah di SMA Kartika Siliwangi I Bandung sangat penting untuk diketahui sebagai identifikasi, monitoring, evaluasi dan pemahaman dalam melihat bagaimanakah sebenarnya perilaku seksual pranikah yang dipersepsikan oleh remaja. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran dapat dilihat dalam bagan kerangka pikir berikut ini :
Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Persepsi Remaja terhadap Perilaku Seksual Pranikah di SMA Kartika Siliwangi I Bandung
= area penelitian
Sumber : Modifikasi dari Sarwono (2003) dan Rakhmat (2005)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Persepsi
2.1.1 Definisi Persepsi
Terdapat berbagai pengertian atau definisi mengenai persepsi yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Rakhmat (2000), persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkannya. Persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi atau sensori stimuli.
Persepsi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui responnya. Stimulus dilanjutkan ke susunan saraf otak dan terjadilah proses kognitif sehingga individu mengalami persepsi (Walgito, 1997).
Persepsi adalah suatu proses dimana individu memberikan arti pada lingkungan yang melibatkan pengorganisasian dan interpretasi berbagai stimulus kedalam pengalaman psikologis (Gibson, 1998). Persepsi menurut Mar’at (1990) digambarkan sebagai suatu tanggapan seseorang yang berasal dari komponen kognisi dan dipengaruhi pengalaman, proses belajar, wawasan dan pengetahuan.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses penangkapan stimulus yang kemudian disimpulkan menjadi suatu yang bermakna dan berarti melalui proses seleksi, organisasi dan interpretasi. Persepsi membantu individu dalam memilih perilaku individu tersebut. Persepsi juga merupakan suatu proses kognisi yang melibatkan cara-cara dimana individu memproses informasi yang didapatnya, dengan proses kognisi tersebut timbul perbedaan dan keunikan masing-masing individu yang mempersepsikan.
2.1.2 Syarat untuk Mengadakan Persepsi
Menurut Walgito (1997) individu yang mengadakan persepsi harus memenuhi syarat, diantaranya adalah :
1. Adanya objek yang dipersepsi
Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar mengenai indera atau reseptor dan dapat datang dari dalam langsung mengenai saraf penerima (sensoris) yang bekerja sebagai reseptor.
2. Alat indera atau reseptor
Alat indera atau reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus. Saraf sensoris merupakan alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan saraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran dan diperlukan saraf motorik sebagai responnya.
3. Perhatian
Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian yang merupakan langkah awal sebagai persiapan untuk mengadakan persepsi.
2.1.3 Proses Terjadinya Persepsi
Untuk dapat memahami persepsi secara lebih jelas, perlu kita ketahui bagaimana proses persepsi itu berlangsung dalam diri manusia, seperti diutarakan oleh Gibson yang diterjemahkan oleh Wahid (1998) sebagai berikut :
Bagan 2.1 Proses Persepsi
Sumber: Gibson James L. et. al, Organization dengan modifikasi, terj. Djoehan Wahid (1998)
Proses persepsi meliputi 3 tahapan, yaitu :
(1) Kenyataan dalam kehidupan individu (sebagai stimulus)
Misalnya informasi yang diterima baik dari sekolah maupun dari luar sekolah.
(2) Pengolahan persepsi : stimulus tersebut diolah, diorganisasikan dan ditafsirkan dengan perangkat-perangkat yang ada. Terdapat tiga bagian dalam tahap pengolahan ini yaitu :
a. Pengamatan stimulus : tahap ini disebut juga sensasi, yang melibatkan panca indera sebagai pintu-pintu masuk stimulus kedalam psikis manusia. Jadi sensasi merupakan bagian dari persepsi.
b. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang terhadap stimuli yang diterimanya. Menurut Krech dan Field (1977) yang dikutip oleh Rakhmat (2000), persepsi ditentukan oleh faktor perhatian, fungsional, dan struktural.
c. Bagian terakhir dari tahap pengolahan ini adalah evaluasi dan penafsiran kenyataan. Dalam hal ini kenyataan-kenyataan (sebagai stimuli) tadi sudah diolah dalam suatu mekanisme psikis yang rumit dan tak selalu bisa dijelaskan.
(3) Hasil proses persepsi adalah perilaku tanggapan dan sikap yang terbentuk. Dua bentuk hasil tersebut bisa bersifat favourable atau unfavourable.
Selanjutnya dua bentuk hasil persepsi tadi akan memberikan umpan balik terhadap stimuli, pengamatan stimuli, dan faktor-faktor berpengaruh, sehingga mungkin terjadi pembahasan yang bersifat korektif atau mengkukuhkan persepsi awal.
2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Krech dan Field (1977) yang dikutip oleh Rakhmat (2000) menyebutkan bahwa faktor yang menentukan persepsi adalah perhatian, faktor fungsional, dan struktural :
1. Faktor Perhatian
Perhatian adalah proses mental ketika stimulus atau rangkaian stimulus menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimulus lainnya melemah. Perhatian terjadi bila kita mengkonsentrasikan diri pada salah satu alat indera kita, dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indera yang lain.
Unsur perhatian seseorang terhadap suatu rangkaian stimulus dapat datang dari eksternal maupun internal. Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi unsur perhatian adalah sebagai berikut :
a. Gerakan. Seperti organisme yang lain, manusia secara visual tertarik dengan objek-objek yang bergerak.
b. Intensitas stimulus. Kita akan memperhatikan stimulus yang lebih menonjol dari stimulus yang bergerak.
c. Kebaruan. Hal-hal yang baru yang berbeda akan menarik perhatian.
Adapun faktor internal yang mempengaruhi perhatian adalah sebagai berikut :
a. Faktor biologis, misalnya jika kita dalam keadaan kelaparan maka seluruh pikiran kita akan didominasi oleh makanan.
b. Faktor psikososial terdiri dari set (harapan seseorang tentang rangsangan yang akan timbul misalnya seorang perawat membawa tensi ke arah pasien maka pasien akan mempersiapkan dirinya untuk diukur tekanan darahnya) dan kebutuhan (kebutuhan sesaat atau menetap pada seseorang akan mempengaruhi persepsi).
2. Faktor fungsional yang menentukan persepsi
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang termasuk dengan apa yang kita sebut faktor personal. Faktor-faktor personal tersebut adalah pengalaman sendiri, motivasi dan kepribadian.
Persepsi bersifat selektif secara fungsional, artinya bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. Mereka memberikan contoh pengaruh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya terhadap persepsi. Kebutuhan biologis menyebabkan persepsi berbeda. Yang menentukan bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli itu.
3. Faktor Struktural
Faktor struktural berasal dari sifat stimulus fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu. Para psikologi Gestalt merumuskan prinsip persepsi yang bersifat struktural yang mengatakan bahwa kita mempersepsikan sesuatu sebagai suatu keseluruhan, kita tidak melihat bagian-bagiannya lalu menghimpunnya.
2.2. Konsep Remaja
2.2.1 Definisi Remaja
Remaja merupakan masa transisi, suatu masa dimana periode anak-anak sudah terlewati dan disatu sisi belum dikatakan dewasa (Stuart and Sundeen, 1995). Steinberg (2002) menyatakan masa remaja sebagai masa peralihan dari ketidakmatangan pada masa kanak-kanak menuju kematangan pada masa dewasa. Ia juga menyatakan masa remaja merupakan periode transisi yang meliputi segi-segi biologis, fisiologis, sosial dan ekonomis yang didahului oleh perubahan fisik (bentuk tubuh dan proporsi tubuh) maupun fungsi fisiologis (kematangan organ-organ seksual).
Lazimnya masa remaja dimulai saat anak-anak secara seksual menjadi matang (Hurlock, 1998). Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun (Monks, dkk., 2002).
2.2.2 Tahap Perkembangan Remaja
Menurut tahap perkembangan, masa remaja dibagi menjadi tiga tahap yaitu :
2.2.2.1 Masa Remaja Awal (12-15 tahun), dengan ciri khas antara lain :
(1) Lebih dekat dengan teman sebaya
(2) Ingin bebas
(3) Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak
2.2.2.2 Masa Remaja Tengah (15-18 tahun), dengan ciri khas antara lain :
(1) Mencari identitas diri
(2) Timbulnya keinginan untuk kencan
(3) Mempunyai rasa cinta yang mendalam
(4) Mengembangkan kemampuan berpikir abstrak
(5) Berkhayal tentang aktifitas seks
2.2.2.3 Masa Remaja Akhir (18-21 tahun), dengan ciri khas antara lain :
(1) Pengungkapan identitas diri
(2) Lebih selektif dalam mencari teman sebaya
(3) Mempunyai citra jasmani dirinya
(4) Dapat mewujudkan rasa cinta
(5) Mampu berpikir abstrak
2.2.3 Perkembangan Fisik
Pada masa remaja, pertumbuhan fisik berlangsung sangat pesat. Dalam perkembangan seksualitas remaja, ditandai dengan dua ciri yaitu ciri-ciri seks primer dan ciri-ciri seks sekunder. Berikut ini adalah uraian lebih lanjut mengenai kedua hal tersebut :
2.2.3.1 Ciri-ciri seks primer
Dalam modul kesehatan reproduksi remaja (Depkes, 2002) disebutkan bahwa ciri-ciri seks primer pada remaja adalah :
(1) Remaja laki-laki
Remaja laki-laki sudah bisa melakukan fungsi reproduksi bila telah mengalami mimpi basah. Mimpi basah biasanya terjadi pada remaja laki-laki usia antara 10-15 tahun. Pada saat itu, testis mulai menghasilkan sperma. Bila sperma telah memenuhi kantung, maka akan dikeluarkan ketika tidur.
(2) Remaja perempuan
Jika remaja perempuan sudah mengalami menarche, maka remaja tersebut dikatakan sudah dapat melakukan fungsi reproduksi. Menstruasi pertama ini menandakan bahwa remaja sudah mempunyai kemampuan untuk hamil jika melakukan hubungan seksual. Menstruasi adalah peristiwa keluarnya cairan darah dari alat kelamin perempuan berupa luruhnya lapisan dinding dalam rahim yang banyak mengandung darah.
2.2.3.2 Ciri-ciri Seks Sekunder
Menurut Sarlito (2003), Ciri-ciri seks sekunder pada masa remaja adalah sebagai berikut :
2.2.3.2.1 Remaja Laki-laki
(1) Bahu melebar, pinggul menyempit
(2) Petumbuhan rambut disekitar alat kelamin, ketiak, dada, tangan, dan kaki
(3) Kulit menjadi lebih kasar dan tebal
(4) Produksi keringat menjadi lebih banyak
2.2.3.2.2 Remaja Perempuan
(1) Pinggul menjadi bertambah lebar dan bulat sebagai akibat membesarnya tulang pinggul dan berkembangnya lemak bawah perut
(2) Segera setelah pinggul mulai membesar, payudara juga berkembang. Puting susu membesar dan menonjol, dan berkembangnya kelenjar susu, payudara menjadi lebih besar dan lebih bulat
(3) Rambut kemaluan timbul setelah pinggul dan payudara mulai berkembang. Bulu ketiak dan bulu pada kulit wajah mulai tampak setelah haid. Semua rambut kecuali rembut wajah mula-mula lurus dan terang warnanya, kemudian menjadi lebih subur, lebih kasar, lebih gelap, dan agak keriting.
(4) Kulit menjadi lebih kasar, lebih tebal, agak pucat, dan lubang pori-pori bertambah besar
(5) Kelenjar lemak dan kelenjar keringat menjadi lebih aktif, sumbatan kelenjar lemak dapat menyebabkan jerawat. Kelenjar keringat di ketiak mengeluarkan banyak keringat dan baunya menusuk sebelum dan selama masa haid.
(6) Otot semakin besar dan semakin kuat, terutama pada pertengahan dan menjelang akhir masa puber, sehingga memberikan bentuk pada bahu, lengan, dan tungkai.
(7) Suara menjadi lebih penuh dan semakin merdu. Suara serak dan suara yang pecah terjadi pada anak perempuan.
2.2.4 Perkembangan Kognitif Remaja
Masa remaja adalah suatu periode kehidupan dimana kapasitas untuk memperoleh dan menggunakan pengetahuan secara efisien mencapai puncaknya (Mussen, dkk., 1969; dalam Desmita 2007). Ditinjau dari perspektif teori kognitif Piaget, maka pemikiran masa remaja telah mencapai tahap pemikiran operasional formal (formal operational thought), yakni suatu tahap perkembangan kognitif yang dimulai pada usia kira-kira 11 atau 12 tahun dan terus berlanjut sampai remaja mencapai masa tenang atau dewasa. Pada tahap ini remaja sudah dapat berpikir secara abstrak dan hipotesis. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal, remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2003). Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya. Namun, tidak semua remaja berpikir secara operasional formal sepenuhnya.
Sejumlah pakar perkembangan berpendapat bahwa tahap operasional formal terdiri dari dua tahap kecil yaitu awal dan akhir (Broughton, 1983; dalam Santrock, 2003). Pada cara berpikir operasional formal tahap awal (early formal operational thought), peningkatan kemampuan remaja untuk berpikir dengan menggunakan hipotesis membuat mereka mampu berpikir bebas dengan kemungkinan tak terbatas. Pada masa awal ini, cara berpikir operasional formal mengalahkan realitas dan telalu banyak terjadi asimilasi sehingga dunia dipersepsi secara terlalu subjektif dan idealistis. Pemikiran operasional formal ini tumbuh pada tahun-tahun masa remaja menengah (Santrock, 2003).
Cara berpikir operasional formal akhir (late formal operational thought) mengembalikan keseimbangan intelektual. Remaja pada tahap ini mengujikan hasil penalarannya pada realitas dan terjadi pemantapan cara berpikir operasional formal. Keseimbangan intelektual terjadi kembali sejalan dengan usaha remaja untuk mengakomodasi gejolak kognitif yang dialaminya. Pemikiran operasional formal ini akan tercapai sepenuhnya di akhir masa remaja.
Menurut Steinberg (2002) perubahan kognitif pada remaja juga berpengaruh dalam perubahan seksualitas alamiah remaja. Satu perbedaan nyata antara permainan seksual anak-anak dan aktifitas seksual remaja adalah bahwa anak-anak terutama tidak introspektif atau merefleksikan perilaku seksualnya. Seksualitas selama remaja adalah subjek yang kadang-kadang merupakan dugaan yang menyakitkan, membuat keputusan, berpikir hipotesis, dan perhatian tertuju pada kesadaran diri. Salah satu tugas utama remaja adalah untuk memahami bagaimana untuk berurusan dengan hasrat seksual dan bagaimana untuk menggabungkan kesuksesan dan ketepatan seksual kedalam hubungan sosial. Kebanyakan tugas ini adalah kognitif dan banyak darinya mungkin dibentuk dari pengembangan kemampuan intelektual yang mengambil tempat selama periode ini.
2.2.5 Perkembangan Kognisi Sosial Remaja
Menurut Dacey dan Kenny (1997), yang dimaksud dengan kognisi sosial adalah kemampuan untuk berpikir secara kritis mengenai isu-isu dalam hubungan interpersonal yang berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman, serta berguna untuk memahami orang lain dan menentukan bagaimana melakukan interaksi dengan mereka. Pada masa remaja muncul keterampilan-keterampilan kognitif baru, salah satunya munculnya kemampuan berpikir abstrak pada masa remaja. Kemampuan berpikir abstrak ini kemudian menyatu dengan pengalaman sosial sehingga pada gilirannya menghasilkan suatu perubahan besar dalam cara-cara remaja memahami diri mereka sendiri dan orang lain (Desmita, 2007).
Salah satu bagian penting dari perubahan perkembangan aspek kognisi sosial remaja ini adalah apa yang diistilahkan oleh psikolog Elkind dengan egosentrisme yakni kecenderungan remaja untuk menerima dunia (dan dirinya sendiri) dari perspektifnya sendiri. Egosentrisme remaja menggambarkan meningkatnya kesadaran diri remaja yang terwujud pada keyakinan mereka bahwa orang lain memiliki perhatian amat besar, sebesar perhatian mereka terhadap diri mereka, dan terhadap perasaan akan keunikan pribadi mereka (Santrock, 2003).
Menurut Elkind (1978) dalam Santrock (2003), egosentrisme remaja dapat dibagi atas dua jenis berpikir sosial yaitu penonton imajiner (imaginary audience) dan dongeng pribadi (personal fable). Penonton imajiner menggambarkan peningkatan kesadaran remaja yang tampil pada keyakinan mereka bahwa orang lain memiliki perhatian yang amat besar terhadap diri mereka, sebesar perhatian mereka sendiri. Gejala penonton imajiner mencakup berbagai perilaku untuk mendapatkan perhatian yaitu keinginan agar kehadirannya diperhatikan, disadari oleh orang lain dan menjadi pusat perhatian.
Dongeng pribadi adalah bagian egosentrisme remaja berkenaan dengan perasaan keunikan pribadi yang dimilikinya. Perasaan ini mendorong perilaku merusak diri (self-destructive) oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya (Papalia, dkk., 2001). Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin hamil karena perilaku seksual yang dilakukannya. Karakteristik ini dapat menyebabkan mereka percaya bahwa kehamilan atau penyakit tidak akan terjadi pada mereka, dan karenanya tindak kewaspadaan tidak diperlukan (Potter dan Perry, 2005). Remaja biasanya menganggap bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain, bukan pada dirinya. Hal ini diyakini merupakan penyebab perilaku beresiko yang dilakukan remaja (Papalia, dkk., 2001).
2.2.6 Tugas Perkembangan Remaja
Pada setiap tahapan perkembangan, manusia dituntut untuk mencapai suatu kemampuan tertentu atau yang disebut dengan tugas perkembangan. Tugas perkembangan berisi kemampuan-kemampuan yang harus dikuasai, agar seseorang dapat mengatasi permasalahan yang akan timbul dalam fase perkembangan tersebut. Penguasaan terhadap tugas perkembangan akan menentukan keberhasilan seseorang dalam setiap fase kehidupannya.
Havighurst (1972) dalam Hurlock (1998) mengidentifikasi tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan selama masa remaja, diantaranya :
(1) Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita
(2) Mencapai peran sosial pria dan wanita
(3) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif
(4) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa
(5) Mempersiapkan pernikahan dan berkeluarga
(6) Mempersiapkan karir ekonomi
(7) Memperoleh perangkat-perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi
2.3 Konsep Perilaku Seksual Pranikah
2.3.1 Definisi
Perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing (Mu’tadin, 2002). Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2003). Sedangkan menurut Irawati (1999), perilaku seksual merupakan perilaku yang didasari oleh dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku. Contohnya adalah berpegangan tangan, berpelukan, cium pipi, cium bibir, masturbasi, petting, bersenggama (sexual intercourse).
2.3.2 Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah
Menurut Hurlock (1973), terdapat bentuk-bentuk perilaku seksual yang biasa terjadi pada usia tertentu, yaitu :
2.3.2.1 Exploration
Merupakan salah satu bentuk perilaku seksual yang pertama-tama muncul dalam diri individu, yang didahului oleh keingintahuan individu terhadap masalah seksual dan dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Ada yang berbentuk murni intelektual, yang menggiring remaja bertanya atau membaca buku bila terdapat pertanyaan-pertanyaan yang takut ia utarakan. Atau juga dapat berbentuk manipulatif, dimana remaja menjelajahi organ-organ seksualnya sendiri atau orang lain. Biasanya bila remaja tidak puas untuk memenuhi perasaan ingin tahunya dengan pendekatan tidak langsung yang berbentuk intelektual, maka anak akan menggunakan pendekatan langsung yang berbentuk manipulatif. Adanya tekanan kelompok juga menyebabkan seseorang melakukan pendekatan secara langsung.
2.3.2.2 Masturbation
Masturbasi merupakan bentuk perilaku seksual dengan melakukan perangsangan organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual. Perilaku ini biasa memuncak pada saat individu mulai memasuki usia pubertas dan remaja, dimana terjadi perubahan pada tubuh individu. Masturbasi ini dilakukan sendiri-sendiri dan juga dilakukan secara mutual dengan teman sebaya sejenis kelamin, tetapi sebagian dari mereka juga melakukan masturbasi secara mutual dengan pacarnya.
Banyak remaja melakukan masturbasi dan kebanyakan memandang aktifitas ini dengan perasaan yang tercampur aduk. Meskipun 80% remaja laki-laki dan banyak remaja perempuan mengatakan mereka menyetujui masturbasi, tapi banyak diantaranya yang merasa gelisah dan bersalah apabila telah melakukan masturbasi. Kebanyakan remaja menganggap masturbasi adalah sesuatu yang buruk, dilakukan atau tidak, karena remaja belajar dari orang tua, sekolah, maupun dari kegiatan keagamaannya bahwa hal tersebut adalah tidak baik.
Remaja merasa bersalah jika melakukan masturbasi, atau memilih untuk tidak pernah mengenal masturbasi sama sekali (Dacey and Kenny, 1997). Akan tetapi banyak ahli yang menyatakan bahwa masturbasi itu tidak berbahaya dan percaya bahwa hal tersebut adalah normal, cara sehat bagi remaja untuk menyalurkan hasrat seksualnya (Dacey and Kenny, 1997). Berdasarkan hasil penelitian, tidak ada hubungan yang ditemukan antara melakukan masturbasi selama masa praremaja dan/atau masa remaja dengan penyesuaian seksual di masa dewasa (Santrock, 2003).
2.3.2.3 Homosexual Play
Homosexual play merupakan bentuk perilaku seksual yang dilakukan individu dengan orang lain yang berjenis kelamin sama dengannya. Bentuk perilaku seksual ini mendahului munculnya perasaan erotis terhadap lawan jenis (Hurlock, 1973).
Menurut Dacey dan Kenny (1997), aktifitas seksual dengan individu yang berjenis kelamin sama sering terjadi sebagai bagian dari eksplorasi seksual dari proses menjadi remaja. Timbulnya perasaan istimewa ini lebih kuat terjadi ketika remaja memasuki masa pubertas dan berkembangnya kebutuhan untuk mempercayai orang lain. Hal ini menyebabkan mereka lebih mempercayai teman sesama jenisnya untuk berbagi pengalaman dan adakalanya hal tersebut termasuk pengalaman seksual yang terbuka.
Identitas, ketertarikan, dan tingkah laku homoseksual meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Santrock, 2003). Remaja mungkin takut bahwa pengalaman ini mendefinisikan seksualitas total mereka (Potter and Perry, 2005). Tetapi apakah remaja ini nantinya memiliki orientasi homoseksual tidaklah diketahui. Karena tidaklah jarang bagi seorang individu, terutama laki-laki, untuk melakukan eksperimen homoseksual dimasa remaja, namun tidak melakukan tingkah laku homoseksual dimasa dewasa. Sementara beberapa individu melakukan tingkah laku heteroseksual dimasa remaja, namun kemudian melakukan tingkah laku homoseksual dimasa dewasa (Santrock, 2003)
Perilaku seksual berbeda dengan orientasi atau identitas seksual. Seorang homoseksual adalah orang yang menyukai interaksi seksual dan intim, hubungan interpersonal dengan individu yang berjenis kelamin sama (Buunk and Van Driel, 1989; dalam Dacey and Kenny, 1997). Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa orientasi seksual seseorang (apakah dirinya seorang homoseksual, heteroseksual, atau biseksual) berkembang secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak hingga dewasa (D’Augelli, 1988; dalam Dacey and Kenny, 1997).
2.3.2.4 Heterosexual play
Bentuk perilaku seksual ini meningkat pada saat anak perempuan dan laki-laki telah mencapai kematangan seksual, dimana dorongan seksual muncul pada individu serta mulai diarahkan pada lawan jenisnya. Heterosexual play biasa terjadi ketika remaja berpacaran.
Menurut Irawati (1999), perilaku seksual pranikah yang dilakukan remaja ketika berpacaran terdiri dari beberapa tahap yang bisa dilakukan mulai dari tahap perilaku seksual pranikah yang beresiko rendah hingga perilaku seksual pranikah yang beresiko tinggi. Tahap-tahap perilaku seksual pranikah tersebut adalah :
(1) Berpegangan tangan
Perilaku seksual ini biasanya dapat menimbulkan keinginan untuk mencoba aktivitas seksual lainnya (hingga kepuasan seksual individu dapat tercapai). Umumnya jika individu berpegangan tangan maka muncul getaran-getaran romantis atau perasaan-perasaan aman dan nyaman.
(2) Berpelukan
Perilaku seksual berpelukan akan membuat jantung berdegup lebih cepat dan menimbulkan rangsangan seksual (terutama mengenai daerah erogenous) pada individu. Disamping itu berpelukan juga dapat menimbulkan perasaan aman, nyaman dan tenang.
(3) Cium kering
Perilaku seksual cium kering berupa sentuhan pipi dengan pipi dan pipi dengan bibir. Dampak dari cium pipi bisa mengakibatkan imajinasi atau fantasi seksual menjadi berkembang disamping menimbulkan perasaan sayang jika diberikan pada moment tertentu dan bersifat sekilas. Selain itu juga dapat menimbulkan keinginan untuk melanjutkan ke bentuk aktifitas seksual lainnya yang lebih dapat dinikmati.
(4) Cium basah
Aktifitas seksual cium basah berupa sentuhan bibir. Dampak dari aktifitas seksual cium bibir dapat menimbulkan sensasi seksual yang kuat yang membangkitkan dorongan seksual hingga tidak terkendali. Selain itu juga dapat memudahkan penularan penyakit yang ditularkan melalui mulut, misal TBC. Apabila dilakukan secara terus menerus akan menimbulkan ketagihan (perasaan ingin mengulangi perbuatan tersebut).
(5) Meraba bagian tubuh yang sensitif
Merupakan suatu kegiatan meraba atau memegang bagian sensitif (payudara, vagina, penis). Dampak tersentuhnya bagian paling sensitif tersebut akan menimbulkan rangsangan seksual sehingga melemahkan kontrol diri dan akal sehat akibatnya bisa melakukan aktifitas seksual selanjutnya seperti cumbuan berat dan intercourse.
(6) Petting
Merupakan keseluruhan aktifitas seksual non intercourse (hingga menempelkan alat kelamin) dampak dari petting yaitu timbulnya ketagihan dan lebih jauhnya adalah kehamilan karena cairan pertama yang keluar pada saat terangsang pada laki-laki sudah mengandung sperma (meski dalam kadar terbatas), sehingga resiko terkenanya PMS/HIV cukup tinggi, apalagi jika berlanjut ke intercourse. Secara psikologis menimbulkan perasaan cemas dan bersalah dengan adanya sangsi moral atau agama. Bagi laki-laki mungkin dapat memuaskan kebutuhan seksual sedangkan bagi wanita bisa menyebabkan rusaknya selaput dara.
(7) Oral seksual
Oral seksual pada laki-laki adalah ketika seseorang menggunakan bibirnya, mulut dan lidah pada penis dan sekitarnya, sedangkan pada wanita melibatkan bagian di sekitar vulva yaitu labia, klitoris dan bagian dalam vagina. Oral seksual tidak menyebabkan kehamilan namun merupakan perilaku seksual dengan resiko penularan PMS tinggi.
(8) Sexual intercourse atau bersenggama
Merupakan aktifitas seksual dengan memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan. Dampak dari hubungan seksual yang dilakukan sebelum saatnya yaitu perasaan bersalah dan berdosa terutama pada saat pertama kali, ketagihan, kehamilan sehingga terpaksa menikah atau aborsi, kematian dan kemandulan akibat aborsi, resiko terkena PMS atau HIV, sangsi sosial, agama serta moral, hilangnya keperawanan dan keperjakaan, merusak masa depan (terpaksa drop out sekolah), merusak nama baik pribadi dan keluarga.
2.3.2.5 Aggressive Sex Play
Bentuk perilaku seksual ini biasanya dilakukan oleh remaja laki-laki yang memaksa teman wanitanya untuk bermain seks. Biasanya dilakukan ketika remaja laki-laki tersebut mabuk atau ketika mereka berkencan dengan remaja perempuan yang usianya lebih muda dari dirinya sendiri. Hal ini menyebabkan kaum feminis percaya bahwa laki-laki disosialisasikan untuk menjadi agresif secara seksual, percaya bahwa perempuan adalah makhluk yang inferior dan memandang kesenangan mereka sendiri sebagai tujuan yang paling penting. Para peneliti telah menemukan karakteristik berikut ini pada para pelaku perilaku seksual yang dipaksakan yaitu agresi meningkatkan perasaan berkuasa atau maskulinitas pada diri si pelaku, pelaku merasa marah kepada kaum perempuan secara umum, dan mereka ingin melukai korbannya.
Banyak anak perempuan yang berusaha menghindari permainan seks dengan paksaan. Akan tetapi pada sebuah penelitian ditemukan bahwa hampir dua pertiga remaja laki-laki mengakui bahwa mereka menuruti keinginan teman perempuannya walaupun hal itu bertentangan dengan keinginannya, sementara setengahnya mengakui memaksakan aktifitas seksual.
Perhatian yang lebih juga diberikan kepada perilaku seksual dengan paksaan dalam hubungan kencan atau dengan kenalan, dimana aktivitas seksual yang dipaksakan ditujukan kepada seseorang yang paling tidak telah dikenal oleh individu secara sambil lalu. Perilaku seksual dengan paksaan dalam hubungan kencan adalah masalah yang semakin meningkat di lingkungan remaja (Clark, dkk., 1992; dalam Santrock, 2003).
2.3.3 Perkembangan Perilaku Seksual Remaja
Perkembangan fisik termasuk organ seksual yaitu terjadinya kematangan serta peningkatan kadar hormon reproduksi atau hormon seks baik pada laki-laki maupun pada perempuan yang akan menyebabkan perubahan perilaku seksual remaja secara keseluruhan.
Pada kehidupan psikologis remaja, perkembangan organ seksual mempunyai pengaruh kuat dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Terjadinya peningkatan perhatian remaja terhadap lawan jenis sangat dipengaruhi oleh faktor perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas. Remaja menjadi amat memperhatikan tubuh mereka dan membangun citranya sendiri mengenai bagaimana tubuh mereka tampaknya (Santrock, 2003). Remaja perempuan lebih memperlihatkan bentuk tubuh yang menarik bagi remaja laki-laki, demikian pula remaja pria tubuhnya menjadi lebih kekar yang menarik bagi remaja perempuan. Jadi mereka saling tertarik terutama karena fisik, khususnya sifat-sifat jenisnya atau sex appeal (Rumini dan Sundari, 2004).
Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan yang lebih matang dengan lawan jenis. Dengan matangnya fungsi-fungsi seksual maka timbul pula dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan untuk pemuasan seksual. Sebagian besar dari remaja biasanya sudah mengembangkan perilaku seksualnya dengan lawan jenis dalam bentuk pacaran atau percintaan. Bila ada kesempatan para remaja melakukan sentuhan fisik, mengadakan pertemuan untuk bercumbu bahkan kadang-kadang remaja tersebut mencari kesempatan untuk melakukan hubungan seksual (Pangkahila dalam Soetjiningsih, 2004). Meskipun fungsi seksual remaja perempuan lebih cepat matang dari pada remaja laki-laki, tetapi pada perkembangannya remaja laki-laki lebih aktif secara seksual dari pada remaja perempuan. Banyak ahli berpendapat hal ini dikarenakan adanya perbedaan sosialisasi seksual antara remaja perempuan dan remaja laki-laki.
Remaja masa kini menganggap bahwa ungkapan-ungkapan cinta apapun bentuknya adalah baik sejauh kedua pasangan remaja saling tertarik. Bahkan hubungan seks sebelum menikah dianggap ”benar” apabila orang-orang yang terlibat saling mencintai ataupun saling terikat. Mereka sering merasionalisasikan tingkah laku seksual mereka dengan mengatakan pada diri mereka sendiri bahwa mereka terhanyut cinta. Sejumlah peneliti menemukan bahwa remaja perempuan, lebih dari pada remaja laki-laki, mengatakan bahwa alasan utama mereka aktif secara seksual adalah karena jatuh cinta (Cassell, 1984; dalam Santrock, 2003). Dilain pihak, kalau hubungan seks tanpa diserta cinta, laki-laki memaksa perempuan melakukan hubungan seks diluar kehendaknya atau bila perempuan menggunakan hubungan seks sebagai cara untuk memaksa laki-laki menikahinya maka remaja menganggap perbuatan itu ”salah” (Hurlock, 1998).
2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah Remaja
Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja yang dikemukakan oleh Sarwono (2003) :
2.3.4.1 Perubahan Hormonal
Terjadinya perubahan-perubahan hormonal seperti peningkatan hormon tersosteron pada laki-laki dan estrogen pada perempuan, dapat meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.
2.3.4.2 Penundaan Usia Perkawinan
Penyaluran hasrat seksual itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia menikah (sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki), maupun karena norma sosial yang makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lain).
2.3.4.3 Norma-Norma di Masyarakat
Norma-norma agama tetap berlaku dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah, bahkan larangannya berkembang lebih jauh kepada tingkah-tingkah laku yang lain seperti berciuman dan masturbasi. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut.
Norma budaya dalam perilaku seksual pranikah adalah tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Norma ini tercermin dalam bentuk keinginan untuk mempertahankan kegadisan seorang wanita sebelum menikah. Kegadisan pada wanita seringkali dilambangkan sebagai “mahkota” atau “harta yang paling berharga” atau “tanda kesucian” atau “tanda kesetiaan pada suami”. Hilangnya kegadisan bisa berakibat depresi pada wanita yang bersangkutan, walaupun tidak membawa akibat-akibat lain seperti kehamilan atau penyakit kelamin.
2.3.4.4 Penyebaran Informasi Melalui Media Massa
Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya teknologi canggih (video casette, foto copy, satelite palapa, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa, khususnya karena mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya.
2.3.4.5 Tabu-Larangan
Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, tidak terbuka terhadap anak sehingga cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah seksual ini.
2.3.4.6 Pergaulan yang Makin Bebas
Adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan perempuan makin sejajar dengan laki-laki.
2.3.5 Dampak Perilaku Seksual Pranikah
Perilaku seksual pranikah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada remaja, diantaranya sebagai berikut :
2.3.5.1 Dampak Fisiologis
Dampak fisiologis dari perilaku seksual pranikah diantaranya kehamilan tidak diinginkan, aborsi, resiko terkena penyakit menular seksual (PMS) dan resiko tertular HIV/AIDS jika remaja melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan.
2.3.5.1.1 Kehamilan yang tidak diinginkan
Kehamilan pada remaja meningkatkan resiko kesehatan bagi ibu dan anaknya. Salah satu faktor yang penting dalam kehamilan adalah umur ibu waktu hamil. Usia remaja (dibawah 20 tahun) dianggap sangat berbahaya untuk kehamilan sebab secara fisik tubuh ibu sendiri masih dalam pertumbuhan, organ-organ reproduksi masih belum matang (immature). Sedangkan persalinan remaja perempuan yang berusia kurang dari 18 tahun mempunyai 2 sampai 5 kali risiko kematian (maternal mortality) dibandingkan dengan wanita yang telah berusia 18-25 tahun, sehingga ibu yang berusia remaja umumnya belum siap untuk hamil apalagi melahirkan (Kilbourne-Brook, 2000). Selain itu secara mental psikologis remaja dianggap masih belum cukup matang dan dewasa untuk menghadapi kehamilan dan kelahiran. Remaja yang hamil biasanya menderita anemia dan komplikasi yang berhubungan dengan ketidakmatangan organ-organ reproduksi.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu remaja cenderung memiliki berat badan lebih rendah (kurang dari 5,5 pon), faktor yang paling menonjol dalam kematian bayi, demikian pula halnya dengan masalah neurologis dan penyakit anak-anak (Dryfoos, 1990; Schorr, 1989; dalam Santrock, 2003). Bayi yang berhasil melewati bahaya medis karena memiliki ibu yang masih remaja, belum tentu dapat melalui bahaya psikologis dan sosial (Brooks-Gunn, dkk., 1995; dalam Steinberg, 2002).
Selain itu, banyak ayah remaja yang tidak memiliki hubungan yang dekat dengan anaknya dan dengan ibu remaja. Ayah remaja memiliki pendapatan yang lebih rendah, lebih tidak berpendidikan, dan memiliki lebih banyak anak, daripada mereka yang menunda punya anak sampai umur dua puluhan (Santrock, 2003).
2.3.5.1.2 Aborsi
Tidak sedikit remaja yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan mengambil jalan pintas dengan melakukan aborsi, padahal aborsi sangat berbahaya, diantaranya :
(1) Infeksi alat reproduksi karena melakukan kuretase yang dilakukan secara tidak steril. Hal ini dapat membuat remaja mengalami kemandulan di kemudian hari setelah menikah.
(2) Perdarahan, sehingga remaja dapat mengalami shock akibat perdarahan dan gangguan neurologis. Selain itu, perdarahan juga dapat mengakibatkan kematian ibu maupun anak atau keduanya.
(3) Resiko terjadinya rupture uterus atau robeknya rahim lebih besar, juga menipisnya dinding rahim akibat kuretase. Kemandulan oleh karena robeknya rahim, resiko infeksi, resiko shock, sampai resiko kematian ibu dan anak yang dikandungnya.
(4) Terjadinya fistula genitalia traumatis, suatu saluran atau hubungan antara genital dan saluran kencing atau saluran pencernaan yang secara normal tidak ada.
2.3.5.1.3 Penyakit menular seksual
Merupakan infeksi atau penyakit yang kebanyakan ditularkan melalui hubungan seksual. PMS berbahaya karena dapat menimbulkan kemandulan, menyebabkan keguguran, kanker leher rahim, merusak penglihatan, merusak otak dan hati, dapat menular pada bayi, dapat menyebabkan seseorang rentan terhadap HIV/AIDS, serta beberapa PMS ada yang tidak bisa disembuhkan. Beberapa penyakit menular seksual diantaranya adalah Gonnorhea, Sifilis, Chlamydia, dan Herpes genitalis (Santrock, 2003).
2.3.5.1.4 HIV/AIDS
AIDS adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome (sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh). AIDS disebabkan oleh adanya virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) didalam tubuh. Virus HIV ini hidup didalam 4 cairan tubuh manusia yaitu cairan darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu. Kebanyakan remaja yang terinfeksi HIV tidak akan sakit sampai mereka dewasa karena waktu laten yang terjadi sejak terinfeksi untuk pertama kalinya sampai munculnya penyakit berkisar antara 5 sampai 7 tahun (Ahlstrom, dkk., 1992; dalam Santrock, 2003).
2.3.5.2 Dampak Sosio-Psikologis
Menurut Sarwono (2003) dampak psikologis dari perilaku seksual pranikah diantaranya perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa. Dampak sosial dari perilaku seksual pranikah diantaranya dikucilkan, cemoohan masyarakat, putus sekolah pada remaja perempuan yang hamil, dan perubahan peran menjadi ibu.
2.3.6 Pendidikan Kesehatan Reproduksi untuk Remaja
Pendidikan kesehatan reproduksi bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi pada remaja dalam hal yang wajar. Secara umum pendidikan kesehatan reproduksi remaja adalah suatu informasi mengenai persoalan kesehatan reproduksi remaja yang jelas dan benar, yang meliputi pubertas, perilaku remaja, gizi seimbang bagi remaja, alat-alat reproduksi perempuan dan laki-laki, perilaku seksual remaja, kehamilan, perilaku seksual beresiko, PMS dan HIV/AIDS, serta pentingnya kebersihan dan kesehatan pribadi bagi remaja. Masalah pendidikan kesehatan reproduksi yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku dimasyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan, apa dampaknya bila dilakukan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Tujuan dari pendidikan kesehatan reproduksi adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba, tetapi untuk menyiapkan remaja agar tahu tentang kesehatan reproduksinya dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material seseorang.
Menurut Gunarsa (1991) dalam Sarlito (2001) mengatakan bahwa penyampaian materi pendidikan kesehatan reproduksi remaja ini seharusnya diberikan sejak dini dan idealnya diberikan pertama kali oleh orang tua di rumah.
2.4 Peran Perawat
Perawat memiliki berbagai peran dan fungsi. Menurut Kusnanto (2004), peran perawat diantaranya ialah peran pelaksana yaitu bertindak sebagai comforter, protector, advocat, communicator, serta rehabilitator; peran sebagai pendidik, peran ini dapat berupa penyuluhan kesehatan kepada klien (individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat); peran sebagai pengelola yaitu memantau dan menjamin kualitas asuhan/ pelayanan keperawatan serta mengorganisasi dan mengendalikan sistem pelayanan keperawatan; dan peran sebagai peneliti yaitu mampu mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metode penelitian serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau pelayanan dan pendidikan keperawatan.
Pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja ini akan melibatkan peran perawat sebagai penyuluh. Perawat menjelaskan kepada klien konsep dan data-data tentang kesehatan reproduksi, mendemonstrasikan prosedur aktivitas merawat diri, menilai apakah klien memahami hal-hal yang dijelaskan dan mengevaluasi kemajuan dalam pembelajaran (Potter dan Perry, 2005).
2.4.1 Proses Keperawatan
Penerapan proses keperawatan meliputi pengkajian menyeluruh, perencanaan yang cermat, strategi implementasi yang tepat dan evaluasi berkesinambungan terhadap klien dengan masalah psikoseksual sangat penting, karena proses keperawatan memberikan kerangka kerja untuk menyusun, mengimplementasikan, dan mengevaluasi strategi keperawatan yang diawali dengan pengkajian (Hamid, 1999).
2.4.1.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi, dan komunikasi data tentang klien. Fase proses keperawatan ini mencakup dua langkah : pengumpulan data dari sumber primer (klien) dan sumber sekunder (keluarga, tenaga kesehatan), dan analisis data sebagai dasar untuk diagnosa keperawatan. Tujuan dari pengkajian adalah menetapkan dasar data tentang kebutuhan, masalah kesehatan, pengalaman yang berkaitan, praktik kesehatan, tujuan, nilai, dan gaya hidup yang dilakukan klien (Potter dan Perry, 2005).
Banyak perawat merasa tidak nyaman membicarakan tentang seksualitas dengan klien, tetapi mereka dapat mengurangi rasa ketidaknyamanan dengan menggunakan beberapa metode. Pertama, mereka dapat membangun dasar pengetahuan dan pemahaman yang wajar tentang dimensi seksualitas sehat dan area yang paling umum dari perubahan atau disfungsi seksual. Kedua, perawat dapat mengkaji tingkat kenyamanan dan keterbatasan mereka sendiri dalam mendiskusikan seksualitas dan fungsi seksual (Potter dan Perry, 2005).
Data yang dikumpulkan mencakup semua aspek kehidupan remaja baik pada maa lalu maupun sekarang yang diperoleh dari remaja itu sendiri, keluarganya, atau orang lain. Permasalahan yang biasanya dihadapi oleh remaja berkaitan dengan citra diri, identitas diri, kemandirian, seksualitas, peran sosial dan perilaku seksual yang menimbulkan perilaku adaptif dan maladaptif.
2.4.1.2 Perencanaan dan Implementasi
Perencanaan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuan yang terpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut dengan menentukan pula prioritas. Selain berkolaborasi dengan klien dan keluarganya, perawat berkonsultasi dengan anggota tim kesehatan lainnya, menelaah literature yang berkaitan, modifikasi asuhan, dan mencatat informasi yang relevan tentang kebutuhan perawatan kesehatan klien dan penatalaksanaan klinik (Potter dan Perry, 2005).
Pendidikan merupakan suatu metode pencegahan primer yang biasa dilakukan terhadap klien dengan masalah seksual. Tujuan umum adalah mempertahankan hubungan profesional antara perawat-klien yang akan memungkinkan perawat untuk memberikan asuhan keperawatan yang terapeutik. Sebelum melakukan pendidikan atau konseling kesehatan, perawat perlu meninjau nilai dan keyakinan dirinya sendiri dengan perilaku seksual pasien yang mungkin berbeda (Hamid, 1999).
Untuk mencegah kesan remaja bahwa perawat memihak kepada orang tuanya, maka sangat perlu diperhatikan perawat untuk melakukan kontak awal langsung dengan remaja. Pengetahuan perawat tentang perkembangan normal yang dialami remaja sangat diperlukan untuk dapat membedakan perilaku adaptif dan yang maladaptif. Mengindentifikasi respon maladaptif dan menentukan masalah berdasarkan perilaku remaja merupakan langkah pertama dalam merencanakan asuhan keperawatan. Perawat kemudian menentukan tujuan jangka pendek berdasarkan respon maladaptif dengan memperhatikan kekuatan yang dimiliki remaja, begitu pula dengan tujuan jangka panjang.
Tinjauan terhadap rencana asuhan keperawatan perlu dilakukan secara berkala untuk memperbaharui situasi, catatan perkembangan dan mempertimbangkan masalah baru. Sangat penting untuk mengkaji dan mengevaluasi proses keperawatan pada remaja. Implementasi kegiatan perawat meliputi : pendidikan pada remaja dan orang tua, terapi keluarga, terapi kelompok, dan terapi individu.
2.4.1.3 Evaluasi
Dibandingkan kelompok usia lainnya, masalah remaja lebih sering dihadapi oleh perawat. Perawat harus waspada untuk tidak memihak baik pada remaja maupun orang tua. Perawat perlu memahami perilaku seksual remaja serta konflik yang dialami oleh remaja sehingga orang tua, guru dan masyarakat akan lebih suportif dalam menghadapi mereka, bahkan dapat membantu mengembangkan fungsi mandiri remaja.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Metode penelitian deskriptif digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang (Notoadmodjo, 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah di SMA Kartika Siliwangi I Bandung.
3.2 Variabel dan Sub Variabel Penelitian
3.2.1 Variabel Penelitian
Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2002). Definisi lain mengatakan bahwa variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu (Notoadmodjo, 2005).
Variabel dalam penelitian ini merupakan variabel tunggal yakni persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah di SMA Kartika Siliwangi I Bandung.
3.2.2 Sub Variabel Penelitian
Sub variabel dalam penelitian ini adalah perilaku seksual pranikah yang meliputi : eksplorasi, masturbasi, homosexual play, heterosexual play, dan aggressive sex play.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2006 : 90). Jadi, populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang mempunyai kaitan dengan masalah yang diteliti. Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah seluruh remaja dengan rentang usia antara 15-18 tahun, kelas X – XI yang masih bersekolah di SMA Kartika Siliwangi I Bandung. Jumlah populasi yang diambil dari SMA tersebut sekitar 860 orang siswa yang duduk di kelas X sebanyak 420 orang dan di kelas XI sebanyak 440 orang.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2006 : 91). Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan stratified random sampling yaitu teknik yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel bila populasinya berstrata (Sugiyono, 2006). Dalam teknik ini populasi dibagi dalam 2 kelompok yang homogen (strata), kemudian anggota sampel ditarik dari setiap strata (Nazir, 1999 : 332). Pada penelitian ini terdapat 2 strata sampel, yaitu strata I merupakan remaja SMA kelas X dan strata II merupakan remaja SMA kelas XI.
Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa untuk populasi kecil atau lebih kecil dari 10.000, dapat menggunakan formula sebagai berikut :
Keterangan :
N = besar populasi
n = besar sampel
d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang dinginkan
Kemudian dicari pengambilan sampel berstrata dengan rumus :
(Al Rasyid, 1994 : 80)
Keterangan :
ni = jumlah sampel menurut stratum
n = jumlah sampel seluruhnya
Ni = jumlah populasi menurut stratum
N = jumlah populasi seluruhnya
Hasil perhitungan dengan memakai tingkat kepercayaan yang diinginkan sebesar 0,0812 adalah sebagai berikut :
Sampel kelas X : 420/860x129= 63
Sampel kelas XI : 440/860x129= 66
Jadi jumlah sampel seluruhnya = 63+66 = 129 orang.
Penentuan unit-unit sampel dilakukan dengan cara membangkitkan angka-angka acak sejumlah 129 angka acak yang dilakukan dua kali berdasarkan strata, dengan menggunakan bantuan software Microsoft Exel 2007. Pembangkitan angka acak yang pertama untuk menentukan sampel dengan strata kelas X, maka dibangkitkan angka-angka acak sejumlah 63 angka acak yang berkisar dari 1 sampai dengan 420. Selanjutnya, pengambilan angka acak untuk yang kedua menggunakan cara yang sama dengan pengambilan angka acak yang pertama. Sehingga didapatkan 129 angka acak yang digunakan untuk pengambilan unit-unit sampel itu.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang relevan dengan masalah yang diteliti, maka diperlukan alat pengumpulan data atau instrumen yang tepat. Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2006).
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang diketahui (Arikunto, 2002). Kuesioner yang digunakan untuk penelitian dibuat sendiri oleh peneliti dan sebelum digunakan untuk penelitian akan dilakukan uji coba terlebih dahulu melalui uji validitas dan uji reliabilitas instrumen.
Skala pengukuran yang digunakan adalah rating scale. Yang terdiri dari lima kategori jawaban yaitu: sangat setuju (SS), setuju (ST), ragu-ragu (RG), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Responden diminta untuk membubuhkan tanda check list (?) pada kolom yang sesuai. Pengumpulan data pada saat penelitian dilakukan dengan menyebarkan angket kepada responden dan menjelaskan petunjuk pengisian kuesioner. Kemudian kuesioner yang telah diisi dikumpulkan dan dicek kelengkapannya oleh peneliti untuk diolah dan dianalisis.
3.5 Uji Coba Instrumen
Proses uji coba terhadap instrumen dimaksudkan untuk memperoleh kesesuaian pertanyaan yang terdapat pada alat ukur dalam menunjang kriteria yang diharapkan dalam penelitian ini.
Uji coba dilakukan sebelum penelitian dengan menyebarkan instrumen yang diuji coba kepada 20 siswa SMKN I Bandung dan 20 siswa SMA Kartika Siliwangi III Bandung dengan kriteria yang sama dengan responden pada penelitian sebenarnya. Masing–masing responden kemudian diminta untuk mengisi angket penelitian. Hasil jawaban responden ini disajikan pada bagian lampiran.
3.5.1 Uji Validitas
Validitas adalah suatu alat ukur yang menunjukan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 2002). Uji instrumen dilakukan untuk memperoleh kesesuaian pernyataan yang terdapat pada alat ukur dalam menunjang kriteria yang terdapat pada alat ukur dalam menunjang kriteria yang diharapkan penguji.
Pada penelitian ini, untuk pengujian validitas pada instrument digunakan rumus korelasi product moment, dengan rumus sebagai berikut :
(Arikunto, 2002)
Keterangan :
= Korelasi
n = Jumlah responden
X = Skor per item dalam variabel
Y = Skor total item dalam variabel
Jika r positif, serta r > 0.30 maka item pertanyaan tersebut valid. Jika r negatif, serta r < 0.30 maka item pertanyaan tersebut tidak valid.
Uji validitas dilakukan kepada 20 orang siswa SMKN I Bandung pada tanggal 19 Juni 2008. Untuk memperoleh alat ukur yang baik, maka pertanyaan (item) yang tidak valid harus diperbaiki atau dibuang (Sugiyono, 2006). Hasil uji validitas didapatkan 3 butir pernyataan yang tidak valid dari 28 butir pernyataan, dengan nilai validitas terendah 0.212 dan tertinggi 0.817. Selanjutnya butir pernyataan yang tidak valid dikonsultasikan dengan pembimbing dan diperbaiki. Setelah itu dilakukan uji validitas ulang di SMA Kartika Siliwangi III Bandung pada tanggal 21 Juni 2008. Hasil dari uji validitas tersebut didapatkan semua item valid.
3.5.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Apabila datanya memang benar sesuai dengan kenyataan, maka berapa kali pun diambil akan tetap sama. Reabilitas menunjuk pada tingkat keterandalan sesuatu. Reliabel artinya dapat dipercaya, jadi dapat diandalkan (Arikunto, 2002).
Oleh karena instrumen yang dirancang tidak menggunakan pembobotan skala dikotomi (1 dan 0) maka teknik pengujian reliabilitas yang cocok adalah dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach (Arikunto, 2002 : 171). Metode Alpha ini merupakan metode mencari reliabilitas internal, yaitu menganalisis reliabilitas alat ukur dari satu kali pengukuran, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
dimana
dan
Keterangan:
r11 = reliabilitas instrumen
k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
= jumlah varians butir
= varians total
n = jumlah responden
xb = skor tiap butir
xt = skor total
Penghitungan menggunakan software SPSS 15. Sekumpulan pernyataan dikatakan reliabel jika koefisien reliabilitasnya lebih dari atau sama dengan 0, 700. Dasar pengambilan keputusan:
? Jika r Alpha positif, serta r > 0,700 maka faktor atau variabel tersebut reliabel.
? Jika r Alpha tidak positif, serta r < 0,700 maka faktor atau variabel tersebut tidak reliabel (Kaplan and Saccuzo, 1993).
Hasil uji reliabilitas menunjukkan semua butir pernyataan reliabel, dengan nilai reliabilitas 0,954.
3.6 Pengolahan dan Analisa Data
3.6.1 Editing
Pada tahap ini peneliti melakukan pengecekan terhadap data-data yang ada, terutama dalam kelengkapan data yang dikumpulkan melalui kuesioner.
3.6.2 Koding
Mengkonversi (menerjemahkan) jawaban-jawaban yang terkumpul dari responden ke dalam kategori-kategori dengan cara memberi kode/tanda berbentuk angka pada masing-masing jawaban sehingga lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan untuk keperluan analisis.
3.6.3 Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif, dengan menggunakan rating scale dimana untuk pernyataan yang bersifat favourable antara lain : sangat setuju (SS) diberi skor 5, setuju (ST) diberi skor 4, ragu-ragu (RG) diberi skor 3, tidak setuju (TS) diberi skor 2 dan sangat tidak setuju (STS) diberi skor 1. Sedangkan untuk pernyataan yang bersifat unfavourable : sangat tidak setuju (STS) diberi skor 5, tidak setuju (TS) diberi skor 4, ragu-ragu (RG) diberi skor 3, setuju (ST) diberi skor 2, dan sangat setuju (SS) diberi skor 1.
Karena instrumen yang digunakan menggunakan rating scale, maka untuk mengetahui persepsi responden yang termasuk ke dalam kategori favorable atau unfavourable digunakan teknik median dengan rumusan sebagai berikut :
(Azwar, 2003)
Persepsi responden yang dimaksudkan di atas dikategorikan ke dalam kategori favorable atau unfavourable dengan kriteria sebagai berikut :
Persepsi responden dikatakan favorable apabila skor total responden ? median.
Persepsi responden dikatakan unfavorable apabila skor total responden < median.
Selanjutnya setiap kategori dihitung nilai prosentasenya, dengan rumus :
P = X 100%
(Arikunto, 2002)
Keterangan :
P = presentase kategori
f = jumlah responden yang masuk kategori
N = jumlah responden keseluruhan
3.7 Prosedur Penelitian
3.7.1 Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan penyusunan proposal penelitian, peneliti terlebih dahulu menentukan topik penelitian. Kemudian peneliti melakukan pendekatan untuk melakukan studi pendahuluan di instansi terkait, yaitu SMA Kartika Siliwangi I Bandung. Setelah merumuskan masalah penelitian, peneliti melakukan studi kepustakaan di perpustakaan Fakultas Ilmu Keperawatan, Fakultas Psikologi, dan perpustakaan pasca sarjana Unpad, pusat sumber daya informasi ilmiah dan perpustakaan Unpad (Cisral), serta dari internet. Tahap selanjutnya adalah menyusun proposal penelitian yang dilanjutkan dengan seminar proposal penelitian. Kemudian peneliti melakukan perbaikan hasil penelitian berdasarkan masukan dan saran pada saat seminar. Setelah itu peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen. Lalu setelah semua item valid dan reliabel, peneliti mempersiapkan alat penelitian dan surat perizinan.
3.7.2 Tahap Pelaksanan
Pada tahap pelaksanaan, peneliti terlebih dahulu mengajukan surat izin penelitian pada pihak SMA Kartika Siliwangi I Bandung. Setelah mendapat izin penelitian, baru peneliti melakukan penelitian. Kemudian pada saat penelitian, responden yang menjadi sampel penelitian dikumpulkan dalam beberapa ruangan. Responden diberi penjelasan mengenai tujuan penelitian dan cara pengisian angket. Sebelum membagikan kuesioner penelitian, peneliti melakukan inform consent terlebih dahulu, kemudian membagikan kuesioner kepada responden yang bersedia. Setelah itu, peneliti mengumpulkan kuesioner yang telah diisi oleh responden dan mengecek kelengkapannya. Jika sudah lengkap, baru peneliti melakukan pengolahan dan analisis data.
3.7.3 Tahap Akhir
Pada tahap akhir penelitian, peneliti menyusun laporan hasil penelitian. Lalu peneliti melakukan sidang untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitian.
3.8 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian di SMA Kartika Siliwangi I Bandung. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juli 2008 dan pengambilan data dilakukan pada tanggal 27-28 Juni 2008.
3.9 Etika Penelitian
3.9.1 Informed Consent
Lembar persetujuan (Informed Consent) penelitian diberikan kepada responden dengan tujuan agar subjek mengetahui maksud dan tujuan peneliti. Jika subjek tidak bersedia untuk diteliti maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati haknya.
3.9.2 Anonimity (Tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden maka peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar angket.
3.9.3 Confidentiality
Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan disajikan data hasil penelitian terhadap 129 remaja di SMA Kartika Siliwangi I Bandung yang diperoleh untuk mengetahui gambaran persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah di SMA Kartika Siliwangi I Bandung.
Data penelitian mengenai persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah ini diperoleh dengan menyebarkan instrumen penelitian yang berupa angket tertutup. Angket tertutup ini berisikan pernyataan-pernyataan yang hendak dimintai pendapat responden mengenai hal tersebut.
Penyajian data hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase baik secara umum (variabel) maupun secara khusus (masing-masing subvariabel). Berikut ini dijelaskan hasil dan pembahasan penelitian berdasarkan data yang telah diperoleh.
4.1 Karakteristik Responden
Dalam tabel 4.1 akan disajikan karakteristik responden yang berhubungan dengan persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah. Karakteristik tersebut meliputi usia, jenis kelamin, dan keterangan pernah berpacaran..
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik
Karakteristik Frekuensi Persentase Total
Usia 15 24 18,61% 100%
16 58 44,96%
17 46 35,66%
18 1 0,77%
Jenis Kelamin Laki-laki 55 42,64% 100%
Perempuan 74 57,36%
Pernah Berpacaran Ya 112 86,82% 100%
Tidak 17 13,18%
Hasil analisa data dari 129 orang responden di SMA Kartika Siliwangi I Bandung diketahui responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 55 orang (42,64%) dan perempuan 74 orang (57,36%) sedangkan distribusi frekuensi usia responden bervariasi dimulai dari 15 – 18 tahun, dan proporsi yang terbanyak adalah usia 16 tahun sejumlah 58 orang (44,96%). Selain itu, sebagian besar responden atau sebanyak 112 orang (86,82%) pernah berpacaran.
4.2 Hasil Penelitian Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah di SMA Kartika Siliwangi I Bandung
Untuk mengetahui gambaran persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah di SMA Kartika Siliwangi I Bandung, berikut ini diperlihatkan tabel distribusi frekuensi yang menunjukkan frekuensi dan persentase dari persepsi remaja yang termasuk mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable) terhadap perilaku seksual pranikah.
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah
Persepsi Remaja Frekuensi Persentase
Favorable 52 40,31%
Unfavorable 77 59,69%
Jumlah 129 100,0%
Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa dari 129 remaja yang diteliti, sebanyak 40,31% responden mempunyai persepsi yang mendukung (favorable) dan sebanyak 59,69% responden mempunyai persepsi yang tidak mendukung (unfavorable) terhadap perilaku seksual pranikah.
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Sub Variabel Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah
Kategori Favorable Unfavorable Total
f % f % f %
Eksplorasi 58 44,96% 71 55,04% 129 100%
Masturbasi 54 41,86% 75 58,14% 129 100%
Homosexual Play 42 32,56% 87 67,44% 129 100%
Heterosexual Play 68 52,71% 61 47,29% 129 100%
Aggressive Sex Play 34 26,36% 95 73,64% 129 100%
Dari Tabel 4.3 di atas dapat disimpulkan bahwa responden lebih banyak berpersepsi favorable pada sub variabel persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk heterosexual play dan berpersepsi unfavorable pada sub variabel dalam bentuk aggressive sex play.
4.3 Pembahasan
Dari penelitian didapatkan hasil bahwa 40,31% remaja di SMA Kartika Siliwangi I Bandung mempunyai persepsi mendukung terhadap perilaku seksual pranikah. Merupakan suatu hal yang cukup memprihatinkan dimana hampir separuh dari remaja di SMA tersebut memiliki persepsi yang mendukung terhadap perilaku seksual pranikah. Hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan hormon, pengalaman seksual remaja di SMA tersebut dimasa lalu, pengaruh teman-teman sebaya, kurangnya informasi yang tepat, serta lingkungan dimana mereka tinggal yang mempengaruhi persepsi remaja tersebut untuk mendukung (favorable) terhadap perilaku seksual pranikah.
Persepsi merupakan suatu proses kognisi yang melibatkan cara-cara dimana individu memproses informasi yang didapatnya. Menurut Piaget (dalam Papalia dkk., 2001) walaupun remaja telah mempunyai kematangan kognitif, namun dalam kenyataannya mereka belum mampu mengolah informasi yang diterima dengan benar. Pemikiran remaja dibatasi oleh pengalaman yang terbatas pada apa yang terjadi sebelumnya. Mereka mempunyai orientasi saat ini dan rasa tidak rentan. Selain itu adanya perasaan akan keunikan pribadi atau yang disebut personal fable (dongeng pribadi) membuat mereka merasa spesial dan perasaan ini membawa pengertian bahwa apa yang terjadi pada orang lain tidak akan terjadi padanya.
Karakteristik ini dapat menyebabkan mereka percaya bahwa kehamilan atau penyakit tidak akan terjadi pada mereka, dan karenanya tindak kewaspadaan tidak diperlukan (Potter dan Perry, 2005). Selain itu dikhawatirkan bila remaja terjebak dalam egosentrismenya, mereka mungkin tidak akan memberikan tanggapan yang baik terhadap pendidikan seksual maupun penyuluhan-penyuluhan yang mengajarkan tindak pencegahan (Santrock, 2003). Hal ini diyakini merupakan penyebab perilaku beresiko yang dilakukan remaja (Papalia, dkk., 2001). Seperti dalam suatu penelitian mutakhir, egosentrisme diyakini berkaitan dengan perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab pada pelajar SMA (Arnett, 1955; dalam Santrock, 2003).
Menurut Sarwono (2003), perilaku seksual pranikah tersebut akan menimbulkan berbagai dampak negatif pada remaja. Dampak dari perilaku seksual pranikah pada remaja ini adalah semakin tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini disebabkan hampir semua remaja yang pernah melakukan hubungan seks melakukannya tanpa alat kontrasepsi sama sekali (Sarwono, 2003). Selain itu, persalinan remaja perempuan yang berusia kurang dari 18 tahun mempunyai 2 sampai 5 kali risiko kematian (maternal mortality) dibandingkan dengan wanita yang telah berusia 18-25 tahun, karena organ reproduksi yang belum berkembang sempurna (immature) sehingga ibu yang berusia remaja umumnya belum siap untuk hamil apalagi melahirkan (Kilbourne-Brook, 2000). Di samping itu, kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja seringkali berakhir dengan aborsi.
Sebagian besar dari remaja yang hamil tanpa rencana akhirnya melakukan aborsi dan banyak di antaranya yang tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli (Sarwono, 2003). Resiko medis pengguguran kandungan pada remaja cukup tinggi seperti pendarahan, komplikasi akibat aborsi yang tidak aman, sampai kematian ibu (Kilbourne-Brook, 2000). Ditambah lagi pendidikan remaja tersebut pasti akan terganggu, disamping perbuatan ini dinilai sebagai dosa. Dampak fisik lainnya sendiri menurut Sarwono (2003) adalah berkembangnya penyakit menular seksual dikalangan remaja, dengan frekuensi penderita penyakit menular seksual yang tertinggi antara usia 15-24 tahun. Infeksi penyakit menular seksual dapat menyebabkan kemandulan dan rasa sakit kronis serta meningkatkan resiko penularan HIV. Penelitian terkini tentang epidemi HIV dan AIDS menunjukkan tingkat penyebaran virus HIV di Indonesia adalah salah satu yang paling cepat peredarannya di Asia. Dalam triwulan Oktober sampai dengan Desember 2007 telah terdapat penambahan 757 kasus AIDS dan 253 pengidap infeksi HIV dan yang tertinggi terdapat di Jawa Barat dengan penambahan 230 kasus AIDS (Ditjen PPM dan PL Depkes RI, 2008).
Dampak psikologis dari perilaku seksual pranikah pada remaja diantaranya perasaan marah, takut, cemas, depresi, rendah diri, bersalah dan berdosa. Sedangkan dampak sosial yang timbul akibat perilaku seksual yang dilakukan sebelum saatnya antara lain dikucilkan, putus sekolah pada remaja perempuan yang hamil, dan perubahan peran menjadi ibu. Belum lagi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak keadaan tersebut (Sarwono, 2003).
Oleh karena itu diperlukan upaya preventif dan promotif terhadap remaja yang memiliki persepsi yang mendukung terhadap perilaku seksual pranikah, karena remaja yang mempunyai persepsi seperti itu cenderung melakukan perilaku seksual tersebut apabila ada kesempatan karena rem atau kontrol diri mereka lemah (Rustika, 2007). Keperawatan sebagai bagian integral dari sistem kesehatan mempunyai andil yang cukup besar untuk melakukan pengkajian dibidang ini. Perawat memiliki berbagai peran dan fungsi yaitu salah satunya sebagai pendidik yang memiliki peranan dalam permasalahan perilaku seksual pranikah. Perawat di komunitas sebagai perawat yang paling dekat dengan masyarakat memiliki peranan penting dibanding perawat lainnya. Pendekatan yang dilakukan oleh perawat komunitas dapat dengan berbagai cara, salah satunya dengan sering melakukan kunjungan ke masyarakat guna tahap awal untuk dapat masuk dalam masyarakat tersebut.
Tindakan preventif yang dapat dilakukan perawat di komunitas dengan menjadi penyuluh ataupun konselor dapat pula dilakukan dengan memberikan pendidikan seksual secara langsung kepada remaja atersebut dengan melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah atau dengan bekerjasama dengan instansi yang terkait. Untuk dapat mengatasi permasalahan perilaku seksual pada remaja diperlukan kerjasama berbagai pihak seperti orang tua dengan memberikan pendidikan seksual sejak dini di rumah dan pihak sekolah.
Sekolah terutama guru BK, guru pembina PMR dan UKS, diharapkan dapat bekerjasama dengan dinas terkait, seperti perawat anak dan komunitas yang berada di wilayah kerja SMA Kartika Siliwangi I Bandung yaitu Puskesmas Salam, untuk mengembangkan program kerja UKS dan ekstrakulikuler PMR yaitu pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja. Dimana pendidikan mengenai perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab diberikan secara terintegrasi dengan pendidikan kesehatan reproduksi remaja, serta pendidikan tersebut diberikan secara keilmuan, moral dan agama. Program pendidikan ini perlu mempertimbangkan perbedaan perkembangan dalam kemampuan menalar. Remaja muda sebaiknya diberi pendekatan yang lebih konkret, remaja yang lebih tua dengan pendekatan yang lebih abstrak dan simbolik. Namun, kenyataan bahwa tidak semua remaja berada pada tahap perkembangan kognitif yang sama, menunjukkan bahwa diperlukan pendekatan ganda dalam usaha penyuluhan kesehatan bagi remaja yaitu yang lebih konkret dan lebih simbolik.
Dalam penelitian ini dipandang dari segi konsep dasar persepsi, perilaku seksual pranikah diterima remaja sebagai stimulus, selanjutnya diterjemahkan atau diberi makna oleh remaja sebagai sesuatu yang berarti bagi remaja. Hal ini tergantung dari bagaimana remaja memaknai, mengevaluasi atau menafsirkan stimulus (perilaku seksual pranikah) tersebut. Dan dalam penelitian ini 59,69% remaja mempunyai persepsi yang tidak mendukung terhadap perilaku seksual pranikah seperti eksplorasi, masturbasi, homosexual play, heterosexual play, dan aggressive sex play. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar remaja mengakui bahwa aktifitas tersebut berbahaya.
Persepsi atau pemberian makna dari stimulus yang diterima oleh siswa SMA tersebut dapat dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya adalah perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas), norma-norma yang berlaku dimasyarakat, penyebaran informasi melalui media massa, adanya tabu-larangan, serta pergaulan yang makin bebas antara laki-laki dan perempuan (Sarwono, 2003).
4.3.1 Pembahasan Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Dalam Bentuk Eksplorasi
Berdasarkan hasil penelitian, seperti terlihat pada tabel 4.3 dapat diketahui bahwa dari 129 remaja yang diteliti, sebanyak 58 responden (44,96%) mempunyai persepsi yang mendukung (favorable) terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk eksplorasi. Banyaknya remaja yang memiliki persepsi yang mendukung terhadap perilaku seksual tersebut mungkin dipengaruhi oleh lingkungan mereka seperti teman sebaya, mudahnya mengakses hal-hal yang menjurus pada pornografi melalui internet, serta mudahnya mendapatkan buku dan majalah porno, video porno, serta blue film sehingga remaja tersebut mempersepsikan hal seperti itu wajar dilakukan remaja karena sudah terbiasa dilakukan.
Hal ini sejalan dengan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di SMA tersebut yang menyatakan bahwa remaja tersebut memiliki rutinitas menonton video porno dari handphone yang dinilainya sebagai kegiatan refreshing setelah lelah belajar. Berdasarkan persepsi tersebut, dapat mengakibatkan remaja memiliki kecenderungan yang cukup besar untuk menjadi aktif secara seksual dan melakukan perilaku seksual pranikah. Sesuai dengan hasil sebuah penelitian yang menyatakan bahwa remaja yang banyak menonton tayangan televisi yang menunjukkan berbagai aktifitas seksual cenderung untuk menjadi lebih aktif secara seksual (Brown and Newcomer, 1991; dalam Steinberg 2002).
Sebagian besar remaja setuju bahwa berdiskusi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas wajar untuk dilakukan dengan teman-teman dan cenderung untuk tidak setuju terhadap bentuk perilaku seksual pranikah dalam bentuk eksplorasi yang menggunakan teknik manipulasi yang mendorong remaja untuk menjelajahi organ seksual orang lain.
Dengan demikian pihak sekolah perlu menyiapkan fasilitas yang dapat membantu siswa untuk menggunakan waktu luang mereka secara positif, misalnya dengan mewajibkan siswa mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di sekolah sehingga siswa tidak menggunakan waktu luangnya untuk hal-hal yang dapat mengembangkan persepsinya terhadap perilaku seksual kearah yang kurang baik seperti mencari informasi mengenai seksualitas ke internet atau membaca majalah orang dewasa maupun menonton blue film, bahkan melakukan perilaku-perilaku seksual pranikah.
4.3.2 Pembahasan Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Dalam Bentuk Masturbasi
Berdasarkan hasil penelitian, seperti terlihat pada tabel 4.3 dapat diketahui bahwa dari 129 remaja yang diteliti, sebanyak 54 responden (41,86%) mempunyai persepsi yang mendukung (favorable) terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk masturbasi. Remaja yang berpersepsi mendukung terhadap perilaku seksual dalam bentuk masturbasi tersebut mungkin disebabkan hal seperti itu biasa dilakukan karena mereka atau teman-teman mereka pun pernah melakukannya, hal ini terutama terjadi pada remaja laki-laki.
Sedangkan sebanyak 75 responden (58,14%) mempunyai persepsi yang tidak mendukung (unfavorable) terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk masturbasi. Sebagian besar remaja berpersepsi bahwa masturbasi tidak boleh dilakukan karena dapat merugikan kesehatan. Akan tetapi kebanyakan remaja menjawab ragu-ragu ketika diberi pertanyaan mengenai boleh tidaknya masturbasi dilakukan jika dorongan seksual muncul. Hal ini dapat disebabkan remaja memandang aktifitas ini dengan perasaan yang tercampur aduk, meskipun 80% remaja laki-laki dan banyak remaja perempuan mengatakan mereka menyetujui masturbasi tetapi merasa gelisah dan bersalah apabila telah melakukan masturbasi (Cobb, 2001). Kebanyakan remaja menganggap masturbasi adalah sesuatu yang buruk, dilakukan atau tidak, karena remaja belajar dari orang tua, sekolah, maupun dari kegiatan keagamaannya bahwa hal tersebut adalah tidak baik. Akan tetapi banyak ahli yang menyatakan bahwa masturbasi itu tidak berbahaya dan percaya bahwa hal tersebut adalah normal, cara sehat bagi remaja untuk menyalurkan hasrat seksualnya (Dacey and Kenny, 1997). Adanya berbagai opini mengenai masturbasi inilah yang menyebabkan remaja ragu-ragu apakah masturbasi itu baik atau tidak untuk dilakukan. Dengan demikian remaja perlu untuk mendapatkan informasi yang benar mengenai hal ini baik dari segi medis, norma sosial-budaya, maupun norma agama, sehingga remaja memiliki persepsi dan sikap yang tegas mengenai perilaku seksual dalam bentuk masturbasi ini.
4.3.3 Pembahasan Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Dalam Bentuk Homosexual Play
Berdasarkan hasil penelitian, seperti terlihat pada tabel 4.3, sebanyak 42 responden (32,56%) dari 129 remaja yang diteliti mempunyai persepsi yang mendukung (favorable) terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk homosexual play. Sedangkan sebagian besar remaja yaitu sebanyak 87 responden (67,44%) mempunyai persepsi yang tidak mendukung (unfavorable) terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk homosexual play.
Sebagian besar remaja memiliki persepsi tidak mendukung terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk homosexual play karena mereka masih menganggap perilaku homoseksual sebagai suatu hal yang tidak normal dan mereka khawatir hal tersebut akan berdampak pada orientasi seksual mereka dimasa depan sebagai gay ataupun lesbian. Meskipun banyak penelitian menyatakan bahwa remaja yang melakukan eksperimen homoseksual dimasa remaja, tidak berarti mereka akan melakukan tingkah laku homoseksual dimasa dewasa (Halonen and Santrock, 1996).
Akan tetapi dengan adanya 32,56% remaja yang mempunyai persepsi mendukung terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk homosexual play, perlu diwaspadai adanya kecenderungan remaja tersebut untuk melakukan perilaku homoseksual, maupun memiliki orientasi homoseksual dimasa yang akan datang. Seperti hasil sebuah survey yang menyatakan bahwa dari 13% perempuan yang melakukan perilaku homoseksual dimasa remaja, 1% sampai 3% diantaranya menganggap dirinya lesbian. Dan dari 20% sampai 37% remaja laki-laki yang melakukan perilaku homoseksual, pada akhirnya terdapat sekitar 4% yang benar-benar gay selama hidupnya (Strong, dkk., 1999; dalam Cobb, 2001)
4.3.4 Pembahasan Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Dalam Bentuk Heterosexual Play
Berdasarkan hasil penelitian, seperti terlihat pada tabel 4.3, dapat diketahui bahwa sebagian besar remaja yaitu sebanyak 68 responden (52,71%) mempunyai persepsi yang mendukung (favorable) terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk heterosexual play, sedangkan hampir setengah remaja yaitu sebanyak 61 responden (47,29%) mempunyai persepsi yang tidak mendukung (unfavorable) terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk heterosexual play.
Pada kehidupan psikologis remaja, perkembangan organ seksual mempunyai pengaruh kuat dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Hal ini sejalan pula dengan salah satu tugas perkembangan remaja oleh Havighurst (1972) dalam Hurlock (1998) yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya maupun lawan jenis. Terjadinya peningkatan perhatian remaja terhadap lawan jenis sangat dipengaruhi oleh faktor perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas. Remaja menjadi amat memperhatikan tubuh mereka dan membangun citranya sendiri mengenai bagaimana tubuh mereka tampaknya (Santrock, 2003). Remaja wanita lebih memperlihatkan bentuk tubuh yang menarik bagi remaja laki-laki, demikian pula remaja pria tubuhnya menjadi lebih kekar yang menarik bagi remaja perempuan. Jadi mereka saling tertarik terutama karena fisik, khususnya sifat-sifat jenisnya atau sex appeal (Rumini dan Sundari, 2004).
Ketertarikan antar lawan jenis ini kemudian berkembang ke pola kencan yang biasa disebut pacaran. Dimana remaja mulai mempelajari hubungan seksual dan interaksinya dengan lawan jenis berupa keterikatan hubungan, percintaan, atau komitmen. Hal ini sejalan dengan hasil studi pendahuluan yang menyatakan bahwa berpacaran bagi remaja di SMA tersebut merupakan suatu hal yang biasa dan lumrah dilakukan, serta terbukti dari hasil penelitian bahwa hampir seluruh remaja (86,82%) di SMA tersebut pernah berpacaran.
Sebagian besar remaja setuju bahwa perilaku seksual pranikah dalam bentuk heterosexual play seperti berpegangan tangan, berpelukan, mencium kening dan mencium pipi pacar adalah sesuatu hal yang wajar dilakukan ketika berpacaran. Sedangkan untuk perilaku seksual seperti cium bibir ketika berpacaran, mayoritas remaja menjawabnya dengan ragu-ragu. Akan tetapi sebagian besar remaja setuju akan perilaku cium bibir yang dilakukan oleh remaja yang sedang jatuh cinta. Hal ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa remaja, terutama remaja perempuan, belajar untuk mengaitkan perilaku seksual dengan cinta (Michael, dkk., 1994; dalam Santrock, 2003). Mereka sering merasionalisasikan tingkah laku seksual mereka dengan mengatakan pada diri mereka sendiri bahwa mereka terhanyut cinta. Sejumlah peneliti menemukan bahwa remaja perempuan, lebih dari pada remaja laki-laki, mengatakan bahwa alasan utama mereka aktif secara seksual adalah karena jatuh cinta (Cassell, 1984; dalam Santrock, 2003).
Sebagian besar remaja mempunyai persepsi yang tidak mendukung terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk heterosexual play seperti meraba bagian tubuh yang sensitif, oral sex, petting, dan bersenggama (sexual intercourse). Akan tetapi perlu diwaspadai juga akan adanya 5-10% remaja yang memiliki persepsi yang mendukung terhadap perilaku-perilaku seksual tersebut, karena remaja yang mempunyai persepsi seperti itu cenderung melakukan perilaku seksual tersebut apabila ada kesempatan karena rem atau kontrol diri mereka lemah (Rustika, 2007).
Oleh karena itu perlu kerjasama dari berbagai pihak seperti keluarga, pihak sekolah, serta puskesmas untuk memberikan pendidikan dan penyuluhan mengenai perilaku seksual pranikah yang sehat dan bertanggung jawab yang diintegrasikan dengan pendidikan kesehatan reproduksi remaja serta diberikan secara keilmuan, moral dan agama. Sehingga diharapkan persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah dapat menjadi lebih baik lagi.
4.3.5 Pembahasan Persepsi Remaja Terhadap Perilaku Seksual Pranikah Dalam Bentuk Aggressive Sex Play
Berdasarkan hasil penelitian, seperti terlihat pada tabel 4.3 di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 34 responden (26,36%) mempunyai persepsi yang mendukung (favorable) terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk aggressive sex play, sedangkan sebagian besar remaja yaitu sebanyak 95 responden (73,64%) mempunyai persepsi yang tidak mendukung (unfavorable) terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk aggressive sex play.
Hal ini mungkin disebabkan remaja di SMA tersebut lebih menyukai perilaku seksual pranikah tersebut dilakukan atas dasar sukarela dan tanpa paksaan. Remaja, terutama remaja perempuan, sering mengaitkan perilaku seksual dengan cinta dan lebih memilih untuk melakukannya secara spontan dan dilakukan dengan orang yang mereka cintai seperti pacar mereka. Dilain pihak, kalau perilaku seksual dilakukan tanpa diserta cinta, laki-laki memaksa perempuan melakukannya diluar kehendaknya atau bila perempuan menggunakan hubungan seksual sebagai cara untuk memaksa laki-laki menikahinya maka remaja menganggap perbuatan itu ”salah” (Hurlock, 1998). Akan tetapi hubungan seks sebelum menikah dianggap ”benar” apabila orang-orang yang terlibat saling mencintai ataupun saling terikat. Hal ini terkait dengan adanya pergeseran sikap remaja terhadap perilaku seksual ke arah yang lebih permisif.
4.4 Keterbatasan Penelitian
(1) Dikarenakan perilaku seksual pranikah merupakan hal yang sangat pribadi sehingga terdapat keengganan responden untuk menjawab pertanyaan mengenai hal-hal yang sangat pribadi secara terus terang, sehingga hal ini mempengaruhi hasil penelitian.
(2) Belum adanya instrumen yang baku menyebabkan instrumen penelitian ini dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan teori-teori yang peneliti kumpulkan dari beberapa kepustakaan, sehingga kurasi hasil penelitian ini masih perlu diuji lagi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut peneliti melakukan suatu uji validitas dan reabilitas terlebih dahulu terhadap angket yang digunakan sebelum melakukan penelitian.
(3) Selain itu, penelitian ini merupakan pengalaman pertama bagi peneliti, kurangnya pengalaman dan ilmu penunjang yang dimiliki oleh peneliti guna melaksanakan penelitian yang baik menjadi hambatan dalam pelaksanaan penelitian ini.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SMA Kartika Siliwangi I Bandung mengenai persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah di SMA Kartika Siliwangi I Bandung sebanyak 77 responden (59,69%) mempersepsikan tidak mendukung (unfavourable) terhadap perilaku seksual pranikah dan sebanyak 52 responden (40,31%) mempersepsikan perilaku seksual pranikah secara mendukung (favourable).
2. Sebanyak 44,96% remaja memiliki persepsi yang mendukung (favourable) terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk eksplorasi, selama masih dalam pendekatan yang tidak langsung (intelektual) seperti berdiskusi, membaca, maupun menonton. Hal ini dapat disebabkan remaja tersebut memang sudah melakukan kegiatan eksplorasi tersebut seperti secara rutin menonton video porno beramai-ramai disekolah. Perilaku eksplorasi ini akan cenderung membuat remaja menjadi lebih aktif secara seksual.
3. Persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk masturbasi, sebanyak 58,14% responden tidak mendukung (unfavourable). Mayoritas remaja berpersepsi bahwa masturbasi tidak boleh dilakukan karena dapat merugikan kesehatan. Akan tetapi sebagian besar remaja ragu-ragu akan boleh tidaknya masturbasi dilakukan bila dorongan seksual muncul. Hal ini disebabkan adanya berbagai opini yang saling bertentangan mengenai masturbasi sehingga menyebabkan remaja ragu-ragu apakah masturbasi itu baik atau tidak baik dilakukan.
4. Persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk homosexual play, sebanyak 32,56% responden tidak mendukung (unfavourable). Hal ini disebabkan remaja masih menganggap hal tersebut tidak normal dan takut apabila mereka melakukan perilaku tersebut akan berpengaruh pada orientasi seksual mereka. Homosexual play yang dilakukan semasa remaja tidak menentukan orientasi seksual dimasa yang akan datang.
5. Persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk heterosexual play, sebanyak 52,71% responden mendukung (unfavourable). Sebagian besar remaja mendukung dengan perilaku-perilaku seksual seperti berpegangan tangan, berpelukan, mencium kening dan mencium pipi pacar. Sedangkan sebagian besar remaja tidak mendukung terhadap perilaku seksual seperti meraba bagian tubuh yang sensitif, oral sex, petting, sexual intercourse.
6. Persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah dalam bentuk aggressive sex play, sebanyak 95 responden (73,64%) tidak mendukung (unfavourable). Hal ini disebabkan remaja lebih memilih untuk melakukan perilaku seksual atas dasar cinta dan tanpa paksaan.
5.2 Saran
5.2.1 Bagi Profesi Keperawatan
Bagi profesi keperawatan khususnya keperawatan komunitas dan anak yang berada di puskesmas terkait yaitu Puskesmas Salam, diharapkan dapat menjalankan perannya lebih optimal sebagai konselor dan edukator dalam memberikan penyuluhan, bimbingan serta pengarahan mengenai kesehatan reproduksi remaja. Dimana pendidikan mengenai perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab diberikan secara terintegrasi dengan pendidikan kesehatan reproduksi remaja, serta pendidikan tersebut diberikan secara keilmuan, moral dan agama. Sehingga masalah perilaku seksual remaja tidak menimbulkan problema yang berefek negatif terhadap perkembangan dan perilaku remaja.
5.2.2 Bagi Institusi Sekolah
Pihak sekolah SMA Kartika Siliwangi I Bandung yang siswanya berada pada tahap remaja, diharapkan para guru terutama guru BK (Bimbingan Konseling), guru pembina UKS (Unit Kesehatan Sekolah) dan ekstrakulikuler PMR (Palang Merah Remaja) mampu mengenali kebutuhan siswanya mengenai informasi tentang perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab. Hal ini berguna supaya remaja tidak mencari informasi mengenai perilaku seksual pada pihak yang tidak benar.
Upaya yang disarankan untuk mengembangkan persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah kearah yang lebih baik antara lain:
1. Bekerjasama dengan dinas terkait seperti perawat di puskesmas dan pusat pelayanan remaja untuk mengembangkan program kerja UKS dan ekstrakulikuler PMR yaitu pendidikan dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja. Dimana pendidikan mengenai perilaku seksual yang sehat dan bertanggung jawab diberikan secara terintegrasi dengan pendidikan kesehatan reproduksi remaja, serta pendidikan tersebut diberikan secara keilmuan, moral dan agama. Program pendidikan ini perlu mempertimbangkan perbedaan perkembangan dalam kemampuan menalar, sehingga diperlukan pendekatan ganda dalam usaha penyuluhan kesehatan bagi remaja yaitu yang lebih konkret dan lebih simbolik.
2. Menyiapkan fasilitas untuk membantu siswa menggunakan waktu luang mereka secara positif, misalnya dengan mewajibkan siswa mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di sekolah sehingga siswa tidak menggunakan waktu luangnya untuk hal-hal yang dapat mengembangkan persepsinya terhadap perilaku seksual kearah yang kurang baik seperti mencari informasi ke internet atau membaca majalah orang dewasa maupun menonton blue film, bahkan melakukan perilaku-perilaku seksual pranikah.
5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Untuk penelitian selanjutnya yang memiliki kaitan dengan perilaku seksual pranikah remaja, mengingat telah diperoleh data mengenai persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah. Maka dipandang perlu untuk diteliti mengenai:
1. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perilaku seksual pranikah, selain persepsi seperti pengetahuan dan motif remaja melakukan perilaku seksual pranikah.
2. Pengaruh perbedaan jenis kelamin pada persepsi remaja terhadap perilaku seksual pranikah, maupun terhadap perilaku seksual pranikah itu sendiri.
3. Pengaruh persepsi terhadap perilaku seksual pranikah pada remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Al Rasyid, H. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala. Bandung : Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.
Arief, I. 2008. Remaja dan hubungan seksual pranikah. Available at : http://www.pjnhk.go.id (diakses tanggal 28 April 2008).
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Azwar, S. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Cesillia, S. 2008. Menghalau seks pranikah di kalangan remaja lewat sms. Available at : http//:www.jurnalnasional.com (diakses tanggal 26 April 2008).
Cobb, Nancy. 2001. Adolescence : Continuity, Change, and Diversity, Fourth Edition. California : Mayfield Publishing Company.
Congressman Honda’s Student Advisory Committee. 2004. Teenage sexuality : examining the perceptions and realities. Available at : http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/full/pediatrics%3b107/1... (diakses tanggal 26 April 2008).
Dacey, J and M. Kenny. 1997. Adolescent Development, Second Edition. New york : Mc Graw-Hill.
Departemen Kesehatan RI. 2002. Modul Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Desmita. 2007. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.
Ditjen PPM dan PL Depkes. 2008. Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia. Available at : http//:www.aidsindonesia.or.id (diakses tanggal 26 April 2008).
Gibson, J.L; J.M. Ivancevich; dan J.H. Donnely. 1998. Organisasi. Jakarta : Erlangga. Diterjemahkan oleh : Djoehan Wahid.
Hamid, A. Y. S. 1999. Buku Ajar : Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa pada Anak dan Remaja. Jakarta : Widya Medika.
Hurlock, E. B. 1973. Adolescent Development, Fourth Edition. Tokyo : Mc Graw-Hill.
_______ 1998. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.
Irawati, I. 1999. Modul Perkembangan Seksualitas Remaja. Bandung : PKBI-UNFPA.
Kaplan, R.M. and D.P. Saccuzo. 1993. Phsycological Testing, Third Edition. California : Brooks/Cole.
Kilbourne-Brook, M. 2000. Kesehatan reproduksi remaja : membangun perubahan yang bermakna. J.Out Look 16 : 1-8.
Mar’at. 1990. Sikap Manusia : Perubahan serta Pengukurannya. Yogyakarta : Andi Offset.
Monks, F.J; A.M.P Knoers dan S.R. Haditono. 2002. Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Edisi Keempat Belas. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Mu’tadin, Z. 2002. Pendidikan seksual pada remaja. Available at : http//:www.e-psikologi.com (diakses tanggal 26 April 2008).
Natasha, W. 2004. Perilaku Seksual Siswa Remaja di Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut. Bandung : Universitas Padjadjaran.
Nazir. 1999. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
_______ 2005. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nursalam. 2003. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Papalia, D.E.; S.W. Olds; and F.D. Ruth. 2001. Human development, Eighth Edition. Boston : McGraw-Hill.
PKBI. 2004. Pengaruh teman sebaya dan peer pressure. Available at : http//:www.pkbi.co.id (diakses tanggal 1 Juli 2008).
Potter, P.A. dan G.P. Anne. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik edisi 4. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran. Diterjemahkan oleh : Yasmin Asih, dkk.
Rakhmat, J. 2000. Psikologi Komunikasi, Edisi Ketiga. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Robbins, S. 2001. Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Edisi Kedelapan. Jakarta : Prenhallindo.
Rumini, S. dan S. Sundari. 2004. Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Rustika, I. 2007. Setuju seks pranikah : remaja ibarat berdiri dipinggir jurang. Available at : http//:www.balipost.com (diakses tanggal 1 Juli 2008).
Santrock, J.W. 2003. Adolescence : Perkembangan Remaja. Jakarta : Penerbit Erlangga. Alih bahasa oleh : Shinto B. A. dan S. Saragih.
Sarwono, W.S. 2003. Psikologi Remaja. Jakarta : Grafindo Persada.
Soetjiningsih, dkk. 2004. Buku Ajar : Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta : Sagung Seto.
Steinberg, L. 2002. Adolescence, Sixth Edition. New Baskerville : McGraw-Hill, Inc.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : ALFABETA.
Stuart, G.W. and S.J. Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psychiatric Nursing. New York : Mosby Year Book, Inc.
Universitas Padjadjaran. 2007. Pedoman Penyusunan dan Penulisan Skripsi Program Sarjana, Kelas Khusus dan Profesi 2007/2008. Bandung : Universitas Padjadjaran.
Walgito, B. 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset.
Wiyana, D. 2004. Free sex remaja Bandung mengkhawatirkan. Available at : http//:www.tempointeraktif.com (diakses tanggal 28 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar