MENURUT Ernest Renan yang sering disebut sebagai “Bapak Nasionalisme”, nasionalisme mempunyai arti suatu kehendak untuk bersatu (le desir d’etreensemble) sebagai bangsa. Kehendak itu tumbuh karena didorong kesadaran akan adanya riwayat atau pengalaman hidup yang sama dan dijalani bersama.
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang sejak awal anti kolonialisme dan anti imperialisme. Selain karena faktor kesamaan geografis, bahasa, kohesifitas ekonomi, yang paling pokok dari pembentukan Indonesia sebagai nation adalah make up psikologis sebagai bangsa terjajah.
Namun, di era kemerdekaan yang berusia 62 tahun ini, kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk fisik tentu sudah tidak muncul lagi. Pertanyaannya, bagaimana para pemuda Indonesia dapat mengaktualisasikan semangat nasionalisme di era kontemporer?
Penjajahan dalam bentuk perang tentu sudah berlalu lebih dari setengah abad lalu. Namun, penjajahan dalam bentuk politik, pendidikan, ekonomi, hukum, budaya, dan sebagainya masih merajalela di tengah masyarakat kita.
Dalam bidang ekonomi, misalnya, kita masih bisa melihat dengan jelas adanya kesenjangan sosial antara golongan ekonomi menengah ke atas dan golongan ekonomi menengah ke bawah. Kesenjangan ekonomi tersebut mengakibatkan adanya diskriminasi di tengah masyarakat dalam memperoleh pelayanan pendidikan dan hukum.
Selain itu, pada bidang politik, demokrasi hanya hidup dalam wacana dan retorika, tetapi mati dalam realita. Pembangunan ekonomi hanya dinikmati golongan tertentu, terutama elite kekuasaan; para pemilik modal besar; dan golongan yang dekat dengan elite kekuasaan.
Sementara itu, jaminan persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law) dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 tidak terimplementasi ke permukaan. Bahkan, hukum sering menjadi perisai kekuasaan dan alat untuk melegalkan tindakan otoriter penguasa.
Kondisi tersebut tentu mengindikasikan bahwa penjajahan nonfisik masih ada. Ia menagih manifestasi nasionalisme para pemuda yang merupakan motor utama pembangkit kesadaran sebagai suatu bangsa.
Di sisi lain, tantangan bangsa Indonesia adalah arus globalisasi. Nasionalisme memang tidak identik dengan chauvinisme. Dengan kata lain, kemampuan bangsa Indonesia tetap dituntut untuk bisa hidup berdampingan dan bekerja sama dengan bangsa-bangsa sedunia.
Namun, yang harus diingat adalah tuntutan globalisasi jangan sampai menimbulkan intervensi negara lain dalam mengatur urusan dalam negeri Indonesia. Jadi, Indonesia tidak terjebak pada babak baru imperialisme asing.
Menghadapi persoalan tersebut, secara kontekstual, eksistensi kaum muda dengan semangat nasionalisme masih sangat diperlukan. Antara lain, itu bisa dilakukan dengan tetap menjaga semangat kepedulian akan nasib bangsa Indonesia, menumbuhkan kesadaran untuk mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi maupun golongan, dan melakukan gerakan moral untuk mengawal reformasi menuju masa depan bangsa Indonesia yang lebih baik dalam segala sektor.
Kontekstualisasi nasionalisme para pemuda Indonesia adalah suatu keniscayaan. Jika tidak, mereka akan terjebak pada pemahaman nasionalisme yang salah kaprah. Nasionalisme selalu diidentikkan dengan perjuangan melawan penjajah atau sekadar persatuan antarpemuda tatkala terancam perpecahan.
Meskipun dalam perspektif historis, sesuatu yang tidak dimungkiri bahwa peran kaum muda sangat besar dalam perkembangan dan dinamika bangsa dan negara Indonesia. Berbagai peristiwa, dari kemerdekaan dan pergantian orde pemerintahan, selalu diawali oleh gerakan kaum muda. Tetapi, dalam menghadapi era globalisasi, nasionalisme serta peran aktif kaum muda masih sangat dibutuhkan.
Nasionalisme yang identik dengan peperangan sudah terkubur sejak lama, ketika pembebasan nasional sudah dikumandangkan 17 Agustus 1945. Nasionalisme di era kemerdekaan adalah sikap progresif memotong kepentingan imperialis. Namun, ideologi tersebut patut dipertanyakan di saat rezim borjuasi nasional yang berkuasa membangun oligarkinya untuk memperkaya kelasnya sendiri. Atau malah kembali menyambut kedatangan modal asing karena modal dalam negeri beku.
Atas dasar semua itu, perlu adanya redefinisi atas pemahaman dan pelaksanaan nilai-nilai nasionalisme dalam diri pemuda Indonesia. Tantangan pemuda saat ini berbeda dengan tantangan kaum muda pada era 1928 atau 1945. Kini, nasionalisme kaum muda harus diposisikan secara proporsional dalam menyikapi kepentingan pasar yang diusung kepentingan global dan nasionalisme yang diusung untuk kepentingan negara.
Dengan kata lain, para pemuda harapan bangsa harus mencermati kondisi kekinian, tidak boleh antipati dengan lingkungan sekitar, tetapi tetap nasionalis demi kepentingan bangsa. Sebab, nasionalisme kaum muda saat ini tidak terlepas dari situasi global. Para pemuda dituntut mencermati secara kritis seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik dalam aspek pendidikan, politik, ekonomi, hukum, budaya, dan realitas kepentingan global terhadap Indonesia.
Di pihak lain, penulis mengimbau pemerintah pusat harus segera mempercepat distribusi pembangunan dalam segala aspek di semua daerah agar tidak tumbuh semangat etnonasionalisme dalam diri pemuda. Sebab, jika tidak, para pemuda mungkin akan terjebak pada kepentingan yang bersifat kedaerahan. (telah dipublikasi di Jawa Pos,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar